Iklan

Iklan

,

Iklan

Pelaku Bid'ah Tarawih dalam Kitab Hujjah Ahlussunah wal Jamaah (PDF)

5 Mei 2020, 14:55 WIB Ter-Updated 2024-08-06T19:57:49Z
Download Ngaji Gus Baha
pdf download kitab hujjah aswaja kiai maksum
Cover Kitab Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Kiai Makshum. Foto: istimewa.

Oleh Habibullah

Dutaislam.or.id - Siklus benturan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah dengan kelompok lain sudah sekian abad terjadi. Benturan tersebut terjadi karena ada perbedaan dalam dimensi fikih, teologi, dan juga tasawuf. Dari tiga elemen tersebut, yang sering mengemuka adalah soal fikih dan teologi.

Kitab yang ditulis K.H. Ali Maksum ini berfokus pada persoalan fikih saja, hanya dalam delapan tema penting, yakni soal menghadiahkan pahala bagi mayit, shalat sunnat qabliyah, talqin, tarawih, ziarah kubur, siksa –nikmat kubur, ziarah makbarah Rasul, serta hisab vs rukyah.

Dalam kata pengantar kitab ini, Kiai Ali Maksum mengakui bahwa persoalan fikih ini sudah dijelaskan banyak ulama-ulama besar sebelumnya. Beliau awalnya enggan menulis kitab ini. Dengan rendah hati beliau mengakui ketidakalimannya sementara menulis kitab terkait persoalan fiqhiyah ini terlampau berat. Satu-satunya alasan mengapa beliau menulis kitab ini adalah perintah Nabi bahwa saat bid'ah dan fitnah muncul, maka kewajiban ulama untuk menyelesaikannya.

Baca: Flashdisk Isi Ribuan Kitab Kuning PDF

Dari perspektif ini, Kiai Ali Maksum menganggap gerakan yang anti-ziarah kubur, anti-talqin, menolak siksa kubur, dan melarang zirah ke makam Rasul adalah pelaku bid'ah dan penyulut fitnah. Siapakah mereka? mereka adalah kaum modernis, Wahabi-Salafi dan MTA (Majelis Tafsir Al-Quran) – sebagaimana disebutkan dalam lembar pertama kitab ini.

Dalam mengulas persoalan-persoalan fikih tersebut, Kiai Ali Maksum menggunakan beragam referensi dari lintas kelompok, analisis teks, dan logika-kritis. Dalam soal menghadiahkan pahala bagi orang mati misalnya, Kiai Ali Maksum mencatut referensi dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, dua tokoh ulama panutan Wahabi yang banyak menggugat amaliyah golongan Ahlussunah wal Jamaah.

Dalam soal ini, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim justru sejalan dengan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Level penolakannya –ini justru disampaikan Mazhab Maliki– hanya pada taraf makruh menghadiahkan pahala bacaaan kepada orang yang sudah mati.

Hal yang sengit dan panjang lebar disampaikan oleh Kiai Ali Maksum adalah pada persoalan tarawih, ziarah ke makam Rasulullah, dan siksa-nikmat dalam kubur. Dalam ketiga persoalan ini, beliau betul-betul menggunakan segenap logika kritis, analisis teks, dan ekspresi emosional sebagai tokoh Ahlussunah wal Jamaah.

Kepada kelompok yang mengingkari siksa kubur, beliau mengatakan betapa bodohnya (jahl) mereka tentang ajaran Islam. Lalu, beliau mendedahkan beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan adanya siksa dan nikmat kubur. hadits-hadits yang beliau kutip juga bisa dipertanggungjawabkan validitasnya.

Sedangkan soal tarawih, Kiai Ali Maksum tidak berkompromi dengan mereka yang bertarawih dengan jumlah sebelas rakaat. Beliau menganggap mereka salah menafsiri hadits riwayat Siti Aisyah berikut:

"Adalah Rasulullah saw, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan, tidak melakukan shalat (malam) melebihi sebelas rakaat. Beliau SAW shalat empat rakaat. Maka jangan tanya tentang bagusnya dan panjang/lamanya shalat beliau. Lalu shalat lagi empat rakaat (dua kali salam), dan jangan tanya pula tentang bagus dan lamanya shalat beliau. Selanjutnya beliau shalat tiga rakaat". ‘Aisyah bertanya kepada beliau, "Ya Rasulallah! Apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir itu?" Jawab beliau: "Kedua mataku memang tidur, tetapi hatiku tidak tidur".

