Ketum PBNU Kiai Said dan Presiden Jokowi. Foto: Istimewa. |
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A.
Dutaislam.or.id - Kabinet Indonesia Maju bervisi kesejahteraan ekonomi, dan karenanya tidak perlu melibatkan tokoh agama representasi NU. Sekalipun hasil survei Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi, mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama menjadi penentu kemenangan pasangan calon presiden 01 Jokowi-Ma’ruf Amin.
Pertimbangan politik pragmatis Jokowi merasa tidak perlu berbalas budi. Karenanya, 56 persen warga NU (hasil survei Alvara Research Center) yang memilih Jokowi tidak perlu berharap lebih. Politik keumatan yang NU perjuangkan kalah penting dari visi ekonomi dan kesejahteraan Jokowi selama 5 tahun ke depan.
Memang benar menguatnya narasi populisme agama sebelum Pilpres 2019 adalah alasan soliditas suara warga Nahdliyyin yang mempersembahkan kemenangan atas pasangan Jokowi-Ma’ruf. Namun, di masa depan, isu agama dan politik identitas hanya akan membawa kebisingan yang tidak produktif. Jokowi perlu nalar politik yang berfokus pada isu ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan materiil.
Tentu sejak awal Jokowi sadar bahwa keputusannya menunjuk Menag dari kalangan militer akan mengecewakan kubu NU. Tetapi, warga Nahdliyyin juga harus tahu bahwa Jokowi sudah punya resep penangkal. Pertama, kekecewaan warga NU pasti segera reda. Sebab, KH. Ma’ruf Amin merupakan tameng simbolik paling ampuh untuk meredam gejolak Nahdliyyin. Warga Nahdliyyin lebih patuh pada kiai dari pada penguasa.
Kedua, Jokowi tidak berkepentingan lagi pada Pilpres 2024 nanti. Ia sah-sah saja merasa tidak perlu berbalas budi pada warga Nahdliyyin. Apalagi meninggalkan kawan lama dalam dunia politik merupakan hal biasa. Adalah lazim bila Jokowi mengecewakan warga NU sebagaimana Prabowo pun mengecewakan Front Pembela Islam (FPI). NU dan FPI sama-sama korban ketidak-setia-kawanan politik.
Ketiga, Jokowi hanya perlu mendengarkan pledoi-pledoi dari pengamat, akademisi, dan intelektual NU yang mengungkapkan kekecewaan mereka dengan cara-cara yang elegan, bijaksana dan terkesan intelektuil. Tetapi, dalam hukum besi politik, tidak setiap kritik rakyat harus diapresiasi oleh pemerintah.
Pragmatisme-materialis politik Jokowi dapat dilihat dari komposisi menteri. Kabinet Indonesia Maju tampak layaknya suatu perusahaan atau industri. Semua diarahkan pada pencapaian ekonomi, sehingga para pengusaha banyak terpilih jadi menteri.
Jangan heran apabila Jokowi sangat senang menemukan sosok seperti Nadiem Makarim. Di mata Jokowi, Nadiem Makarim adalah pengusaha muda yang sukses dengan gemilang. Jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk Nadiem Makarim, menurut Jokowi, sangat cocok. Sekali pun Nadiem tidak punya background, tapi dia diyakini dapat mengubah Kemendikbud menjadi lembaga bisnis dan industri sesuai visi besar presiden.
Di hadapan visi politik yang materialistis ini; hal yang paling penting adalah terciptanya atmosfer yang kondusif dan mampu menarik masuknya investasi. Investor-investor asing mustahil menanamkan investasi mereka di sebuah negara yang tidak mendukung perekonomian.
Sementara di sisi lain, belakangan ini sumber konflik sosial selalu saja berkaitan dengan urusan agama. Radikalisme contoh konkritnya. Demi terciptanya atmosfer investasi yang ideal, Jokowi ingin membenamkan isu radikalisme ini.
Tokoh-tokoh representatif NU mampu memerangi radikalisme. Tetapi, cara-cara kultural mereka pasti sangat lamban. Jokowi butuh percepatan, dan baginya, hal itu hanya bisa dilakukan melalui pengangkatan seorang mantan prajurit militer sebagai menteri agama.
Politik pragmatis-materialis di era kedua Jokowi ini, selain dari caranya menata komposisi kabinet, dapat dilihat dari cara film dokumenter Sexy Killers garapan Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta berbicara pada publik. Logika film tersebut dapat menjadi salah satu framework dalam memaknai apa maksud dan ke mana arah visi kesejahteraan ekonomi Jokowi.
Film Sexy Killers bercerita tentang industri tambang batu bara dan hubungannya dengan badan perpolitikan negara. Banyak tokoh-tokoh nasional, elite politik, memiliki industri tambang yang merugikan negara dan membunuh rakyat kecil. Namun, mereka selamat dari jerat hukum sekalipun bukti kerusakan lingkungan dan kehidupan sangat bertumpuk.
