Cover Kitab Fadhilatus Syukri Lillah ala Nikmatihi. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Mujahid
Dutaislam.or.id - Seperti lazimnya dalam kajian Al-Qur'an, hadits juga mengenal beberapa corak kajian, antara lain: maudluí (tematik), ijmali (global) tahlili (analitik) dan muqoron (komparatif).
Maudluí adalah corak studi yang fokus kepada ayat-ayat atau hadits-hadits dalam satu tema. Ijmali adalah corak studi yang melihat kandungan satu ayat atau hadits secara umum. Tahlili adalah corak studi terhadap satu ayat atau hadits yang dianalisis secara komprehensif. Muqoron adalah corak studi perbandingan antar ayat atau antar hadits dalam satu tema.
Misalnya studi ayat atau hadits tematik tentang syukur, maka teori yang tepat digunakan adalah munasabah (teori korelasi makna antar ayat atau hadits dalam satu tema tertentu).
Baca: Flashdisk Isi Ribuan Kitab Kuning Jutaan Halaman Tanpa Download
Termasuk dari corak kajian hadits tematik adalah Kitab Fadhilatu Asy-Syukri Lillahi Ala Ni’ matihi karya Imam al-Hafidz Abu Bakar as-Samarriy (w.327 H.), atau dikenal Imam al-Kharaithi, seorang ulama ahli hadits (al-Muhaddis) sekaligus ahli sastra (al-Adib) asal Baghdad, Irak.
Kitab ini termasuk karya unik (nadir) karena disamping jenisnya manuskrip kuno yang ditulis pada paruh abad ke 3 H, kajiannya spesifik pada kata syukur saja. Berbeda dengan karya ulama lainnya. Meski membahas tentang syukur tapi tidak sedikit yang mengaitkannya dengan kata-kata yang sepadan maknanya (mutaradifat), seperti kata syukr, hamd, madh dan ridla.
Hal ini karena menurutnya, syukur memiliki makna yang lebih umum dan mencakup seluruh bentuk pujian, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia, baik yang sifat dzahir maupun bathin.
Menurut Muhammad Muthi’ (pentahqiq kitab), ada dua kitab tentang syukur yang hampir mirip, yaitu Kitab asy-Syukr karya Ibn Abi Ad-dunya (w.281 H.) dan Kitab Fadhilatu asy-Syukr karya Imam al-Kharaithi (w.327 H.). Keduanya bisa dikatakan sezaman, meski 46 tahun berikutnya Imam Al-Kharaithi wafat dalam usia 90 tahun.
Ada dugaan (disinyalir) keduanya berkolaborasi dalam berkarya. Sebab, ditemukan banyak kemiripan dari sisi referensi, corak, metode dan pendekatan (istidlal) yang digunakan, seperti hadits-hadits dan syair-syair, meski Muhammad Muthi’ sendiri tidak menjelaskan lebih detail perbedaan karya keduanya. Tetapi yang pasti, karya Ibn Abi ad-Dunya lebih tua daripada karya Imam al-Kharaithi.
Dilihat dari karyanya, Imam al-Kharaithi juga bisa disebut tokoh sufi karena manuskrip-manuskrip lain yang ditemukan konsern dalam kajian-kajian sufistik, misalnya: Kitab Makarim al-Akhlak wa Ma'áliha, Kitab Masawi al-Akhlak wa Madzmumuha, Kitab I’tilal Qulub fi Ahaditst al-Mahabbah dan Kitab Qam’u al-Hirsh bi al-Qonaáh.
Bedanya, kitab Fadhilatu asy-Syukri Lillahi Ala Ni’matihi ini lebih spesifik pada studi hadits tematik. Tepatnya, kajian hadits-hadits tentang syukur (ucapan terima kasih).
Meskipun kitab ini menyajikan hadits-hadits lengkap dengan sanadnya, bahkan disertai syair-syair terkait, tetapi tidak ada penjelasan detail tentang kandungan haditsnya, sehingga kitab ini terkesan simple.
