Cover Kitab Ukazatul Ma'ad Syarah Ratib Al-Haddad. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Amirul Mukminin
Dutaislam.or.id - Dalam tradisi pesantren, dikenal beberapa istilah doa ritual yang lazim di kalangan santri, seperti azdkar (jamak dzikir), aurad (jamak wird), rawatib (jamak ratib) dan ahzab (jamak hizb). Semua itu memuat serangkaian doa-doa ma'tsurat dan kalimat thayyibah (seperti ayat-ayat doa dalam Al-Quran dan Hadits maupun Asma'ul Husna).
Bedanya hanya pada kalimat-kalimat doa yang sengaja dibuat untuk tujuan-tujuan tertentu. Biasanya dzikir atau doa tersebut diberi nama sesuai dengan nama pengarang (muallif), kata kunci atau tujuan di balik doa tersebut. Contohnya, wird al-lathif, wird al-kabir, ratib al-haddad, ratib at-thas, hizb al-bahr dan hizb an-nashor.
Setiap pesantren biasanya memiliki amaliah dzikir yang berbeda. Sebab, pesantren masih mempertahankan tradisi ijazah (semacam izin transmisi atau riwayat doa) dalam setiap proses transferring keilmuan, termasuk doa. Terkait ini, pengasuh pesantren adalah orang pertama dalam proses transmisi atau periwayatan doa.
Baca: Flashdisk Isi Ribuan Kitab Kuning PDF Jutaan Halaman
Doa menjadi bekal utama kaum santri dalam proses komunikasi spiritual. Bahkan sebagian pesantren tidak hanya menganjurkan, tetapi mewajibkannya sebagai lelaku (riyadhah) harian. Misalnya di Pondok Pesantren Salafiyah Safieyah Sukorejo Situbondo. Ratib Al-Haddad adalah ritual doa yang rutin dibaca santri setiap selesai shalat Ashar di sana.
Ratib Al-Haddad bukan hanya popular dan lazim di kalangan santri. Di luar pesantren pun Ratib Al-Haddad juga dibaca secara rutin oleh sebagian masyarakat non-santri, khususnya masyarakat Nahdlatu Ulama (NU).
Lebih-lebih di negeri asalnya, Tarim, Hadramaut, Yaman, di mana pengarang Ratib Al-Haddad dilahirkan. Beliau adalah Al-Habib Abdullah Al-Haddad, seorang ulama besar Tarim, lahir pada hari Ahad 5 Shafar tahun 1044 H. dan wafat pada hari Senin 7 Dzulqa’dah tahun 1132 H.
Baca: Khasiat Hebat Wirid Ratib Al Haddad
Karyanya kemudian banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Inggris, Perancis, Melayu, Urdu, Turki dan Indonesia. Kemudian kitab Ratib Al-Haddad disyarahi oleh ulama-ulama berikutnya, misalnya: Kitab Sabilul Hidayah war Rasyad karya Syihabuddin Al-Haddad, Kitab Bughyah Ahlil Ibadah wal Aurad karya Al-Alawi bin Ahmad bin Hasan Al-Haddad, Kitab Dzakhiratul Ma'ad karya Abdullah bin Ahmad Baswedan dan Kitab Ukazatul Ma'ad karya Abu Muhammad Al-Qadiri Al-Malibari, asal Malibar, India.
Dalam mukaddimahnya, Abu Muhammad al-Malibari menegaskan bahwa kitab syarah ini bermaksud memberikan legitimasi arti penting doa dalam kehidupan seorang muslim. Bahwa berdoa atau berdzikir bukan sekedar bentuk kesadaran spiritual seorang hamba dalam memohon kepada Allah Swt. Akan tetapi lebih dari itu, berdoa atau berdzikir juga memiliki dua fadhilah: pertama, dzikir adalah ibadah yang paling mulia; kedua, dzikir adalah bentuk perhatian Allah kepada hambanya.
