Cover Kitab Adabul Hiwar karya Habib Umar bin Hafidz. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Achmad Reza Fahlepi
Dutaislam.or.id - Istilah moderasi (tawassuth) dalam beragama yang gencar digaungkan hingga sekarang merupakan sebuah istilah untuk memaknai cara pandang, sikap, dan perilaku beragama seseorang agar memposisikan dirinya selalu berada di tengah-tengah, tidak ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri.
Diseminasi Islam moderat di era milenial sekarang ini tidak bisa ditawar lagi, mengingat ancaman besar bisa saja menunggu jika hal ini diabaikan. Adalah Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, salah satu dari seorang ulama asal Yaman, yang mendakwahkan pentingnya moderatisme dalam beragama melalui karyanya: Adabul Hiwar Baina Al-Jama’at wa Al-Firaq Al-Islamiyah.
Kitab Adabul Hiwar ini tidak terlalu tebal. Ia hanya memiliki ketebalan sekitar empat puluh satu halaman dan hanya berisi sembilan buah sub tema. Kitab ini membahas tentang etika dalam membangun dialog dan kerjasama antar golongan yang berbeda.
Dalam kitab ini, Habib Umar menjelaskan bahwasanya penyebab terjadinya perbedaan di kalangan umat Islam adalah adanya perbedaan pemahaman dalam memahami nash Al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi. Sebagaimana kita tahu, nash Al-Qur’an ataupun sunnah Nabi SAW dibagi kedalam dua jenis.
Pertama, nash yang qath’iyu al-dalalah wa tsubut, dimana pada nash jenis ini tidak terlalu memerlukan banyak interpretasi dalam memahami makna ayat di dalamnya, sehingga hampir dapat dipastikan setiap orang dapat bersepakat di dalamnya, seperti jelasnya nash yang berbicara tentang jumlah shalat yang wajib dikerjakan dalam sehari semalam. Kedua, nash yang bersifat dzanniyu al-dalalah yang terkadang mengandung banyak interpretasi, sehingga ikhtilaf (perbedaan pendapat) seringkali terjadi (hlm: 5-6).
Karena jumlah nash yang bersifat dzanni jumlahnya amat banyak, maka sudah seharusnya ketika terjadi ikhtilaf, harus dikembalikan kepada orang yang ahli tentangnya. Untuk itu kitab ini juga menjelaskan tentang pentingnya kembali kepada pendapat para ahli ilmu yang berkompeten dan memiliki kapabilitas.
Saat ini kita memang banyak menemukan orang-orang yang tidak kapabel namun dijadikan rujukan untuk bertanya tentang permasalahan agama. Hasilnya pun dapat kita duga, ia menjawab tidak berdasarkan ilmu dan pada akhirnya menimbulkan kegaduhan di sana-sini.
Berkaitan hal diatas, ada kisah menarik yang dicatat dalam kitab Adabul Hiwar ini. Dikatakan bahwa Hasan Al-Bashri pernah berkata "sesungguhnya salah seorang diantara kalian pernah ditanya tentang satu urusan agama, kemudian seketika itu ia berfatwa dan memberikan jawabannya, padahal ia sedang dalam perjalanan. Ketahuilah, andaikan pertanyaan itu ditanyakan kepada Sayyidina Umar bin Khattab, niscaya Umar akan mengumpulkan para Sahabat Ahli Badar untuk membahas permasalahan tersebut". (hlm: 21).
Pentingnya bertanya kepada orang yang memiliki kapabilitas sebagai ahli ilmu agama bertujuan agar kita terhindar dari kesalahan persepsi pemikiran yang dapat menyebabkan perpecahan di kalangan umat. Bahkan hal seperti inilah yang dahulu menyebabkan munculnya kelompok Khawarij (barisan penentang Ali bin Abi Thalib) setelah terjadinya peristiwa tahkim (arbitrase) antara Ali dengan Muawiyah.
Ketika datang pemikiran untuk keluar dari barisan pendukung Ali, sebenarnya sebagian pemikiran itu bertentangan dengan hati nurani kebanyakan orang, namun sebagian besar kalangan yang membelot pada masa itu memberikan penjelasan dengan berbagai macam argumentasi yang rasional, sedangkan sebagian lainnya menelan mentah-mentah argumentasi itu tanpa meminta penjelasan kepada ulama dan beberapa tokoh besar sahabat.
Akhirnya, mereka yang awalnya berjumlah sedikit, lambat laun menjelma menjadi golongan dalam jumlah besar. Kemudian diutuslah Ibnu Abbas untuk mengajak diskusi kelompok Khawarij, sehingga Ibnu Abbas hanya berhasil menyadarkan tiga ribu orang dari dua puluh ribu orang yang masuk ke dalam kelompok Khawarij ini. (hlm: 26).