Perlu adanya kajian baru yang bersifat elaboratif-eksplanatif (syarah atau hasyiah) untuk mengembangkan pemikiran Imam al-Kharaithi menjadi lebih komprehensif, baik di level pengkaji pemula (mubtadi) maupun level menengah (muqtashid).
Sederhananya, kitab ini sebagaimana kitab hadits lain masih fokus pada kumpulan hadits an sich, seperti Kitab Bulugh al-Maram, Mukhtar al-Ahaditst, Riyadus Shalihin dan lain–lain, yang jamak dipelajari di pesantren-pesantren pada umumnya.
Kitab ini memuat 106 hadits (termasuk syair-syair) yang mayoritas –secara redaksional– terdiri dari hadits-hadits doa. Semuanya berkaitan dengan syukur, mulai dari hadits fadhilah syukur hingga hadits enggan bersyukur (kufrun nikmah).
========
IDENTITAS KITAB:
Judul Kitab: Fadhilatus Syukri Lillah Ala Ni'matih
Penulis: Imam al-Hafidz Abu Bakar as-Samarriy
Penerbit: Darul Fikr, Beirut
Tahun: 1982
Tebal: 102 halaman (PDF)
Space: 1 MB
Link download PDF: Kitab Fadhilatus Syukri Lillah Ala Ni'matih
========
Hadits-hadits tersebut dibagi ke dalam enam pokok bahasan, sebagai berikut: 1. Urgensi syukur, fadhilah dan cara bersyukur; 2. Hal-hal yang seringkali dilupakan dalam bersyukur; 3. Sujud syukur, baik karena kondisi bahagia maupun karena terbebas dari malapetaka; 4. Hal-hal yang tidak disukai Allah dalam bersyukur; 5. Hal-hal yang mewajibkan manusia bersyukur; 6. Kufur nikmat. Masing-masing pokok bahasan di atas memiliki korelasi makna (munasabah) satu sama lain, sehingga lahir satu konsepsi syukur yang utuh.
Contohnya, hadits yang dikutip Al-Kharaithi dalam riwayat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: "Allah tidak memberikan nikmat kepada seorang hamba –lalu ia berucap: Alhamdulillah– kecuali ucapan (pujian) itu lebih besar (banyak) dari nikmat itu sendiri".
Meski tidak ada penjelasan terkait makna hadits ini, namun dalam hemat penulis, al-Kharaithi hendak menegaskan bahwa hakikat ucapan (pujian) al-hamdulillah kualitas nilainya lebih besar daripada kuantitas nikmatnya.
Baca: Kitab Khulashoh At-Tashanif (PDF) dan Sufisme Imam Al-Ghazali
Alasannya, secara filosofis, pujian al-hamdulillah mengandung dua makna: 1. Makna legitimatif, mengakui bahwa Allah memang layak dipuji sebagai pemberi nikmat (al-mun’im) yang memiliki otoritas penuh dalam memberi dan membagi rezeki kepada hambanya. 2. Makna affirmatif, menyadari bahwa manusia sebagai hamba memang mempunyai tingkat dependensi yang sangat tinggi kepada Allah.
Berbeda dengan catatan Sufyan bin Uyainah yang dikutip oleh Muhammad Muthi’dalam hamisy (footnote) kitab ini. Menurutnya, tidak mungkin perbuatan (pujian) hamba lebih besar dari pada perbuatan (nikmat) Allah. Dengan kata lain, tetap tidak sebanding antara kualitas pemberian nikmat Allah dengan kuantitas syukur manusia.
Tegas Allah berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Ibrahim (34) dan An-Nahl (18), yang artinya: "Jika kalian (hendak) menghitung nikmat Allah, maka kalian tidak akan mampu menghitungnya".
