Buku Hadits Shahih Tidak Harus Selalu Diamalkan |
Dalam buku "Hadits Shahih Tidak Harus Selalu Diamalkan" karya Ahmad Sarwat ini, pembaca akan dihidangkan dengan sajian hukum hadis shahih, riwayat, serta kontekstualisasinya di masa sekarang, sehingga anggapan bahwa semua hadis shahih itu bagus dan harus diikuti mungkin dikesampingkan. Terlebih hadis memang tidak mendapat jaminan seperti halnya al Quran.
Namun, bukan berarti hal ini menyebabkan kita untuk tidak acuh untuk menjaga hadis, lebih dalam lagi penjagaan hadis (pembuktianya keshahiannya dan penerapanya) dapat dilakukan dengan cara yang lebih ilmiah dan masuk akal.
Untuk membuktikan sebuah hadis, ada yang namanya Ilmu kritik hadis (naqdul hadis). Di sini, hadis dipilih mana yang asli dan mana yang palsu, serta kondisi periwayatnya kuat, sehat, atau malah sebaliknya. Para ulama juga tidak memutuskan hanya dari aspek shahih atau tidaknya hadis, tapi banyak perangkat lain juga yang digunakan untuk menelitinya. Imam Syafii dalam kitabnya Ar Risalah mengatakan bahwa hanya Para Fuqohalah yang dapat melakukan itu.
Maka dalam memahami hadis, ada enam aspek penting penyebab hadis shahih tidak bisa diikuti atau diamalkan secara lahiriah.
Pertama, Bukan Sunnah Tasri'iyah (Sunnah yang harus diikuti). Hadis yang masuk dalam kategori ini semisal hadis tentang Khutbah memakai tongkat. "Kami menetap di Madinah beberapa hari menyaksikan pelaksanaan Jumat bersama Rasulullah saw. Beliau Saw berdiri pada hari Jumat bersandar dengan tongkat atau busur panah lalu memuji Allah dan menyanjungNya [HR. Abu Daud]
Imam An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini hukumnya adalah Hasan. Juga hadits yang terdapat dalam Mushannaf Abdurrazzaq dan Sunan Al Baihaqi, "Dari Ibnu Juraij ia berkata: aku bertanya kepada Atha’: Adakah Rasulullah Saw. berdiri ketika menyampaikan khutbah dengan memegang tongkat? Atha’ menjawab: “Benar, beliau benarbenar bersandar pada tongkatnya” [HR. Abdur Razzaq dan Al Baihaqi]
Al-Imam Asy-Syafi’i bahkan tidak menyebutnya sunnah, hanya saja beliau menyebutkan suka kalau khutbah untuk berpegangan pada sesuatu.
Dari Beberapa pendapat itu, meski hadisnya hasan tapi tidak wajib dilakukan. Ketika ada orang berkhutbah jumat tidak memakai tongkat tidak akan menjadi masalah atau membuat salat jumatnya tidak sah.
=====
Buku : Hadits Shahih Tidak Harus Selalu Diamalkan
Penulis : Ahmad Sarwat Lc, Ma
Penerbit: Rumah Fiqih Publishing
Tebal: 45 hlm
Tahun: 5 September 2018
Link Download: Buku Hadits Shahih Tidak Harus Selalu Diamalkan
=====
Hadis lainnya yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari adalah hadis tentang siwak. Seandainya Aku tidak memberatkan ummatku pastilah aku perintahkan mereka untuk menggosok gigi setiap berwudhu'. [HR. Ahmad].
Bersiwak atau gosok giginya memang sunnah yang sudah disepakati. Namun penggunaan kayu siwak atau lebih tepatnya batang ara’ bukanlah sunnah yang bersifat tasyri’iyah (harus dilakukan).