========
IDENTITAS KITAB:
Judul Kitab: Ukazatul Ma'ad Syarah Ratib Al-Haddad
Penulis: Abu Muhammad al-Qadiri al-Malibari
Penerbit: Badriyya Book Stall
Tebal: 72 halaman (PDF)
Size total: 15.6 MB
Link download PDF: Kitab Ukazatul Ma'ad
========
Selain itu, dzikir juga sebagai upaya untuk menolak balak (musibah) dan mendatangkan segala bentuk kebaikan. Yang lebih penting lagi, berdzikir bisa menjadi terapi psikologis menenangkan jiwa (ithmi'nanul qalbi). Dengan hati yang tenang, seseorang bisa lebih nyaman dalam beribadah dan lebih mudah mengenal (ma'rifat) kepada Allah. Sementara dzikir adalah wasilah untuk mencapai tujuan, yaitu mengenal Allah, melalui ilmu pengetahuan (ilmiah) dan implementasinya (amaliah).
Dzikir secara leksikal artinya mengingat. Secara istilah syara', dzikir dimaknai sebagai aktivitas ibadah berupa perkataan (qauli) yang bertujuan untuk memuji dan mengagungkan Allah. Dalam praktiknya, dzikir juga diartikan semua amal perbuatan ibadah yang bertujuan mengingat Allah. Jadi, ada dua macam dzikir: dzikir praktis ('amali) bisa berupa belajar, mengajar, menulis dan membaca; dzikir verbal (qauli) berupa ucapan-ucapak kebaikan (pujian). Dzikir ‘amali maknanya lebih luas dari pada dzikir qauli atau lisani (dzikir verbal).
Agar senantiasa dzikir bernilai ibadah diperlukan beberapa prasyarat etis, antara lain: nilai yang tulus (ikhlas) hati yang khusyu' dan tubuh yang suci serta suci dari sifat-sifat tercela seperti syirik, nifaq, riya', ujub, sombong (kibr), dengki (hasud) dan tendensius-obsesif material. Sebaliknya, ahli dzikir berhias diri dengan sifat-sifat terpuji, misalnya tawadhu' (rendah hati), ikhlas, qana'ah, dan khasyah (khauf dan raja’).
Hal penting lain yang harus diperhatikan ahli dzikir adalah kontinuitas. Bahwa dzikir harus dilakukan secara istiqamah, ajeg dan terus menerus dalam kondisi apapun, bahagia atau sedih, luang maupun sibuk, suci atau pun hadats. Fleksibilitas ini membuat dzikir terasa mudah, sehingga hati manusia tidak boleh lepas dari dzikir (ingat) Allah.
Selain fleksibel, berdzikir juga bisa dilakukan secara samar (khafiy) atau keras (jahriy). Masing-masing bisa digunakan sesuai tuntutan konteksnya. Sekiranya dengan keras akan menimbulkan riya', maka sebaiknya dzikir dilakukan secara sirr (samar). Sebaliknya sekiranya dzikir dapat menggugah hati untuk lebih khusu’maka cara jahri (keras) dianjurkan.
Demikian juga boleh dzikir dilakukan secara individual maupun secara kolektif. Tentu, secara kolektif lebih afdhol (utama) karena selain memberikan nilai edukatif, juga semakin membuat suasana lebih kondusif dan memacu semangat orang lain untuk lebih focus dalam berdzikir.
Begitu juga teknisnya, bisa menggunakan alat tasbih (ittikhadz as-sabhat) untuk menandai bilangan dan menjadi media dzikir sehingga tidak terjadi kesalahan. Bila tidak, maka boleh juga dengan jemari. Intinya, cara-cara tadi hanyalah media dalam tingkatan orang berdzikir.
Baca: Toko Online Kitab Kuning Makna Pesantren dan Makna Pegon
Dalam kaitanya dengan jumlah, dzikir idealnya tidak harus dibatasi melainkan sesuai kemampuannya. Karena yang paling penting dari dzikir adalah tercapainya maksud dzikir, yaitu ma'rifatullah (merasakan kehadiran Allah).