Ada dua hadits yang redaksinya sama tetapi perawinya berbeda, yakni Riwayat Abu Said al-Khudri dan Riwayat Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda: "Tidak (disebut) bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterimakasih kepada sesama manusia" (laa yasykuru Allah man laa yasykuru an-nas).
Hadits ini menegaskan bahwa syukur dibagi dalam dua kategori: bersyukur kepada Allah dan bersyukur kepada makhluk (manusia). Bersyukur (berterimakasih) kepada manusia identik dengan bersyukur kepada Allah. Tapi tidak sebaliknya, bersyukur kepada Allah tetap tidak identik berterimakasih kepada manusia.
Alasannya, dalam logika Allah selalu dikenal apa yang disebut sunnatullah, yakni hukum kausalitas yang bersifat alamiah. Misalnya dalam hal pemberian nikmat (rezeki), Allah selalu melibatkan peran dan kontribusi sesama manusia sebagai sebab memperoleh rezeki, tidak secara instan (langsung).
Baca: Toko Online Kitab Kuning Makna Pesantren dan Makna Jawa
Maka, wajar bila kesadaran bersyukur kepada Allah diukur dari kesadaran berterimakasih kepada orang lain yang turut berkontribusi. Hal ini juga ditegaskan Allah dalam Al-Qur'an Surat Luqman (14): "Kami wasiatkan kepada setiap manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibu yang telah mengandungnya susah payah dan menyapihnya dalam usia 2 tahun, agar engkau bersyukur kepadaku dan kepada kedua orang tuamu, kepadaku tempatmu kembali".
Lain dari pada itu, kitab ini juga memuat hadits-hadits tentang faedah (fadhilah) syukur, antara lain: 1. Bersyukur akan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah; 2. Bersyukur juga dapat meningkatkan timbangan amal kebaikan (mala’al-mizan); 3. Bersyukur bisa mendatangkan keberkahan (ziyadat al-khair); 4. Bersyukur menjadi indikator kualitas keimanan sesorang; 5. Bersyukur bisa menambah kualitas ketaatan kepada Allah; 6. Bersyukur membuat hidup sehat, terhindar dari segala penyakit; 7. Bersyukur menyebabkan datangnya cinta (mahabbah) dan kasih sayang (rahmat) Allah; 8. Bersyukur dapat menyelamatkan diri dari azab Allah; 9. Bersyukur dapat menjadi sebab seseorang masuk surga; 10. Bersyukur dapat menjadi pelindung diri dari musibah (tolak balak); 11. Pahala bersyukur sebanding dengan pahala berpuasa; 112. Bersyukur menjadi sebab terhapusnya dosa (kaffarat ad-dzunub). 13. Bersyukur menjadi sebab terkabulnya harapan dan doa (cita-cita).
Keistimewaan fadhilah di atas akan terwujud bilamana syukur diimplementasikan dengan benar. Sesuai dengan hadits yang dikutip dalam kitab ini tentang cara bersyukur, ada tiga macam: 1. bersyukur dengan lisan (berucap al-hamdulillah) yang disebut syukrun bil lisan; 2. Bersyukur dengan tindakan (berbuat baik) yang disebut syukrun bil yad; dan 3. Bersyukur dengan hati (berkeyakinan bahwa rezeki adalah hak prerogatif dan otoritatif Allah) yang disebut syukrun bid dlamir/ bil qalbi.
Ketiganya tidak boleh dipahami dan diamalkan secara parsial, tapi harus secara integratif. Dengan demikian, seseorang tidak cukup hanya memilih salah satu bentuk syukur di atas dan mengabaikan lainnya, baik dalam kuantitas rezeki yang sedikit apalagi banyak.
Esensi syukur tidak diukur dari seberapa banyak kuantitas rezeki, tetapi dinilai dari seberapa tinggi tingkat kesadaran spiritualitas manusia dalam menegasikan dirinya dan mengakui kekuasan Allah, maha pemberi rezeki (al-Mun’im, ar-Razzaq, al-Wahhab). [dutaislam.or.id/ab]
Dutaislam.or.id - Seperti lazimnya dalam kajian Al-Qur'an, hadits juga mengenal beberapa corak kajian, antara lain: maudluí (tematik), ijmali (global) tahlili (analitik) dan muqoron (komparatif).