Kedua adalah hadis mansukh. Beberapa hadis shahih yang terdapat dalam kitab ini tidak bisa diikuti bahkan tidak boleh. Seperti halnya hadis tentang nikah mut'ah. Abdullah berkata, "Kami perang bersama Rasulullah SAW dan kami tidak mengajak istri, kami berkata,"Apakah sebaiknya kita mengebiri?". Rasulullah SAW melarang kami melakukannya namun beliau mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan selembar pakaian [HR. Bukhari Muslim].
Namun hadits di atas dihapus dan dinyatakan tidak lagi berlaku dengan hadits, Bahwa Rasulullah SAW mengharamkan menikahi wanita secara mut'ah pada saat Perang Khaibar
Hadis ini menghapus bolehnya nikah mut'ah, karena secara sejarah hadis ini datang lebih akhir dibanding hadis yang sebelumnya (tentang bolwhnya nikah mut'ah).
Contoh hadis lainnya adalah tentang membunuh peminum khamar bahwa, "Orang yang minum khamar maka cambuklah, kalau masih minum juga untuk yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadis ini tidak berlaku setelah ada hadis setelahnya yang berbunyi, "Kemudian didatangkan kepada Nabi SAW orang yang minum khamar untuk yang keempatkalinya, maka beliau mencambuknya dan tidak membunuhnya.
Ketiga adalah perbedaan Konteks. Dalam penerapnnya, hadis juga harus melihat konteks bagaimana hadis itu diterapkan, dan seperti apa kondisi masyarakat ketika itu diterapkan. Misalnya ketika Rasulullah SAW melarang kita menghadap kiblat ketika buang hajat dan malah memerintahkan kita menghadap ke Timur atau ke Barat,
"Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat, janganlah menghadap ke arah kiblat dan jangan membelakanginya. Tetapi menghadaplah ke Timur atau ke Barat" [HR. Bukhari dan Muslim]
Hadits sesuai ketika diterapkan di Madinah, karena arah kiblat dari kota Madinah itu ke Selatan, agar tidak menghadap kiblat atau membelakanginya, maka Rasul memerintahkan untuk menghadap ke arah Timur atau ke arah Barat.
Tapi, hadis tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, karena arah kiblatnya justru menghadap ke arah Barat secara umum. Kalau beliau memerintahkan kita menghadap ke Barat, justru malah menghadap ke arah kiblat.
Hadis lainnya, haram menjual air, api serta rumput. Hadis itu berbunyi, "Umat Islam itu bersekutu dalam tiga hal : air, rumput dan api. Dan harganya (memperjual-belikannya) haram" [HR. Ahmad]
Maka untuk itu kita perlu pahami realitas kehidupan di masa itu, dimana air tersedia dimanamana, baik dari air hujan, air laut, air sumur, mata air dan lainnya. Sehingga di masa itu ada larangan bagi orang yang ingin menguasai air (baca : memonopoli) yang merupakan hak setiap orang.
Kalau sampai ada yang melakukannya, dia telah melakukan kejahatan sosial. Oleh karena itu uang hasil penjualannya diharamkan. Larangan monopoli yang sama juga berlaku pada rumput dan api, dimana keduanya menjadi hajat hidup orang banyak.
Kalau sampai dikuasai oleh segelintir orang, dimana untuk mendapatkannya harus dengan membayar, maka hal itu termasuk kejahatan. Larangan ini harus dipahami dalam kontek menguasai sumber-sumber air, rumput dan api yang akibatnya masyarakat jadi menderita. Namun hadits ini berarti mengharamkan bisnis air bersih. Juga tidak boleh dipahami halalnya mencuri air dari pipa saluran air berbayar (hal. 25).
