Cover Kitab Minhatul Mughits fi Ilmi Musthalahil Hadits. Foto: istimewa. |
Oleh Nor Afidah
Dutaislam.or.id - Al-Qur'an dan Al-hadits adalah sumber hukum (mashadir al-ahkam) dalam proses penggalian hukum islam (ijtihad). Salain itu, keduanya juga menjadi petunjuk-petunjuk hukum (adillat al-ahkam). Untuk mengkajinya diperlukan perangkat-perangkat metodologis guna menemukan pemahaman-pemahaman yang sesuai dengan tujuan syariah (maqashid syariah).
Perangkat metodologis dimaksud adalah disiplin keilmuan baik yang berkaitan langsung dengan Al-Qur'an dan hadits (insider) maupun tidak langsung (outsider). Di antara disiplin ilmu yang berkaitan langsung adalah Ulum Al-Qur'an dan Ulum al-Hadits.
Dalam tradisi pesantren, dua disiplin ilmu ini dikaji secara intensif, baik secara formal maupun informal (bandhongan dan sorogan). Literatur kitab yang digunakan bermacam-macam, bergantung pada levelnya. Mulai dari level dasar (elementary) hingga level tinggi (advance). Termasuk dalam kategori kitab level dasar adalah Kitab Minhatul Mughist Fi Ilmi Musthalah Al-Hadits.
Berbeda dengan kitab-kitab ílmu hadits lainnya semisal Kitab al-Manhal al-Lathif Fi Ushul al-Hadits al-Syarif karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dan Kitab Ushul al-Hadits Karya Muhammad Ájjad Khatib yang relatif tebal, Kitab Minhat al-Mughist ini relatif tipis karena pembahasannya simple, seperti Kitab Taysir Musthalah al-Hadits karya Mahmud Thahhan.
Baca: Flashdisk Kitab Kuning PDF Ribuan Judul Jutaan Halaman
Kitab ini ditulis oleh ulama Al-Azhar Mesir, Hafidz Hasan Al-Mas'udi, dan dicetak kedua kalinya pada tahun 1933 M. Seperti diakui muallif sendiri, karya ini merupakan kitab ringkasan (mukhtashar) yang disarikan (talkhish) dari beberapa kitab induk ulum al-hadits karya ulama klasik.
Karena bertujuan untuk mempermudah para pengkaji (ad-darisin) dalam memahami dan menguasai ilmu hadits (diroyah), maka muallif tidak menjelaskan teori-teori di dalamnya secara detail, melainkan hanya sebatas definisi-definisi tanpa disertai contoh-contoh.
Bila dibandingkan dengan karya-karya sebelumnya, karya ini memang bisa dikatakan kitab model baru, karena tata (kaidah) penulisannya sudah menggunakan kaidah-kaidah penulisan ilmiah layaknya buku-buku ilmiah panda umumnya.
Misalnya terdapat catatan kaki (footnote) yang sengaja ditambahkan muallif untuk menjelaskan beberapa terma yang dianggap penting dan terkait. Seperti terma sahabi dalam penjelasan definisi hadits mauquf. Sahabi di sini dimaknai setiap orang beriman yang pernah bertemu Rasulullah dan meninggal dalam keadaan muslim. Definisi ini hendak mengecualikan orang-orang yang meskipun pernah (atau bahkan sering) bertemu Rasulullah, tetapi tidak beriman seperti kaum Nasrani dan Yahudi.
Begitu juga terma tabi'i dalam penjelasan definisi hadits maqthu'. Tabi'i diartikan setiap orang muslim yang pernah bertemu sahabat secara langsung meski hanya sekali. Jadi, tidak semua orang yang bertemu sahabat disebut tabi'i kecuali dirinya muslim. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga dan menjamin orisinalitas hadits dalam proses transmisinya (sanad periwayatan) dari Rasulullah hingga tabi'in.
========
IDENTITAS KITAB:
Judul Kitab: Minhatul Mughist Fi Ilmi Musthalah Hadist
Penulis: Hafidz Hasan Al-Mas'udi
Penerbit: As-Showi, Mesir
Tahun: 1933 M
Cetakan: Ke-III (Ketiga)
Tebal: 24 halaman (PDF)
Space: 520 KB
Link download PDF: Minhatul Mughist Fi Ilmi Musthalah Hadist
========
Dilihat dari isinya, secara umum kajian Kitab Minhatul Mughist (dikenal juga kitab musthalah al-hadits) dibagi dalam tiga bagian. Pertama, bagian pendahuluan (mukaddimah), terdiri dari pengertian ilmu hadits, macam-macam, objek kajian dan kegunaan ilmu hadits serta tokoh-tokoh ulama awal yang telah berkontribusi terhadap studi ilmu hadits.
Studi hadits secara umum dibagi dua: ilmu hadits dirayah dan ilmu hadits riwayah. Ilmu hadits dirayah adalah ilmu metodologi studi hadits. Sedangkan ilmu hadits riwayat adalah ilmu periwayatan hadits. Jadi, objek dan tujuan kedua model studi hadits ini berbeda. Jika ilmu dirayah membahas tentang kualitas hadits, metode periwayatan hadits dan sifat perawi, maka ilmu riwayah hanya berbicara tentang teks hadits itu sendiri, sehingga diketahui apakah suatu hadits betul dari Nabi atau tidak.
