Cover Kitab Manhajus Salaf Sayyid Muhammad. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Maulidi Al-Hasany
Dutaislam.or.id - Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki adalah ulama Sunni Saudi Arabia yang banyak digemari ulama-ulama Indonesia. Karya-karyanya pun banyak dikaji di pesantren-pesantren Indonesia.
Di antaranya pesantren Nurul Haramain asuhan KH. Ihya' Ulumiddin Pujon Malang, pesantren Salafiyah Syafieyah asuhan KH. Azaim Ibrahimy Sukorejo Situbondo, pesantren Al-Haramain asuhan KH. Muhammad Dainawi Semende Muara Enim atau pesantren Nurul Haramain asuhan KH. Sirojan Munira Kulon Progo Yogyakarta.
Dalam bidang fikih, Sayyid Muhammad berbeda madzhab dengan ulama mayoritas di Indonesia. Sayyid Muhammad bermadzhab Maliki, sedangkan ulama Indonesia umumnya bermadzhab Syafi'i. Meski harus diakui keduanya tergolong madzhab Sunni. Dalam fikih madzhab Sunni diakui empat madzhab besar: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanbaliyah.
Baca: Flashdisk Isi 3000 Lebih Kitab Kuning PDF
Di antara karya Sayyid Muhammad yang populer dikaji adalah Kitab Manhaj as-Salaf fi Fahmi an-Nushush. Secara garis besar, karya ini merupakan kitab metodologi memahami teks-teks otoritatif al-Quran dan As-Sunnah. Tidak hanya dari sisi teoritis, tetapi juga dari sisi praktis.
Kitab ini mengetengahkan pemikiran-pemikiran ulama salaf dalam memahami teks-teks keagamaan, misalnya perdebatan Imam As-Subki dengan Imam asy-Syaukani, Ibnu Taimiyyah dan Syiekh Muhmamad ibn Ibrahim. Di samping itu, kitab ini juga membahas tentang trilogi keislaman dasar, yaitu: akidah, syariah dan makrifat. Pembahasan ini ini dibagi dalam empat pokok bahasan: Akidah, Nubuwwah, Al-Quran dan as-Sunnah serta Bid'ah.
Bagian pertama masalah akidah (teologi). Dalam bahasan ini, Sayyid menegaskan bahwa sifat-sifat Allah semuanya azali (qadim: dahulu) yang harus diyakini kebenarannya berdasarkan informasi teks-teks Al-Quran maupun al-Hadits. Tidak ada ruang ijtihad bagi manusia, sebab akal dan inderawi manusia terbatas pada obyek alam semesta saja. Sedangkan tuhan (Allah) berbeda dengan alam (makhluknya).
========
IDENTITAS KITAB:
Judul Kitab: Manhajus Salaf fi Fahmin Nushush
Penulis: Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Penerbit: -
Tebal: 282 halaman (PDF)
Size total: 7.95 MB
Link download PDF: Kitab Manhajus Salaf fi Fahmin Nushush
========
Maka, tidak benar bila ada pandangan yang menisbatkan (mengaitkan) sifat-sifat makhluk kepada sifat Allah. Perbedaan ini disebabkan perbedaan ontologis tentang Tuhan dan Alam. Bahwa Tuhan adalah pencipta Alam (al-khaliq), alam adalah ciptaanya (mahkluk). Jadi, Tuhan berbeda dengan makhluk dari segala aspeknya (laisa kamistlihi syaiun)
Hal lain yang menarik di sini adalah bahasan tentang ahlul bait (keluarga Nabi). Berdasar hadits-hadits shahih, Sayyid Muhammad menjelaskan bahwa makna ahlu bait sebagaimana dalam QS. al-Ahzab: 33 hanya terbatas pada anggota internal keluarga Nabi. Lebih tegas lagi, Sayyid menyebut ahlul bait antara lain: istri-istri Nabi, Fathimah, Ali dan cucunya (Hasan-Husain).
Dalam teologi Islam, mereka diposisikan sebagai orang-orang yang suci (thahirah). Meski dalam konteks penegakan keadilan hukum, mereka diperlakukan sama dengan manusia lainnya. Di sini letak keagungan dan keadilan Nabi terhadap keluarganya, yang harus dipahami umatnya. Tidak berarti bahwa keluarga Nabi maksum (terpelihara dari dosa) sepertihalnya Nabi sendiri. Kecintaan kepada ahlul bait didasari atas kecintaan kepada diri Nabi. Selain hadits Nabi, banyak padangan ulama lain yang dikutip Sayyid Muhammad untuk meneguhkan keagungan ahlul bait Rasulillah sebagai bagian dari akidah islam.
Selain itu, hal lain yang perlu digaris bawahi dalam kitab ini adalah kritik Sayyid terhadap orang-orang yang mengklaim bahwa pahala bacaan Al-Quran tidak sampai kepada ahli kubur (orang yang sudah wafat).
Menurutnya, salah besar bila beranggapan bahwa ulama salaf tidak melakukan bacaan Al-Quran kepada si mayit (orang mati) karena alasan pahalanya tidak akan sampai. Justru sebaliknya, orang yang membacakan Al-Quran dan kalimat thayyibah (doa-doa kebaikan) kepada si mayit mendapatkan dua pahala: pahala membaca dan pahala berbagi amal kebaikan kepada rang lain.
Bagian kedua, masalah kenabian (nubuwwah). Pada bagian ini dibahas juga hal-hal yang berkaitan dengan kepribadian Rasulullah Muhammad Saw., misalnya gelar sayyid (sayyiduna). Sayyid secara leksikal berarti tuan. Makna ini dapat dinisbatkan kepada Nabi dalam dua makna, yakni kenabian (nubuwwah) dan kerasulan (risalah).
