Penjelasan kandungan Surat Thaha ayat 44 (sumber:istimewa) |
Dutaislam.or.id - Fir'aun dengan lantang mengaku sebagai Tuhan. Ia mengklaim dapat menghidupkan dan mematikan orang sesuai kehendaknya. Padahal, ia sejatinya tidak mampu melakukan hal itu.
Fir'aun atau dikenal Ramses Akbar II ini digambarkan di dalam al-Quran sebagai pribadi yang berperilaku angkuh dan sombong. Ia merasa menjadi penguasa tunggal di Mesir, sehingga berbuat sewena-wena terhadap Bani Israil. Penguasa Mesir ini dalam kepemimpinnya dengan cara tangan besi. Kiai Bisyri Mushtafa menyebutnya berperangai “banget lacute” (sangat buruk). (al-Ibriz li Ma’rifah al-Qur’an al-‘Aziz: III/2203).
Baca: Tafsir Surat Al-Anfal Ayat 73, Peringatan Kepada Umat Islam
Di dalam Surat an-Nazi'at ayat 24 dijelaskan, Fir'aun mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan yang tertinggi. Karena mendaku sebagai Tuhan, ia bertindak otoriter dan fasis agar rakyat patuh kepadanya. Meskipun Fir'aun berperilaku demikian, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk mengajak Fir'an ke jalan yang benar. Kedua nabi ini diutus Allah SWT untuk mengingatkan perilakunya yang lacut.
Namun, sebelum Nabi Musa dan Nabi Harun menghadap ke Fir'aun, Allah SWT di dalam Surat Thaha ayat 44 berpesan kepada keduanya agar menyapaikan risalah kenabian dengan kata-kata yang lemah lembut.
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar dan takut" (QS. Thaha: 44).
Baca: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11, Larangan Memandang Rendah Orang Lain
Dari Surat Thaha ayat 43-44 dapat ditarik benang merah bahwa Fir'aun sedang berda di puncak kesombongannya, sedangkan Nabi Musa juga berada dalam puncak ketakwaan sebagai makhluk pilihan Allah SWT.
Melihat realitas ini, tentunya kalau mengajak Fir'aun dengan kasar akan menimbulkan bentrokan besar antara keduanya. Sebab, Fir'aun merasa dirinya merupakan orang yang paling berkuasa saat itu.
Maka dari itu, Allah SWT memberikan titah kepada Nabi Musa agar berbicara dengan lemah lembut. Dengan demikian, mudah-mudahan Fir'aun mau sadar atas perilaku menyimpangnya atau ia memperoleh ketaatan dari rasa takut kepada Rabbnya.
Baca: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 6, Membudayakan Tabayyun
Pakar Tafsir Kontemporer, Imam Ibnu Asyur mengatakan maksud perkataan lembut adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh. Sehingga, orang yang diajak tidak merasa tersinggung atau direndahkan.
Pun demikian ketika seseorang mengajukan kritik atau pendapat, harus dengan kata-kata yang lembut pula. Sebab, substansi dakwah atau kritik adalah menunjukkan kebenaran, bukan unjuk kekuatan atau kekuasaan. [dutaislam.or.id/in]