Tokoh utama kedua model studi hadits di atas pun berbeda. Imam al-Qadli Abu Muhammad Ar-Ramahurmuziy didaulat sebagai ulama pertama yang menulis disiplin ilmu hadits dirayah (ilmu musthalah al-hadits) dalam karyanya Al-Muhaddist Al-Fashil Bain ar-Rawi wa al-Wai. Sedangkan Muhammad ibn Shihab Az-Zuhri, ulama asal Hijaz diakui sebagai ulama pertama yang menulis disiplin ilmu hadits riwayah.
Di samping itu dijelaskan pula beberapa kata kunci (keyword) dalam studi hadits, seperti struktur hadits (meliputi sanad dan matan) dan levelisasi ahli hadits (termasuk al-Muhaddist, al-Hafidz, al-Hujjah dan al-Hakim). Sanad adalah mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits (ruwat jamak dari rawi) sampai kepada Rasulullah. Sedangkan matan adalah teks hadits itu sendiri.
Baca: Toko Online Kitab Kuning Makna Pesantren
Kedua, bagian pembahasan, terdiri dari: klasifikasi hadits, baik dari sisi kualitas hadits maupun dari kuantitas perawinya (transmitters). Dari sisi kualitas hadits misalnya, hadits dibagi ke dalam tiga bagian, yakni:
- Shahih, yaitu hadits yang bersambung periwayatannya kepada Rasulullah dan perawinya terdiri atas orang yang kredibel (adil dan dlabith) dalam aspek moralitasnya maupun aspek intelektualnya. Hadits shahih ini masih dibagi lagi menjadi dua macam: shahih li dzatihi (independen) dan shahih li ghairihi (dependen);
- Hasan, yaitu hadits yang proses periwayatannya sampai kepada Rasulullah, namun kualitas moral dan intelektual perawinya berada di bawah level hadits shahih. Hadits ini juga terbagi dua: hasan li dzatihi (independen) dan hasan li ghairihi (dependen); dan
- Dlaif, yakni hadits yang lemah karena tidak memenuhi syarat maksimal dalam periwayatan maupun kualitas perawi yang tidak ideal. Sementara dari sisi kuantitas perawinya, hadits juga terdiri dari dua bagian: Mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi secara kolektif) dan Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh perawi perorangan).
Bagian ketiga dari kitab ini adalah penutup (khatimah). Pada bagian ini muallif menjelaskan metode-metode yang lazim digunakan perawi dalam proses transmisi hadits. Menurutnya ada delapan metode: pertama, metode sima'ah yaitu setiap perawi mendengarkan langsung pernyataan/keterangan hadits tersebut dari perawi sebelumnya. Biasanya ditandai dengan kata sami'tu (aku mendengar).
Kedua, metode qiroát, yaitu perawi membacakan hadits secara langsung di hadapan perawi sebelumnya. Ketiga, metode ijazah, yaitu proses periwayatan hadits yang disampaikan dengan cara pemberian restu (izin) dari perawi sebelumnya kepada perawi lain untuk meriwayatkannya. Dalam hal ini, kedua perawi sama-sama menyatakan kalimat penyerahan dan penerimaannya secara verbal.
Baca: Membumikan Sanad Hadist (PDF) Kitab Arba'una Haditsan Min Arba'ina Kitaban An Arba'ina Syaikhon
Keempat, metode munawalah, yaitu proses periwayatan hadits melalui penyerahan atau pemberian hadits secara langsung dari perawi kepada perawi lainnya, baik secara utuh maupun sebagiannya. Kelima, metode mukatabah, yaitu proses periwayatan hadits melalui penulisan hadits baik secara langsung maupun tidak dari seorang perawi tanpa harus ada ijin untuk meriwayatkannya kembali kepada perawi lain.
Keenam, metode wijadah, yaitu proses periwayatan hadits melalui penemuan tulisan hadits seorang perawi yang dikenal, meski tidak perlu mendengar, membacakan dan meminta ijin kepadanya terlebih dahulu untuk meriwayatkannya kepada perawi lain.
Ketujuh, metode wasiat yaitu metode periwayatan hadits melalui cara penyampaian wasiat kitab dari perawi sebelum meninggal dunia. Dan, kedelapan metode I’lam yaitu metode periwayatan hadits melalui proses pembelajaran kitab-kitab hadits perawi sebelumnya.
Walhasil, Kitab Minhatul Mughist atau kitab musthalah hadits ini mudah diperlajari dan dikuasai karena pembahasannya sangat simple dan sederhana. Mungkin ini salah satu alasan mengapa kitab ini dipilih menjadi kitab dasar dan pedoman awal bagi santri pemula (al-thalib al-mubtadi') dalam pembelajaran ilmu hadits di pesantren-pesantren.
Meski begitu, harus diakui perlu adanya pengembangan studi lanjut dari kitab ini, karena contoh-contoh hadits di dalamnya yang relatif terbatas. Wallahu a'lam. [dutaislam.or.id/ab]
Nor Afidah, Komplek ANI PP. Salafiyah Syafieyah Sukorejo Situbondo