Tidak tertutup peluang, dengan berkaca pada komposisi kabinet, visi kesejahteraan ekonomi Jokowi hanya kamuflase. Sebagaimana orang-orang NU ditinggal pergi, seluruh rakyat Indonesia terancam mengalami nasib serupa. Terlebih bila sampai terbongkar bahwa maksud tersembunyi dari visi kesejahteraan ekonomi tersebut adalah kesejahteraan kroni-kroni terdekat.
Tidak tepat janji dalam politik mungkin terjadi. Periode 2019-2024 adalah “peluang terakhir”. Jokowi perlu mempersiapkan kepentingan dirinya di masa depan, yang melampaui batas masa jabatan kepresidenan. Dia harus mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi, baik untuk seluruh rakyat Indonesia maupun untuk kroni-kroninya sesama pengusaha semata.
Hal tersebut jauh lebih prospektif bagi seorang mantan pengusaha mebel dari pada berbalas budi kepada satu ormas yang bergelut dengan isu agama. Sementara NU berada di posisi jauh dari pragmatisme-materialis Jokowi.
Di mata warga NU, Isu kesejahteraan ekonomi kalah penting dibanding isu persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan nasionalisme. Jika tujuan bernegara hanya untuk mendatangkan investasi dan kesejahteraan ekonomi saja, kita tidak asing dengan isu-isu ini. Di bangku kuliah kita sudah belajar apa yang pernah terjadi di jaman kolonialisme.
Ir. Soekarno pernah menulis, “ketika kapitalisme modern sudah dewasa, kelebihan modal atau surplus kapital mereka ingin dimasukkan ke Indonesia. Mereka tidak sabar menunggu di pintu gerbang Indonesia. Mereka memekik dengan semboyan-semboyan seperti kebebasan buruh, kebebasan menyewa tanah, dan persaingan bebas,” (Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka, Bandung: Segara Arsy, 2019; 11).
Politik NU bukan politik pragmatis-materialistis seperti Jokowi, yang hanya menyangkut urusan perut. Tetapi, politik NU adalah politik keumatan. Hidup berbangsa dan bernegara tidak saja mengejar kebahagiaan material. Nilai-nilai ideal kemanusiaan dan keagamaan jauh lebih mulia dari yang pragmatis-materialistis. Ini yang akan terus PBNU dan warga Nahdliyyin perjuangkan sekali pun harus berjalan sendirian. [dutaislam.or.id/pin]
Dutaislam.or.id - Kabinet Indonesia Maju bervisi kesejahteraan ekonomi, dan karenanya tidak perlu melibatkan tokoh agama representasi NU. Sekalipun hasil survei Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi, mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama menjadi penentu kemenangan pasangan calon presiden 01 Jokowi-Ma’ruf Amin.
Pertimbangan politik pragmatis Jokowi merasa tidak perlu berbalas budi. Karenanya, 56 persen warga NU (hasil survei Alvara Research Center) yang memilih Jokowi tidak perlu berharap lebih. Politik keumatan yang NU perjuangkan kalah penting dari visi ekonomi dan kesejahteraan Jokowi selama 5 tahun ke depan.
Memang benar menguatnya narasi populisme agama sebelum Pilpres 2019 adalah alasan soliditas suara warga Nahdliyyin yang mempersembahkan kemenangan atas pasangan Jokowi-Ma’ruf. Namun, di masa depan, isu agama dan politik identitas hanya akan membawa kebisingan yang tidak produktif. Jokowi perlu nalar politik yang berfokus pada isu ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan materiil.
Tentu sejak awal Jokowi sadar bahwa keputusannya menunjuk Menag dari kalangan militer akan mengecewakan kubu NU. Tetapi, warga Nahdliyyin juga harus tahu bahwa Jokowi sudah punya resep penangkal. Pertama, kekecewaan warga NU pasti segera reda. Sebab, KH. Ma’ruf Amin merupakan tameng simbolik paling ampuh untuk meredam gejolak Nahdliyyin. Warga Nahdliyyin lebih patuh pada kiai dari pada penguasa.
Kedua, Jokowi tidak berkepentingan lagi pada Pilpres 2024 nanti. Ia sah-sah saja merasa tidak perlu berbalas budi pada warga Nahdliyyin. Apalagi meninggalkan kawan lama dalam dunia politik merupakan hal biasa. Adalah lazim bila Jokowi mengecewakan warga NU sebagaimana Prabowo pun mengecewakan Front Pembela Islam (FPI). NU dan FPI sama-sama korban ketidak-setia-kawanan politik.
Ketiga, Jokowi hanya perlu mendengarkan pledoi-pledoi dari pengamat, akademisi, dan intelektual NU yang mengungkapkan kekecewaan mereka dengan cara-cara yang elegan, bijaksana dan terkesan intelektuil. Tetapi, dalam hukum besi politik, tidak setiap kritik rakyat harus diapresiasi oleh pemerintah.