Bilangan dzikir tak lain adalah tahapan-tahapan proses untuk mencapai tujuan. Dalam arti, jika sekali dzikir tidak tercapai tujuan, maka barangkali dengan mengulang-ulang dzikir, tujuan ma'rifatullah akan diperoleh. Karena itu, esensi dzikir bukan terletak pada seberapa jumlah bilangannya, tetapi seberapa tercapai tujuannya.
Selanjutnya, ratib sendiri secara bahasa berarti terus-menerus (da'im). Secara istilah ratib adalah serangkaian kata-kata doa kepada Allah, baik sebagai permohonan untuk memperoleh kebaikan maupun menolak keburukan. Secara historis, terma ini memang tidak kenal di masa kenabian dan sahabat kecuali di masa ulama-ulama sufi. Muatan dzikir ratib sengaja disusun para ulama untuk tujuan-tujuan tertentu.
Memang tidak ada dalil sharih terkait rangkaian dzikir atau doa tersebut. Akan tetapi secara parsial, banyak hadits Nabi yang menjelaskan fadhilahnya. Jumhur ulama membolehkan (mubah) berdzikir dengan doa apapun, meski tidak ada nash sharih yang menegaskannya. Syaratnya, muatan doanya mengandung makna positif dan tidak bertentangan dengan maqashid syariah.
Baca: Download Ratusan Ebook Fiqih Moderat Lintas Madzhab
Secara historis, Ratib Al-Haddad ditulis pada tahun 1071 H. Hal ini dilatari oleh kondisi kegelisahan masyarakat terhadap masuknya aliran Syiah Zaidiyah ke Hadramaut. Seperti diketahui, mayoritas masyarakat Hadramaut beraliran Sunni. Untuk melindungi keselamatan akidah mereka dari gencaran akidah aliran Syiah, Al-Habib Abdullah Al-Haddad diminta untuk menuliskan doa-doa ratib ini.
Akhirnya, setahun kemudian, tepatnya tanggal 27 Ramadhan tahun 1072 H., ratib ini disebar dan dibaca secara istiqamah di seluruh masjid di beberapa negara seperti Syam dan Yaman, termasuk di Masjid Al-Haramain Saudi Arabia.
Adapun kaifiyah (cara) membaca Ratib Al-Haddad disyaratkan istiqomah sepertihalnya amal kebaikan pada umumnya. Bila ditinggalkan karena udzur (halangan), diganti di waktu lain. Secara khusus, Ratib Al-Haddad dapat dibaca dengan dua cara: bila di luar bulan Ramadhan dibaca setelah shalat ba'diyah Isya'. Sedangkan di dalam bulan Ramadhan di baca sebelum shalat Isya'.
Lebih baik lagi bila dibaca secara berjamaah (bersama-sama) sembari menghadap kiblat. Sedangkan imam (pemimpin doa) sebaiknya menghadap ke arah makmum (jamaah). Sebagai imam ia dianjurkan membaca dengan keras, sementara makmun diajurkan untuk lirih (samar).
Kitab Syarah Ukazatul Ma'ad ini merupakan syarah yang cukup lengkap dibanding kitab syarah lainnya. Tidak hanya dalil-dalil hadits terkait setiap bacaan kalimat (doa) dalam ratib, tetapi juga ulasan referensi manuskrip (nuskhat) dari karya-karya sebelumnya, seperti Kitab Adz-Dzakhirat karya Abdullah bin Ahmad Baswedan yang selalu dirujuk dan disebut dalam kitab ini.
Selain itu, kitab ini juga dilengkapi sanad (riwayat) ijazah dari muallif (pengarang kitab syarah ini) hingga Al-Habib Abdullah Al-Haddad, pengarang Ratib Al-Haddad. Ini penting dalam tradisi transmisi atau periwayatan ijazah ratib sebagai ciri khas.
Jadi, bisa dikatakan kitab ini sekaligus memberikan ijazah mutlaq (umum) kepada siapapun yang hendak mengamalkan Ratib Al-Haddad. [dutaislam.or.id/ab]
Amirul Mukminin, asrama Al-Iflah Ponpes Salafiyah Syafieyah, Sukorejo, Situbondo