Cover Kitab Kasyfut Tabarih bi Bayani Shalatit Tarawih. Foto: istimewa. |
Oleh A. Saepul Munir
Dutaislam.or.id - Klaim sepihak dari sekelompok orang yang menganggap bahwa pelaksanaan shalat sunnah tarawih sebanyak 20 rakaat termasuk kategori bid’ah madzmumah dan tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw, telah membuat banyak orang muslim hampir saja membelot dari yang diajarkan dan diamalkan oleh para ulama salafusshalih.
Hal ini membuat prihatin Kiai Abul Fadhal Senori Tuban. Itulah yang mendorong beliau menyusun kitab dengan judul Kasyfut Tabariih fi Bayani Shalatit Tarawih.
Kiai Abul Fadhal Senori Tuban adalah salah satu ulama kharismatik Nusantara yang produktif menyusun kitab. Di antara karya-karya beliau adalah Kawakib Al-Lamaah, Syarh Kawakib al Lamaah, Al-Durru Al Farid fi Sharh Al Jauharatu Al Tauhid, Ahla Al Musamarah fi hikayah Al Auliya Al Asyroh, Tashil al Masalik Sharh al Fiyah ibn Malik.
Beliau termasuk salah satu murid Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Jombang (muassis Nahdlatul Ulama). Beliau juga guru dari KH. Abdullah Faqih Langitan Tuban, KH. Hasyim Muzadi dan KH. Maimun Zubair Sarang.
Baca: Flashdisk Mubarok Isi Ribuan Kitab Kuning PDF (Banyak karya Ulama Nusantara)
Kitab Kasyfut Tabariih fi Bayani Shalatit Tarawih terdiri atas tiga bab dan satu mas'alah. Bab yang pertama berisi tentang pemaparan hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. mengenai shalat tarawih. Sebanyak lima hadits yang dipaparkan dalam bab ini dilengkapi dengan para perawinya. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Malik dalam Kitab Al Muwattho' (Download PDF 8 Jilid),
مَنْ قامَ رَمَضانَ إيماناً واحْتِسَاباً غُفِرَ لوُ ما تَقدّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya:
"Barang siapa yang melaksanakan qiyamul lail pada bulan Ramadhan maka dosanya yang telah lewat akan diampuni oleh Allah Swt.".
Bab yang kedua menjelaskan mengenai tata cara pelaksanaan shalat tarawih, apakah shalat tarawih dilaksanakan secara berjamaah atau sendiri-sendiri?
Pertama-tama Kiai Abul Fadhal memaparkan dua hadits yang secara dzohir mengindikasikan bahwa pelaksanaan shalat tarawih semasa Nabi Muhammad Saw masih hidup hingga beliau meniggal dan terus berlanjut sampai kepemimpinan Abu Bakar As Shiddiq dan permulaan masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Sehingga timbullah kontroversi di kalangan ulama.
Imam Malik, Abu Yusuf dan sebagian ulama Syafiiyyah menganggap bahwa shalat tarawih sendirian yang dilaksanakan di rumah itu lebih utama karena hal itulah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.
Sementara Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan sebagian ulama Malikiyyah berpendapat bahwa melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah di masjid itu lebih utama karena yang dilakukan oleh Nabi (tidak melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah) memiliki alasan tertentu, yakni kuatir shalat tarawih dianggap sebagai hal yang wajib.
===========
IDENTITAS KITAB:
Judul Kitab : Kasyfut Tabarih fi Bayani Shalatit Tarawih
Penulis : Kiai Abul Fadhal Senori, Tuban
penerbit: -
Tebal : 10 halaman
Link Download PDF: Kasyfut Tabarih fi Bayani Shalatit Tarawih (PDF)
===========
Namun selanjutnya Kiai Abul Fadhal memaparkan dua hadits yang menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat tarawih dilakukan secara berjamaah sejak Rasulullah Saw masih hidup. Sehingga dapat dipahami bahwa perkataan Umar bin Khattab “Ni’matul Bid’ah Hadzihi” adalah mengumpulkan orang-orang dalam melaksanakan shalat tarawih dengan satu imam yang diselenggarakan di masjid.