Maudluí adalah corak studi yang fokus kepada ayat-ayat atau hadits-hadits dalam satu tema. Ijmali adalah corak studi yang melihat kandungan satu ayat atau hadits secara umum. Tahlili adalah corak studi terhadap satu ayat atau hadits yang dianalisis secara komprehensif. Muqoron adalah corak studi perbandingan antar ayat atau antar hadits dalam satu tema.
Misalnya studi ayat atau hadits tematik tentang syukur, maka teori yang tepat digunakan adalah munasabah (teori korelasi makna antar ayat atau hadits dalam satu tema tertentu).
Baca: Flashdisk Isi Ribuan Kitab Kuning Jutaan Halaman Tanpa Download
Termasuk dari corak kajian hadits tematik adalah Kitab Fadhilatu Asy-Syukri Lillahi Ala Ni’ matihi karya Imam al-Hafidz Abu Bakar as-Samarriy (w.327 H.), atau dikenal Imam al-Kharaithi, seorang ulama ahli hadits (al-Muhaddis) sekaligus ahli sastra (al-Adib) asal Baghdad, Irak.
Kitab ini termasuk karya unik (nadir) karena disamping jenisnya manuskrip kuno yang ditulis pada paruh abad ke 3 H, kajiannya spesifik pada kata syukur saja. Berbeda dengan karya ulama lainnya. Meski membahas tentang syukur tapi tidak sedikit yang mengaitkannya dengan kata-kata yang sepadan maknanya (mutaradifat), seperti kata syukr, hamd, madh dan ridla.
Hal ini karena menurutnya, syukur memiliki makna yang lebih umum dan mencakup seluruh bentuk pujian, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia, baik yang sifat dzahir maupun bathin.
Menurut Muhammad Muthi’ (pentahqiq kitab), ada dua kitab tentang syukur yang hampir mirip, yaitu Kitab asy-Syukr karya Ibn Abi Ad-dunya (w.281 H.) dan Kitab Fadhilatu asy-Syukr karya Imam al-Kharaithi (w.327 H.). Keduanya bisa dikatakan sezaman, meski 46 tahun berikutnya Imam Al-Kharaithi wafat dalam usia 90 tahun.
Ada dugaan (disinyalir) keduanya berkolaborasi dalam berkarya. Sebab, ditemukan banyak kemiripan dari sisi referensi, corak, metode dan pendekatan (istidlal) yang digunakan, seperti hadits-hadits dan syair-syair, meski Muhammad Muthi’ sendiri tidak menjelaskan lebih detail perbedaan karya keduanya. Tetapi yang pasti, karya Ibn Abi ad-Dunya lebih tua daripada karya Imam al-Kharaithi.
Dilihat dari karyanya, Imam al-Kharaithi juga bisa disebut tokoh sufi karena manuskrip-manuskrip lain yang ditemukan konsern dalam kajian-kajian sufistik, misalnya: Kitab Makarim al-Akhlak wa Ma'áliha, Kitab Masawi al-Akhlak wa Madzmumuha, Kitab I’tilal Qulub fi Ahaditst al-Mahabbah dan Kitab Qam’u al-Hirsh bi al-Qonaáh.
Bedanya, kitab Fadhilatu asy-Syukri Lillahi Ala Ni’matihi ini lebih spesifik pada studi hadits tematik. Tepatnya, kajian hadits-hadits tentang syukur (ucapan terima kasih).
Meskipun kitab ini menyajikan hadits-hadits lengkap dengan sanadnya, bahkan disertai syair-syair terkait, tetapi tidak ada penjelasan detail tentang kandungan haditsnya, sehingga kitab ini terkesan simple.
