Cover Kitab Kasyful Ghummah (PDF) karya Sayyid Muhammad. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Ahmad Abrari, MH
Dutaislam.or.id - Dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits seringkali disebut amar ma'ruf nahi mungkar. Sebuah prinsip yang memiliki arti perintah kebaikan dan larangan kemungkaran. Misi ini adalah cita-cita besar Islam dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Tentu, perlu pedoman praktis agar misi besar ini tercapai. Sebab perkara ma'ruf (baik) tidak selalu berjalan efektif.
Untuk itu, butuh kesadaran yang tinggi dari setiap individu muslim. Kesadaran akan mucul manakala pedoman ideal tentang kema'rufan dipahami dengan baik. Termasuk memahami tujuan ideal dari kema'rufan sendiri, yakni terciptanya individu dan masyarakat yang bahagia.
Baca: Flashdisk Isi 3000 Lebih Kitab Kuning PDF
Ma'ruf secara leksikal bisa diartikan sesuatu yang diketahui, dikenal dan baik. Kata ini adalah bentuk derivasi kata A-Ra-fa, Ya'-Ri-Fu, Úrfan, Irfan, dan Ma'rifatan yang bermakna mengetahui. Bentuk isim fa'ilnya (Arif) berarti orang yang mengetahui. Sedangkan yang diketahui disebut ma'ruf (bentuk isim maf'úl).
Derivasi kata lain yang memiliki akar kata yang sama secara morfologis, antara lain: úrf (dalam terminologi usul fiqih dimaknai tradisi yang baik), ma'rifat (dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan tertinggi tentang ketuhanan), irfani (kesadaran tertinggi spiritualitas manusia dalam menemukan kebenaran melalui intuisi), dan istilah ta'aruf (perkenalan: saling mengetahui satu sama lain).
Salah satu kitab tentang kebajikan (Ma'ruf) ditulis Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasany yang berjudul Kasyful Ghummah fi Isthina'al-Ma'ruf wa Rahmatil Ummah. Secara literal, judul kitab ini berarti menyingkap tabir kegelapan dalam berbuat baik dan mengasihi umat.
Judul ini menggambarkan pokok bahasan di dalamnya. Seperti ditegaskan Sayyid Muhammad sendiri, kitab ini memuat hadist-hadist yang berbicara tentang motivasi berbuat kema'rufan. Tak peduli hadis itu shahih, hasan atau dlaif. Yang penting, hadist-hadist tersebut saling memberikan legitimasi satu sama lain terkait urgensi perbuatan ma'ruf.
Logikanya sederhana, bahwa setiap muslim pasti berharap hidup bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan kebahagian tidak bisa diraih kecuali dengan keimanan dan cinta (mahabbah). Keduanya bersifat abstrak, tak bisa diukur kecuali dalam bentuk perbuatan. Maka, di sini letak pentingnya sikap ma'ruf itu; kesadaran untuk berbuat baik kepada sesama manusia.
Baca: Toko Online Kitab Kuning Makna Pesantren dan Makna Pegon Jawa
Dengan begitu, nilai-nilai persatuan antar umat Islam mungkin terealisir. Konflik sosial bisa diminimalisir jika masing-masing individu sadar arti penting kema'rufan. Kesenjangan ekonomi pun bisa diperkecil dengan saling berkontribusi sesuai kemampuannya masing-masing. Bahkan, musibah terasa ringan bila semuanya berbuat sesuai porsinya dengan bergandeng tangan.
Masalahnya, selama ini orang salah-kaprah memahami kebaikan (ma'ruf). Seakan tolak ukurnya hanya materi (harta benda). Sayyid Muhammad menolak anggapan ini. Menurutnya, banyak cara melakukan perbuatan ma'ruf. Setidaknya ada dua jenis perbuatan ma'ruf: perkataan (qaul) dan perbuatan ('amal). Contoh jenis perkataan misalnya berkata baik (thiyyib al-kalam), berkata lemah-lembut (tidak kasar/layyin al-kalam), berkata jujur, tidak bohong (shidqun).
Sedangkan yang termasuk jenis perbuatan seperti menolong orang lain, memprioritaskan orang lain dan bentuk-bentuk kepedulian sosial lainnya. Ada dua hikmah dalam hal ini: bagi pelaku yang menolong (mu'in), keuntungan nilai pahala di sisi Allah. Bagi yang ditolong (mu'an), hilangnya beban penderitaan yang alami.
========
IDENTITAS KITAB:
Judul Kitab: Kasyful Ghummah fi Isthinaí Al-Ma'ruf wa Rahmatil Ummah
Penulis: Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Penerbit: -
Tebal: 84 halaman (PDF)
Size total: 7,47 MB
Link download PDF: Kasyful Ghummah fi Isthinaí Al-Ma'ruf wa Rahmatil Ummah
========
Berbuat kebajikan tidak selalu menghasilkan nilai yang baik. Perlu kaidah-kaidah etika sebagai pedoman, seperti yang tergambar dalam kitab ini, antara lain: pertama, tidak menceritakan kepada orang lain (adam al-idzaáh). Sikap ini seharusnya dimiliki oleh pelaku kebajikan untuk tetap mempertahankan nilai keikhlasan.