Baca: Kitab Ma Dza Fi Sya'ban (PDF) Bantah Bid'ah Amalan Nisfu Sya'ban

Menurut mereka, hadits tersebut menunjukkan bahwa jumlah tarawih berjumlah sebelas. Padahal, kata Kiai Ali Maksum, hadits tersebut berbicara tentang shalat witir yang biasa Rasul lakukan, bukan tentang shalat tarawih. Kesimpulan ini beliau dasarkan pada empat alasan.

Pertama, shalat tarawih tidak dilaksanakan di luar Ramadan. Sementara hadits di atas menjelaskan bahwa shalat sebelas rakaat yang dilakukan Nabi dilaksanakan di dalam dan di luar Ramadan. Kedua, sebelas rakaat adalah jumlah maksimal shalat witir. Ketiga, menurut hadits di atas, Nabi melakukannya sebelas rakaat itu setelah tidur, padahal, tarawih dilakukan sebelum tidur. Keempat, dalam Sahih Bukhari, hadits ini berada dalam bab witir.

===========
IDENTITAS KITAB:
Judul Kitab    : Hujjah Ahlissunnah wal Jamaah
Terjemahan : K.H. Ali Maksum Membela Kebenaran Amaliyah Nahdhiyin
Penulis : K.H. Ali Maksum
Penerjemah : Achmad Suchaimi
Tebal         : 60 halaman
Link Download PDF: Kitab Hujjah Ahlissunnah wal Jamaah
===========

Argumen Kiai Ali Maksum sangat telak. Seolah persoalan jumlah rakaat tarawih tidak beragam melainkan tunggal, yakni 20 rakaat. Analisis teks terhadap hadits Aisyah yang disampaikan Kiai Ali Maksum sangat luar biasa sehingga tiada celah, baik secara aqli atau naqli, untuk membenarkan shalat tarawih sebanyak sebelas rakaat.

Sementara, kata Kiai Ali Maksum, tarawih 20 rakaat didasarkan pada hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim. Diriwayatkan bahwa Nabi pernah shalat di Masjid bersama para sahabat tiga malam di bulan Ramadan, yakni tanggal 23, 25, dan 27. Mengapa hanya tiga malam? Khawatir tarawih diwajibkan Allah.

Berapa rakaat beliau shalat saat itu?

Delapan rakaat. Di sini, Kiai Ali Maksum menegaskan bahwa para sahabat, bukan Nabi, melanjutkan shalat mereka hingga 20 rakaat di rumah mereka masing-masing. Di masa Sayyidina Umar,  secara demontratif, Khalifah kedua tersebut memerintahkan agar shalat tarawih 20 rakaat dilaksanakan di masjid.

Semua imam mazhab yang empat, kata Kiai Ali Maksum, menyepakati validitas tarawih dengan 20 rakaat ini. Jika menggunakan analisis teks, tarawih versi ini berasal dari ijtihad para sahabat, bukan dari Nabi. Itu juga tak masalah sebab Nabi bersabda, "Kalian harus berpegangan pada sunnah (tradisi)-ku dan sunnah (tradisi) Khulafaur-Rasyidin yang memperoleh petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi gerahammu".

Kunjungi: Toko Kitab Kuning Online Makna Pesantren dan Makna Jawa

Andaikata mengikuti Nabi, mestinya tarawih berjumlah delapan rakaat seperti genre tarawih yang dilakukan kelompok yang dikritik habis-habisan oleh Kiai Maksum di atas. Jangan-jangan, menurut hemat saya, dalil yang jadikan hujah pengamal tarawih 11 rakaat bukan (hanya) hadits Aisyah, melainkan (juga) hadits riwayat Bukhari Muslim ini.