Selanjutnya, Kitab Adabul Hiwar ini juga menjelaskan bahwa sumber dari kekacauan lain adalah sikap ta’asshub (fanatik buta). Suatu anggapan yang meyakini pendapat ataupun persepsi suatu golongan merupakan sebuah nash (ketetapan yang bersifat absolut) yang harus diikuti. Semua persepsi maupun pendapat yang keluar dari kelompok dianggap batil dan tidak memiliki kebenaran, bahkan harus diperangi. Inilah yang menjadi penyebab terjadinya peperangan atas kaum-kaum terdahulu. (hlm: 28)
=======
IDENTITAS KITAB
Nama Kitab : Adabul Hiwar Bainal Jama’at wal Firaq Al-Islamiyah
Penulis : Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz
Tahqiq : -
Penerbit : Dar Kutub Shun’a
Tebal : 41 Halaman
Size : 5 MB
Link Download PDF: Kitab Adabul Hiwar
=======
Namun permasalahan besar kadang muncul bukan hanya disebabkan oleh perbedaan pendapat maupun sifat ta’ashub, tapi ada faktor tambahan lainnya. Habib Umar mengumpamakan negeri Yaman, yang terdiri atas beberapa kelompok pemikiran yang berbeda. Ada yang mengikuti mazhab Syafi’iyah, Zaidiyah, dan sebagian kecil menganut Madzhab Hanafiyah. Namun di Yaman tidak pernah terjadi sekalipun perselisihan yang disebabkan oleh faktor perbedaan pemahaman dalam permasalahan agama, kecuali jika hal itu dibalut oleh urusan politik, perniagaan, atau kepentingan teritorial (hlm: 31).
Hal tersebut seolah menegaskan kepada kita, ada dua faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekisruhan yang acap menimpa umat Islam, yakni faktor internal (seperti fanatik buta terhadap pendapat mazhab) dan eksternal, yang sumbernya kadang diawali oleh perbedaan pendapat diantara dua golongan namun dibungkus dengan faktor politik, perniagaan, atau teritorial. Meski begitu, sumber dari permasalahan tersebut tetaplah diawali masalah perbedaan paham dan pendapat (ikhtilaf), sehingga sumber dan akar permasalahan ini perlu diurai.
Untuk itu pada dua sub tema terakhir dalam Kitab Adabul Khiwar ini, Habib Umar seolah ingin menyadarkan kepada para pembacanya. Ia berkata, madzhab yang saat dianut sebagian besar umat Islam sebenarnya memiliki koneksitas (keterkaitan) atau genealogi keilmuan dari sumber yang sama.
Sebut saja seperti Imam Malik. Ia hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i adalah murid dari Imam Malik. Selain itu, Imam Syafii juga pernah mempelajari mazhab Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid dari pada Imam Syafi’i. Dan, perkembangan mazhab fikih tidak pernah terlepas dari jasa mereka semua. sehingga jelas bahwa para Imam mazhab memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan (hlm: 33).
Sikap moderat harus dikembangkan, terutama dikalangan para pengikut mazhab agar hilang rasa untuk saling mengungguli. Kitab Adabul Khiwar merekam sebuah pernyataan yang berasal dari kalangan pengikut mazhab Malikiyah.
Dikatakan, dahulu ada seorang pengikut mazhab Malikiyah berkata "siapa saja yang menginginkan menjadi pengikut mazhab yang agung, maka hendaknya ia mengikuti pendapat Madzhab Ibnu Idris (yang dimaksud adalah Imam Syafi’i)".
Kemudian seseorang berkata, "bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan Imam Malik adalah guru dari pada Imam Syafi’i itu sendiri". (hlm: 33).
Saat ini, kita juga jarang sekali mendengar satu ulama memuji ulama lainnya, padahal budaya saling memuji diantara para ulama perlu juga untuk kembali dibiasakan sebagaimana apa yang pernah terjadi pada Imam Syafi'i dan Imam Ahmad. Terkait hal ini, terdapat untaian syi’ir yang menarik. Kira-kira redaksi singkatnya seperti ini.
Imam Syafi'i berkata:
"Orang-orang berkata kepadaku, Ahmad mengunjungimu dan kamu mengunjunginya. Maka aku berkata, jika aku mengunjunginya (Ahmad), maka itu karena keutamannya, jika ia yang mengunjungiku, maka itu juga berkat keutamaannya. Dua keutamaan ini, semuanya kembali kepadanya".
Ketika Imam Ahmad mendengar hal ini, maka ia pun juga membalasnya dengan membuatkan syi'ir. "Jika engkau mengunjungi kami, itu karena keutamaan yang ada padamu, dan juga karena keutamaan yang ada padamu yang menyebabkan kami berkunjung kepadamu. Tidaklah kami merampas dua hal yang utama itu darimu dan orang-orang yang berharap menodai kehormatanmu tidak akan pernah memperoleh itu". (hlm: 34).
Walhasil, meskipun Kitab Adabul Khiwar (PDF) ini hanya memiliki ketebalan sebanyak empat puluh satu halaman, namun kitab ini sangat penuh dengan kalam kebijaksanaan dalam memandang setiap perbedaan pendapat.
Jika kita membacanya secara teliti, maka kita seolah dibawa oleh sang pengarang untuk melihat hakikat dari perbedaan, sehingga kita akan mengerti bahwasanya perbedaan bukanlah penghalang persatuan, karena memang sejatinya Allah menciptakan manusia lengkap dengan segala keragaman jenis ras, bahasa, suku, bangsa, bahkan ideologi, sehingga tidak layak untuk mempertentangkan perbedaan itu sendiri. [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.
Achmad Reza Fahlepi, Staf Pengajar Ponpes Al-Barkah Tangerang Selatan