Perlu adanya kajian baru yang bersifat elaboratif-eksplanatif (syarah atau hasyiah) untuk mengembangkan pemikiran Imam al-Kharaithi menjadi lebih komprehensif, baik di level pengkaji pemula (mubtadi) maupun level menengah (muqtashid).
Sederhananya, kitab ini sebagaimana kitab hadits lain masih fokus pada kumpulan hadits an sich, seperti Kitab Bulugh al-Maram, Mukhtar al-Ahaditst, Riyadus Shalihin dan lain–lain, yang jamak dipelajari di pesantren-pesantren pada umumnya.
Kitab ini memuat 106 hadits (termasuk syair-syair) yang mayoritas –secara redaksional– terdiri dari hadits-hadits doa. Semuanya berkaitan dengan syukur, mulai dari hadits fadhilah syukur hingga hadits enggan bersyukur (kufrun nikmah).
========
IDENTITAS KITAB:
Judul Kitab: Fadhilatus Syukri Lillah Ala Ni'matih
Penulis: Imam al-Hafidz Abu Bakar as-Samarriy
Penerbit: Darul Fikr, Beirut
Tahun: 1982
Tebal: 102 halaman (PDF)
Space: 1 MB
Link download PDF: Kitab Fadhilatus Syukri Lillah Ala Ni'matih
========
Hadits-hadits tersebut dibagi ke dalam enam pokok bahasan, sebagai berikut: 1. Urgensi syukur, fadhilah dan cara bersyukur; 2. Hal-hal yang seringkali dilupakan dalam bersyukur; 3. Sujud syukur, baik karena kondisi bahagia maupun karena terbebas dari malapetaka; 4. Hal-hal yang tidak disukai Allah dalam bersyukur; 5. Hal-hal yang mewajibkan manusia bersyukur; 6. Kufur nikmat. Masing-masing pokok bahasan di atas memiliki korelasi makna (munasabah) satu sama lain, sehingga lahir satu konsepsi syukur yang utuh.
Contohnya, hadits yang dikutip Al-Kharaithi dalam riwayat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: "Allah tidak memberikan nikmat kepada seorang hamba –lalu ia berucap: Alhamdulillah– kecuali ucapan (pujian) itu lebih besar (banyak) dari nikmat itu sendiri".
Meski tidak ada penjelasan terkait makna hadits ini, namun dalam hemat penulis, al-Kharaithi hendak menegaskan bahwa hakikat ucapan (pujian) al-hamdulillah kualitas nilainya lebih besar daripada kuantitas nikmatnya.
Baca: Kitab Khulashoh At-Tashanif (PDF) dan Sufisme Imam Al-Ghazali
Alasannya, secara filosofis, pujian al-hamdulillah mengandung dua makna: 1. Makna legitimatif, mengakui bahwa Allah memang layak dipuji sebagai pemberi nikmat (al-mun’im) yang memiliki otoritas penuh dalam memberi dan membagi rezeki kepada hambanya. 2. Makna affirmatif, menyadari bahwa manusia sebagai hamba memang mempunyai tingkat dependensi yang sangat tinggi kepada Allah.
Berbeda dengan catatan Sufyan bin Uyainah yang dikutip oleh Muhammad Muthi’dalam hamisy (footnote) kitab ini. Menurutnya, tidak mungkin perbuatan (pujian) hamba lebih besar dari pada perbuatan (nikmat) Allah. Dengan kata lain, tetap tidak sebanding antara kualitas pemberian nikmat Allah dengan kuantitas syukur manusia.
Tegas Allah berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Ibrahim (34) dan An-Nahl (18), yang artinya: "Jika kalian (hendak) menghitung nikmat Allah, maka kalian tidak akan mampu menghitungnya".
Ada dua hadits yang redaksinya sama tetapi perawinya berbeda, yakni Riwayat Abu Said al-Khudri dan Riwayat Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda: "Tidak (disebut) bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterimakasih kepada sesama manusia" (laa yasykuru Allah man laa yasykuru an-nas).