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. dipandang layak menyandang gelar ini karena selain pembawa risalah islam, sekaligus sebagai pemberi syafaat di akhirat kepada seluruh umat manusia. Bagi Sayyid Muhammad, selain logis, alasan ini bisa menjadi dalil bahwa Nabi Muhammad memiliki tafdhil (nilai keistimewaan/kemuliaan) dibandingkan nabi-nabi lainnya.
Bagian ketiga, masalah Al-Quran dan as-Sunnah. Bahwa Al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber dan dalil hukum Islam. Ajaran-ajaran syariat dapat ditemukan dari kedua sumber di atas. Sebagai syariat yang memiliki nilai fleksibilitas (murunah) dan relevansi (shalahiyyah) sesuai konteksnya, Islam tidak membebani manusia di luar kapasitasnya.
Baca: Download Kitab Syarah Jauhar Tauhid
Nilai humanitas menjadi salah satu prinsip utama dalam pelaksanaan ajaran (hukum) Islam, sehingga Islam tetap eksis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disadari karena manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Adalah tidak adil bila kemudian ajaran Islam diperlakukan sama tanpa melihat perbedaan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Dalam arti ini, prinsip keadilan hukum Islam tidak berarti berlaku sama rata tetapi secara proporsional.
Di antara masalah hukum Islam yang disoroti dalam bagian ini adalah pembahasan shalat Tarawih di bulan Ramadhan. Menurutnya, salah jika hanya beranggapan bahwa shalat Tarawih dianggap sah bila dilaksanakan 11 rakaat atau 8 rakaat atau 10 rakaat, sesuai sunnah Nabi. Sedangkan bila dilakukan dalam 20 rakaat dianggap tidak sah (bid'ah).
Di sini Sayyid Muhammad justru memperlihatkan dalil dan argumentasi pelaksanaan shalat Tarawih dalam 20 rakaat, yaitu hadits marfu'. Argumentasinya, sebagai shalat sunnah muakkadah, Tarawih sama halnya dengan shalat qiyam al-lail (tahajjud). Bisa dilakukan secara berjamaah atau pun sendirian sesuai kemampuan masing-masing.
Selain tentang shalat qiyam al-lail, Sayyid Muhammad juga membahas adab berdoa dengan cara membolak-balikkan tangan. Bahasan ini sebagai jawaban kritis terhadap anggapan sebagian orang bahwa cara berdoa seperti ini dianggap bid'ah. Baginya, sah-sah saja membolak-balikkan tangan dalam berdoa saat shalat maupun di luar shalat.
Praktiknya, bila orang memohon keselamatan dari musibah, maka tangannya dibiarkan tertelungkup. Sebaliknya, jika memohon kenikmatan tangannya dibuka menghadap ke langit. Adab lain dalam berdoa mengusapkan kedua tangan ke wajah setelah berdoa, di dalam maupun di luar shalat.
Bagian keempat, masalah bid'ah. Pada bagian terakhir ini, Sayyid Muhammad menegaskan bahwa teori bid'ah hanya berlaku dalam konteks ibadah, tidak dalam muamalah. Begitu juga kategorisasi bid'ah kepada hasanah (baik) dan sayyi'ah (buruk). Menurutnya, pembagian ini hanya bersifat kebahasaan (lughawiyah). Selama perbuatan itu tidak bertentangan dengan esensi tujuan syariat (maqashid syariah), maka termasuk bid'ah yang baik. Sebaliknya, jika bertentangan, maka masuk kategori bidáh yang buruk.
Baca: Download Karya-Karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Di antara contoh bid'ah yang baik (hasanah) adalah kodifikasi Al-Quran di masa Abu Bakar, shalat Tarawih berjamaah di masa Umar ibn Khattab, menghatamkan al-Quran dalam pelaksanaan shalat Tarawih, adzan pertama dalam pelaksanaan shalat Jum'at di masa Ustman bin Affan, pemindahan maqam Ibrahim di masa Umar ibn Khattab (awalnya menempel ke baitullah atau Ka'bah, kemudian dipindahkan agak jauh untuk mempermudah orang thawaf), pelaksanaan shalat ied di masjid-masjid di masa Ali ibn Abi Thalib, peringatan maulid Nabi dan peringatan isra' dan mi'raj.
Terakhir, dalam hemat penulis, kitab ini layak menjadi pedoman ahlus sunnah wal jamaah, karena kaya referensi, baik hadits maupun pandangan ulama salaf. Masalah-masalah yang kontroversial dibahas secara apik dengan berbagai argumentasi syawahid (dalil-dalil). Di akhir setiap bahasan, Sayyid Muhammad juga memberikan catatan kesimpulan. Meski secara metodologis kitab ini harus diakui sudah cukup memadahi.
Struktur logika yang digunakan Sayyid Muhammad dalam karya ini pun tidak hanya nalar bayani (pendekatan dalil-dalil teks sebagai landasan berfikir), tapi juga nalar burhani (pendekatan logika rasional dalam memahami teks). Kedua nalar ini dapat ditemukan dalam setiap pembahasan masalah dalam kitab Manhaj Salaf ini.
Kendatipun demikian, perlu ada pengembangan kajian lebih lanjut karena tema-tema yang dibahas di dalamnya masih normatif dan klasik, belum ada masalah-masalah kontemporer. [dutaislam.or.id/ab]
Maulidi Al-Hasany, Pesantren Aji Mahasiswa Al-Muhsin Krapyak, Sewon, Bantul, Yogyakarta