Pragmatisme-materialis politik Jokowi dapat dilihat dari komposisi menteri. Kabinet Indonesia Maju tampak layaknya suatu perusahaan atau industri. Semua diarahkan pada pencapaian ekonomi, sehingga para pengusaha banyak terpilih jadi menteri.
Jangan heran apabila Jokowi sangat senang menemukan sosok seperti Nadiem Makarim. Di mata Jokowi, Nadiem Makarim adalah pengusaha muda yang sukses dengan gemilang. Jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk Nadiem Makarim, menurut Jokowi, sangat cocok. Sekali pun Nadiem tidak punya background, tapi dia diyakini dapat mengubah Kemendikbud menjadi lembaga bisnis dan industri sesuai visi besar presiden.
Di hadapan visi politik yang materialistis ini; hal yang paling penting adalah terciptanya atmosfer yang kondusif dan mampu menarik masuknya investasi. Investor-investor asing mustahil menanamkan investasi mereka di sebuah negara yang tidak mendukung perekonomian.
Sementara di sisi lain, belakangan ini sumber konflik sosial selalu saja berkaitan dengan urusan agama. Radikalisme contoh konkritnya. Demi terciptanya atmosfer investasi yang ideal, Jokowi ingin membenamkan isu radikalisme ini.
Tokoh-tokoh representatif NU mampu memerangi radikalisme. Tetapi, cara-cara kultural mereka pasti sangat lamban. Jokowi butuh percepatan, dan baginya, hal itu hanya bisa dilakukan melalui pengangkatan seorang mantan prajurit militer sebagai menteri agama.
Politik pragmatis-materialis di era kedua Jokowi ini, selain dari caranya menata komposisi kabinet, dapat dilihat dari cara film dokumenter Sexy Killers garapan Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta berbicara pada publik. Logika film tersebut dapat menjadi salah satu framework dalam memaknai apa maksud dan ke mana arah visi kesejahteraan ekonomi Jokowi.
Film Sexy Killers bercerita tentang industri tambang batu bara dan hubungannya dengan badan perpolitikan negara. Banyak tokoh-tokoh nasional, elite politik, memiliki industri tambang yang merugikan negara dan membunuh rakyat kecil. Namun, mereka selamat dari jerat hukum sekalipun bukti kerusakan lingkungan dan kehidupan sangat bertumpuk.
Tidak tertutup peluang, dengan berkaca pada komposisi kabinet, visi kesejahteraan ekonomi Jokowi hanya kamuflase. Sebagaimana orang-orang NU ditinggal pergi, seluruh rakyat Indonesia terancam mengalami nasib serupa. Terlebih bila sampai terbongkar bahwa maksud tersembunyi dari visi kesejahteraan ekonomi tersebut adalah kesejahteraan kroni-kroni terdekat.
Tidak tepat janji dalam politik mungkin terjadi. Periode 2019-2024 adalah “peluang terakhir”. Jokowi perlu mempersiapkan kepentingan dirinya di masa depan, yang melampaui batas masa jabatan kepresidenan. Dia harus mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi, baik untuk seluruh rakyat Indonesia maupun untuk kroni-kroninya sesama pengusaha semata.
Hal tersebut jauh lebih prospektif bagi seorang mantan pengusaha mebel dari pada berbalas budi kepada satu ormas yang bergelut dengan isu agama. Sementara NU berada di posisi jauh dari pragmatisme-materialis Jokowi.
Di mata warga NU, Isu kesejahteraan ekonomi kalah penting dibanding isu persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan nasionalisme. Jika tujuan bernegara hanya untuk mendatangkan investasi dan kesejahteraan ekonomi saja, kita tidak asing dengan isu-isu ini. Di bangku kuliah kita sudah belajar apa yang pernah terjadi di jaman kolonialisme.
Ir. Soekarno pernah menulis, “ketika kapitalisme modern sudah dewasa, kelebihan modal atau surplus kapital mereka ingin dimasukkan ke Indonesia. Mereka tidak sabar menunggu di pintu gerbang Indonesia. Mereka memekik dengan semboyan-semboyan seperti kebebasan buruh, kebebasan menyewa tanah, dan persaingan bebas,” (Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka, Bandung: Segara Arsy, 2019; 11).
Politik NU bukan politik pragmatis-materialistis seperti Jokowi, yang hanya menyangkut urusan perut. Tetapi, politik NU adalah politik keumatan. Hidup berbangsa dan bernegara tidak saja mengejar kebahagiaan material. Nilai-nilai ideal kemanusiaan dan keagamaan jauh lebih mulia dari yang pragmatis-materialistis. Ini yang akan terus PBNU dan warga Nahdliyyin perjuangkan sekali pun harus berjalan sendirian. [dutaislam.or.id/pin]
KH. Imam Jazuli, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon dan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI). Esai ini tayang pertama kali di Tribunews.com dengan judul asli "Membaca Politik Pragmatis Jokowi dan Politik Keumatan NU".