Hadits ini menegaskan bahwa syukur dibagi dalam dua kategori: bersyukur kepada Allah dan bersyukur kepada makhluk (manusia). Bersyukur (berterimakasih) kepada manusia identik dengan bersyukur kepada Allah. Tapi tidak sebaliknya, bersyukur kepada Allah tetap tidak identik berterimakasih kepada manusia.
Alasannya, dalam logika Allah selalu dikenal apa yang disebut sunnatullah, yakni hukum kausalitas yang bersifat alamiah. Misalnya dalam hal pemberian nikmat (rezeki), Allah selalu melibatkan peran dan kontribusi sesama manusia sebagai sebab memperoleh rezeki, tidak secara instan (langsung).
Baca: Toko Online Kitab Kuning Makna Pesantren dan Makna Jawa
Maka, wajar bila kesadaran bersyukur kepada Allah diukur dari kesadaran berterimakasih kepada orang lain yang turut berkontribusi. Hal ini juga ditegaskan Allah dalam Al-Qur'an Surat Luqman (14): "Kami wasiatkan kepada setiap manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibu yang telah mengandungnya susah payah dan menyapihnya dalam usia 2 tahun, agar engkau bersyukur kepadaku dan kepada kedua orang tuamu, kepadaku tempatmu kembali".
Lain dari pada itu, kitab ini juga memuat hadits-hadits tentang faedah (fadhilah) syukur, antara lain: 1. Bersyukur akan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah; 2. Bersyukur juga dapat meningkatkan timbangan amal kebaikan (mala’al-mizan); 3. Bersyukur bisa mendatangkan keberkahan (ziyadat al-khair); 4. Bersyukur menjadi indikator kualitas keimanan sesorang; 5. Bersyukur bisa menambah kualitas ketaatan kepada Allah; 6. Bersyukur membuat hidup sehat, terhindar dari segala penyakit; 7. Bersyukur menyebabkan datangnya cinta (mahabbah) dan kasih sayang (rahmat) Allah; 8. Bersyukur dapat menyelamatkan diri dari azab Allah; 9. Bersyukur dapat menjadi sebab seseorang masuk surga; 10. Bersyukur dapat menjadi pelindung diri dari musibah (tolak balak); 11. Pahala bersyukur sebanding dengan pahala berpuasa; 112. Bersyukur menjadi sebab terhapusnya dosa (kaffarat ad-dzunub). 13. Bersyukur menjadi sebab terkabulnya harapan dan doa (cita-cita).
Keistimewaan fadhilah di atas akan terwujud bilamana syukur diimplementasikan dengan benar. Sesuai dengan hadits yang dikutip dalam kitab ini tentang cara bersyukur, ada tiga macam: 1. bersyukur dengan lisan (berucap al-hamdulillah) yang disebut syukrun bil lisan; 2. Bersyukur dengan tindakan (berbuat baik) yang disebut syukrun bil yad; dan 3. Bersyukur dengan hati (berkeyakinan bahwa rezeki adalah hak prerogatif dan otoritatif Allah) yang disebut syukrun bid dlamir/ bil qalbi.
Ketiganya tidak boleh dipahami dan diamalkan secara parsial, tapi harus secara integratif. Dengan demikian, seseorang tidak cukup hanya memilih salah satu bentuk syukur di atas dan mengabaikan lainnya, baik dalam kuantitas rezeki yang sedikit apalagi banyak.
Esensi syukur tidak diukur dari seberapa banyak kuantitas rezeki, tetapi dinilai dari seberapa tinggi tingkat kesadaran spiritualitas manusia dalam menegasikan dirinya dan mengakui kekuasan Allah, maha pemberi rezeki (al-Mun’im, ar-Razzaq, al-Wahhab). [dutaislam.or.id/ab]
Mujahid, Asrama NI Putra Ponpes Salafiyah Syafieyah Sokorejo Situbondo