Kiai Abul Fadhal dalam Bab yang ketiga menjelaskan jumlah rakaat shalat tarawih. Dalam analisisnya dari beberapa hadits shalat tarawih, tidak ditemukan hadits yang menjelaskan secara jelas mengenai jumlah rakaat shalat tarawih kecuali satu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas Ra. Beliau berkata "Rasulullah Saw melaksanakan shalat di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat dan witir".
Kendati demikian, menurut Kiai Abul Fadhal, hadits tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan jumlah rakaat shalat tarawih karena ada beberapa hadits yang saling kontradiksi dalam masalah jumlah rakaat shalat tarawih.
Baca: Toko Kitab Online Makna Pesantren dan Makna Pegon Bahasa Jawa
Menurut beliau, -dengan menggunakan metode istinbatul hukmi dari kaidah-kaidah disiplin ilmu ushul fiqh,- ketika terjadi kontradiksi di antara beberapa dalil, maka dalil tersebut tidak bisa digunakan sehingga menuntut untuk merujuk kepada dasar hukum yang lain, yakni adalah Ijma' (konsensus ulama).
Ijma'nya orang-orang muslim di zaman Umar bin Khattab mengenai rakaat shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Saib bin Yazid. Beliau berkata "orang-orang muslim pada masa Umar bin Khattab melaksanakan qiyamul lail pada bulan ramadhan sebanyak 20 rakaat".
Kiai Abul Fadhal juga mengutip apa yang ditulis oleh Imam Malik dalam kitab Al Muwattho' bahwa orang-orang muslim pada masa Umar bin Khattab melaksanakan shalat di bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat. Yakni 20 rakaat shalat tarawih dan shalat witirnya sebanyak tiga rakaat.
Selanjutnya Kiai Abul Fadhal menjelaskan bahwa kelompok yang melaksanakan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat telah menyalahi Ijma' para ulama' dan sunnah khulafaur rasyidun. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh KH. Ali Maksum dalam Kitab Hujjah Ahlussunah Wal Jamaah.
Kitab Kasyfut Tabariih fi Bayani Shalatit Tarawih ini diakhiri dengan pembahasan (mas'alatun). Ini dia:
Jika ada orang yang berkata: "Sesungguhnya Umar bin Khattab melakukan kesalahan dengan mengatkan Ni'matul Bid'ah Hadzihi (sebaik-baiknnya bid’ah adalah ini, yakni mempersatukan orang-orang muslim dalam melaksanakan shalat tarawih dengan satu imam), bagaimana mungkin ia memuji sesuatu yang bid’ah padahal Rasullah Saw telah bersabda Wakullu Bid’atin Dholalatun (setiap hal yang bid’ah adalah sesat)?
Baca: Download PDF Semua Karya Syaikh Abu Fadhol Senori Tuban
Beliau menjawab pertanyaan di atas dengan menjelaskan penggunaan kata bid’ah, mendefinisikan kata tersebut dari penggunaan dalam konteks yang berbeda, penggunaan kata bid’ah dalam konteks yang disabdakan Rasulullah Saw. (Wakullu Bid’atin Dholalatun) dan yang diucapkan Umar bin Khattab (Ni’matul Bid’ah Hadzihi), tidak bisa disamakan.
Makna 'aam (umum/universal) yang terdapat dalam kata bid'ah pada hadits Rasulullah tidak digunakan semestinya, akan tetapi makna ‘am tersebut harus ditakhshis (dipersempit) hanya untuk hal-hal baru yang bersifat keagamaan, yang tidak sesuai/bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan yang telah ada.
Mengapa? Karena pada kenyataannya, tidak semua hal baru bernilai sesat, baik yang bersifat duniawi seperti penggunaan sarana transportasi modern yang tidak ada pada jaman Nabi Muhammad Saw. maupun yang bersifat keagamaan seperti kodifikasi/pembukuan Al-Qur’an, pemberian harakat pada ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya.
Sesuai dengan kronologi asal-muasal kitab ini disusun, kitab ini berusaha mengcounter klaim sepihak kelompok yang berbeda pendapat seputar shalat tarawih dengan apa yang telah dilaksanakan oleh mayoritas warga nahdliyyin.
Meskipun saat ini perbincangan kontroversi seputar shalat tarawih sudah dianggap usang, namun hadirnya kitab ini merupakan wujud kepedulian dan kasih sayang seorang ulama pada umatnya, yang spiritnya harus senantiasa dijaga oleh generasi muda. [dutaislam.or.id/ab]
A. Saepul Munir, tinggal di Subang