Selanjutnya, Hadis yang tidak pada tempatnya. Maksudnya adalah hadis ini disepakati oleh para ulama kebenarnya, namun penerapan yang dilakukan di masyarakat ternyata salah. Salah satunya tentang menhqadha (menggati) salat yang tertinggal karena berbagai hal. Dari Aisyah r.a berkata : ‘Di zaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haidh lalu kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha’ shalat." [HR. Jama’ah]
Padahal penggunaan hadits ini untuk menjadi dalil atas tidak adanya qadha’ shalat keliru besar. Sebab hadits ini sedang bicara tentang wanita yang mendapat haidh di bulan Ramadhan, dimana mereka tidak boleh shalat dan puasa. Namun Rasulullah SAW mewajibkan untuk mengqadha’ puasanya tetapi tidak mewajibkan untuk mengqahda’ shalatnya. Tidak ada qadha’ shalat itu benar, tetapi berlakunya hanya pada wanita yang sedang haidh saja (hal. 26).
Kelima, adanya hadis shahih. Ketika ada beberapa hadis shahih lain yang juga membenarkan hal yang sama. Contoh dari ini adalah tentang apakah basmallah dalam salat termasuk surat al fatihah atau bukan. Masalah ini kalau kita mau runut ke belakang, ternyata berhulu dari perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah lafadz basmalah itu bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan. Sebagian ulama mengatakan basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, dan sebagian yang lain mengatakan bukan.
Mazhab Al-Hanafiyah Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Kalau pun kita membacanya di awal surat Al-Fatihah, kedudukannya sunnah ketika membacanya. Namun mazhab ini tetap mengatakan bahwa bacaan basmalah pada surat Al-Fatihah sunnah untuk dibaca, dengan suara yang sirr atau lirih.
Sedangkan Mazhab Al-Malikiyah berpendapat, basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriya. Hal ini berdasarkan hadis,
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,”Aku shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahuanhum. Mereka memulai qiraat dengan membaca AlHamdulillahirabbil ‘alamin, dan tidak membaca bismillahirramanirrahim di awal qiraat atau di akhirnya”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Ada satu pendapat di kalangan ulama mazhab Maliki yang membolehkan seseorang membaca basmalah di dalam Al-Fatihah, namun khusus untuk shalat sunnah dan bukan shalat wajib.
Menurut mazhab As-Syafi'iyah, lafaz basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga wajib dibaca dengan jahr (dikeraskan) oleh imam shalat dalam shalat jahriyah. Hal ini dasarkan pada hadis, "Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila kamu membaca surat Al-Fatihah, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena bismillahir rahmanirrahim adalah salah satu ayatnya". [HR. Ad-Daruquthuny].
Mazhab Al-Hanabilah berpendapat, basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, namun tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan saja (sirr). Bila kita perhatikan imam Al-Masjidil Al-haram di Mekkah, tidak terdengar membaca basmalah, namun mereka membacanya. Umumnya orang-orang disana bermazhab Hanbali (hal 35).
Selanjutnya adalah faktor Sastra dan Gaya Bahasa. Contoh di sini adalah membunuh orang yang melewati mubilaslim ketika mereka salat. Saking kerasnya larangan untuk melewati orang yang sedang shalat, sampai ada hadits yang sekilas terkesan boleh dibunuh. Status haditsnya dishahihkan oleh Imam Muslim.
"Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabd,"Jika kamu shalat jangan biarkan seorang pun lewat di depannya, haruslah dia mencegahnya semampunya. Kalau orang yang mau lewat itu mengabaikan, maka bunuhlah dia, karena dia adalah setan" [HR. Muslim]
Hadis ini memang terkesan galak, namun perlu diingat bahwa rasul dan para sahabat tidak pernah melakukan hal ini. Ini hanya gaya bahasa orang arab saja, yang memang sangat menyukai sastra. Jadi bila mencari tentang riwayat tentang pada jaman rasul ada pembunuhan karena melewati orang yang sedang salat niscaya tidak akan pernah menemukannya.
Dalam memahami hukum, terutama dari hadis memang harus memperhatikan banyak faktor serta piranti yang digunakan untuk menjelaskannya. Jadi bisa seyogyanya, muslim yang bijak tidak akan membaca hukum hanya dengan membaca teks saja. [dutaislam.or.id/alan/gg]