Kedua, bagi pelaku, harus ada perasaan bahwa amalnya masih relatif sedikit, meski nyatanya kebajikan yang dilakukannya telah banyak (at-tahsghir fi al-katsir). Ketiga, tidak mengharap balasan dan pujian dari orang lain juga bagian dari etika yang harus dimiliki seorang pelaku kebajikan.
Demikian juga sebaliknya, bagi si penerima dianjurkan menyebarkan kebaikan si pemberi dan tidak meremehkannya. Sebab, kata Sayyid Muhammad, hakikat pemberi kebaikan adalah Allah Swt, sang pemberi nikmat (al-mun'im). Sedangkan manusia (si pelaku kabajikan) hanya sebab atau media datangnya kebaikan.
Dalam konteks kebajikan, antara si pelaku dan si penerima esensinya memiliki kontribusi satu sama lain. Layaknya Multi Level Marketing (MLM), pelaku pertama (al-mubtadi') akan terus mendapatkan investasi amal dari pelaku generasi berikutnya (al-muqtadi). Bagitu pula tindakan kemungkaran memiliki hubungan kausatif (reward and punishment).
Baca: Download Karya-Karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Setiap orang yang melakukan keburukan sama saja dengan menutup jalan kebaikan. Karenanya, balasannya pun diberikan sesuai amal perbuatannya. Hukum kausalitas seperti ini mestinya menjadi self control (kontrol diri) sebelum melakukan suatu perbuatan baik atau buruk. Dampaknya bukan hanya bagi pelaku saja tetapi juga orang lain.
Perlu dicatat bahwa semua kebaikan adalah sedekah (amal social). Mulai dari yang levelnya mudah hingga yang sulit. Misalnya memberi nafkah kepada keluarga, menjaga nama baik orang lain, membantu orang lain, berujar kebaikan, memberi makan orang kelaparan, pergi beribadah ke masjid, membuang duri dari jalan, membaca kalimat thayyibah, tersenyum, bertakziah, menghormati tamu, menjenguk orang sakit, silaturrahmi sanak famili dan sebagainya.
Bahkan, diam tidak melakukan keburukan itu adalah sedekah. Jadi, semua perbuatan yang mendatangkan maslahah dan menolak mafsadah adalah bagian dari sedekah dan termasuk perbuatan ma'ruf.
Semua contoh di atas dinarasikan dalam bentuk hadist. Mayoritas hadist yang dikutip diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, At-Thurmudzi, Al-Baihaqi. Meski ada juga yang diriwayatkan oleh perawi hadist lain seperti Imam Ahmad, Al-Hakim, An-Nasa'i namun tidak banyak. Apalagi hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim relatif sedikit jumlahnya, hanya di bagian awal kitab. Sementara di bagian akhir kitab banyak dikutip hadist tentang fadha'il a'mal seperti hadist fadhilah infaq, sedekah, takziah dan sebagainya.
Tidak adanya penjelasan detail tentang hadist-hadist tersebut adalah bagian dari kelemahan kitab ini. Meski juga harus diakui adanya catatan footnote dalam setiap hadist adalah bagian dari kelebihan kitab ini. Mungkin tujuannya agar lebih ringkas dan mudah dipahami. Di samping itu, hadist-hadist terkait amar ma'ruf-nahi mungkar memang tidak terlalu sulit maknanya.
Mayoritas hadist-hadist tersebut termasuk kategori hadist-hadist qauli (perkataan Nabi). Berbeda dengan hadis-hadis fi'li (perbuatan nabi) yang relatif lebih panjang redaksinya karena bersifat realitas-kasuistik. Hadist qauli secara redaksional adalah hadist-hadist pendek, karena lebih bermuatan instruktif, edukatif dan motivatif.
Baca: Download 400 Ebook Fiqih Moderat Lintas Madzhab
Lain dari pada itu, seperti ditegaskan di awal oleh Sayyid Muhammad, Kitab Kasyful Ghummah ini merupakan kajian hadist maudhlu'i (kajian hadist tematik). Disebut demikian karena hadist di dalamnya banyak berbicara tentang satu tema: kebajikan (ma'ruf). Termasuk di dalamnya adalah hadist tentang jenis-jenis kema'rufan dan fadhilahnya.
Penyajian hadistnya pun tidak dipilah. Semua diacak antara hadist yang shahih, hasan, dan dla'if, sesuai pokok bahasan dalam setiap babnya. Mudahnya, karena kitab ini termasuk jenis karya modern yang dilengkapi dengan footnote, maka tidak perlu lagi pembaca (reader) melakukan kajian takhrij hadist. Cukup saja pembaca memilih sendiri hadist mana saja yang dikehendaki.
Namun perlu diingat, dalam konteks keutamaan sosial (fadha'il a'mal), sudah ada kesepakatan mayoritas ulama bahwa hadist dlaif dapat dijadikan dalil dalam aktivitas-aktivitas sosial keagamaan sebagai motivasi memperbanyak nilai pahala. Syaratnya, tentu selama perbuatan tersebut mendatangkan kemaslahatan dan tidak menimbulkan kemadharatan, maka sah-sah saja dilakukan. Wallahu a'lam. [dutaislam.or.id/ab]
Ahmad Abrari, MH, bergiat di Yayasan Badan Wakaf UII Yogyakarta