Kiai Ali Maksum juga, dalam kitab ini, berbicara panjang lebar tentang Ibnu Taimiyah yang melarang ziarah makbarah Rasulullah. Tokoh dari Mazhab Hanabilah ini menganggap semua hadits yang menganjurkan berwisata religi ke pusara Rasul adalah lemah, bahkan palsu. Banyak ahli hadits yang mengkritik Ibnu Taimiyah.

Menurut Kiai Ali Maksum, hanya Ibnu Taimiyah yang melarang. Padahal, sejak dahulu kala tak ada ulama yang melarang untuk mendatangi makam Rasul. Kendatipun Kiai Ali Maksum menyebutkan sejumlah hadits, namun logika yang beliau gunakan nampak lebih kuat untuk menyerang Ibnu Taimiyah dan kelompoknya.

Pertama, satu-satunya hadits yang digunakan mereka untuk melarang ziarah makbarah Rasul adalah sebagaimana berikut: “Janganlah kamu bersusah payah mengadakan wisata ziarah kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid-ku ini (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha”.

Imam Al-Ghazali, menurut Kiai Ali Maksum, heran mengapa hadits ini dijadikan dasar untuk melarang umat Islam dilarang berziarah ke pusara Rasul padahal konteks hadits di atas berkaitan dengan masjid, bukan kuburan.

Kedua, Masjid Nabawi dimuliakan karena kehadiran Rasulullah di tempat tersebut. Tanpa Rasul, Masjid Nabawi akan sama dengan masjid-masjid lain. Masjid Nabawi dianjurkan untuk dikunjungi, lalu mengapa Rasulullah, menurut logika Kiai Ali Maksum, sebagai episetrum kemuliaan Masjid Nabawi justru dilarang untuk dikunjungi. Ini tentu tidak logis. Kiai Ali Maksum menvonis diktum larangan menziarahi makam Rasulullah merupakan modus operandi untuk memisahkan umat Islam dengan Nabi mereka.

Karya Kiai Ali Maksum ini sangat membantu umat Islam, khususnya golongan Ahlussunnah wal Jamaah, untuk mengetahui dalil ibadah yang selama ini mereka lakukan. Sumbangsih kitab ini terletak pada dua hal.

Baca: Kitab Alala Lirboyo (PDF) Mengharmoniskan Adab dan Akhlak Pencari Ilmu

Pertama, kekayaan rujukan dari kaul ulama, hadits, dan Al-Quran yang tidak mudah dicari sendiri oleh kebanyakan umat Islam. Kedua, argumentasi pribadi Kiai Ali Maksum sehingga dalil-dalil teks naqliyah bisa berbicara lebih banyak. Di satu sisi, hal demikian bisa mempermudah pemahaman. Di sisi lain, ia makin menguatkan validitas amalan Ahlussunah wal Jamaah sekaligus melemahkan argumen penentangnya.

Jika dibandingkan dengan Fiqih Tradisionalis karya K.H. Muhyiddin Abdusshomad, Pengasuh Pesantren Nuris, Jember, yang juga menjelaskan dalil amalan kalangan Nahdliyin (baca: Ahlus Sunnah wal Jamaah), kitab Kiai Ali Maksum memiliki kelebihan pada pengutipan kitab babon rujukan Wahabi, misalnya karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, yang notabene sokoguru penentang amalan Ahlussunah wal Jamaah.

Cara penyajian Kiai Ali Maksum juga lebih dialogis dan argumentatif. Kendatipun dari segi cakupan tema, Fiqih Tradisionalis lebih kaya. Lebih dari itu, Kiai Ali Maksum, pada banyak tempat dalam kitab ini, berpesan bahwa urusan perbedaan furu’iyah fiqhiyah jangan sampai melahirkan permusuhan, saling caci-maki, apalagi bentrokan fisik di kalangan umat Islam. Sebuah pesan yang indah. [dutaislam.or.id/ab]

Habibullah, Guru di Pesantren Nurul Huda Gunung Angin, Pakandangan Barat, Sumenep.

Iklan