Cover Kitab Bidayatul Hidayah Imam Al-Ghazali. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Nur Imam Saifuloh
Dutaislam.or.id - Setiap muslim diwajibkan untuk selalu bertakwa kepada Allah Swt dimanapun dan kapanpun ia berada. Baik dalam sepi ataupun ramai, takwa harus selalu menyertainya. Takwa berarti berusaha sekuat tenaga untuk mematuhi segala apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi segala apa yang menjadi larangan-Nya.
Seruan ini sering kali kita dengar di masjid, surau, majelis ta’lim hingga forum terbuka. Sebagian dari kita mungkin telah mengetahui bahkan hapal di luar kepala apa itu takwa. Namun tidak jarang dari kita yang justru berhenti pada batas mengerti, tidak sampai memahami apalagi mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai kendala yang kita hadapi dijadikannya alasan. Padahal beratnya menuruti perintah bisa jadi sebab rasa malas yang ada dalam diri kita yang justru beriringan dengan ringannya melanggar larangan yang bisa jadi sebab mudahnya kita tergoda rayuan. Lantas kita memohon kepada Tuhan untuk diberikan petunjuk jalan. Sayangnya kita bingung memulai dari mana dan harus bagaimana untuk sampai pada tujuan yang benar.
Salah satu literatur yang dapat dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah Bidayatul Hidayah yang bermakna pedoman dasar menuju tercapainya petunjuk. Kitab ini dikarang oleh Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad At-Thusi Al-Ghazali, seorang ulama terkemuka yang dilahirkan di Kota Thus, wilayah Khurasan, pada 450 H/ 1058 M dan wafat di kota yang sama pada 505 H/ 1111 M setelah mengembara ilmu ke berbagai wilayah.
Ia tercatat pernah singgah untuk memperdalam ilmunya di Baghdad, Naisabur, Mekah, Damakus, dan Mesir. Karena kepiawaiannya dalam mempertahankan argumen dan mematahkan pendapat lawan yang berseberangan khususnya dalam masalah ajaran agama, beliau mendapat julukan Hujjatul Islam (Khan, 2005: 15).
Dalam memulai kalamnya, beliau awali dengan pembahasan mengenai ilmu. Dikatakan, ilmu itu didapatkan dengan susah payah. Meski demikian, orang dengan ilmunya dapat menghancurkan agama, merusak diri sendiri dan menjual kebahagiaan akhirat dengan kesenangan duniawi.
Hal ini dapat terjadi apabila orang tersebut menuntut ilmu dalam rangka mencari popularitas, kebanggaan, mengungguli teman sebayanya, atau supaya mendapat simpati dari banyak orang. Sebaliknya, ilmu juga mampu melestarikan agama apabila niat dan tujuan mencari ilmu dalam rangka mencari petunjuk dan untuk meningkatkan ketakwaan kepada tuhan (hlm: 59).
Al-Ghazali kemudian mengklasifikasi pencari ilmu ke dalam tiga golongan. Golongan pertama adalah orang yang mencari ilmu dengan niat untuk memperoleh bekal menuju akhirat, ingin mendapatkan ridha Allah dan kebahagiaan di hari akhir nanti. Pencari ilmu dalam kelompok ini termasuk orang-orang yang beruntung.
Adapun golongan yang kedua ialah orang yang mencari ilmu dengan niat kepentingan duniawi, memperoleh kemuliaan, kedudukan dan harta. Padahal dalam hati kecilnya, ia telah merasa dan menyadari akan kejelekan niatnya. Maka, pencari ilmu dalam kelompok ini berada dalam bahaya. Apabila ia mati belum bertaubat, dikhawatirkan matinya su’ul khotimah (hlm: 63-64).
Sedangkan golongan terakhir, ketiga, merupakan golongan yang binasa, bodoh, dan tertipu daya oleh setan karena kecil kemungkinannya untuk bertaubat. Yang termasuk golongan ini adalah orang yang mencari ilmu semata-mata untuk kepentingan hawa nafsunya. Dia menjadikan ilmu sebagai alat untuk menumpuk kekayaan, memenuhi kebutuhan materi, mengejar kebanggaan diri dengan pangkat dan kedudukan, serta mencari pengaruh di lingkungannya. Parahnya lagi, ia merasa baik dan mengaku memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Swt karena menyerupai para ulama, berpakaian seperti mereka dan bertutur kata layaknya ulama sungguhan (hlm: 65).
Sesungguhnya Al-Quran menyatakan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu (QS. Al-Mujadalah: 11). Dalam sabdanya, Nabi Muhammad Saw. juga menyebutkan keutamaan menuntut ilmu dan orang yang berilmu dengan menyatakan bahwa mereka akan dimudahkan jalan menuju surga dan akan memiliki pahala yang kekal hingga akhirat kelak. Namun, apakah semua golongan pencari ilmu dan ahli ilmu mendapatkan kemuliaan itu? Jawabannya adalah hanya mereka yang takut kepada Allah Swt. (QS. Fatir: 28).
=======
IDENTITAS KITAB:
Nama Kitab : Bidayatul Hidayah
Pengarang : Al Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali
Penerbit : Darul Minhaj
Tahun Terbit : 1425 H/2004 M
Tebal : 310 halaman
Size : 4,4 MB
Link Donwload PDF :
=======
Di balik kemuliaan memiliki ilmu terdapat tanggung jawab untuk mengamalkannya. Rasulullah Saw. mengingatkan dalam sabdanya bahwa barang siapa bertambah ilmunya tapi amal baiknya tidak bertambah maka sesungguhnya dia telah jauh dari rahmat Tuhannya.
Dalam kesempatan lain, beliau juga menyampaikan bahwa orang-orang yang paling berat siksanya di hari kiamat ialah orang alim (pandai) tetapi ilmunya tidak diberi kemanfaatan oleh Allah. Agaknya kita juga lupa pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa ketika malam Nabi Muhammad Saw. diisra’kan, beliau bertemu dengan sekelompok orang yang lidahnya dipotong-potong dengan gunting api. Mereka itulah orang-orang yang suka mengajarkan orang lain supaya berbuat baik sementara mereka sendiri tidak melakukannya dan mereka juga yang melarang orang lain berbuat kejahatan padahal mereka sendiri mengerjakannya (hlm: 62).
Lantas, darimana kita memulai untuk melangkah pada jalan yang benar? Al-Ghazali menjawabnya dengan ketakwaan lahiriyah sebagai permulaan hidayah dan akhir dari hidayah ialah ketakwaan batiniyah. Al-Ghazali kemudian menuntun para pencari ilmu dan ahli ilmu untuk mencapai derajat tersebut dengan cara menjalankan perintah Allah (taat) dan meninggalkan larangan-Nya. (hlm: 66)
Dijelaskan oleh beliau bahwa ketaatan berarti mematuhi perintah Allah baik yang wajib ataupun sunnah. Menjalankan yang wajib ibarat modal dalam kegiatan perniagaan, sedangkan keuntungannya ibarat yang sunnah (hlm: 69).
Beberapa pasal mengenai pembahasan ini adalah etika bangun tidur, masuk kamar kecil, berwudhu, mandi, tayamum, pergi ke masjid, amalan di sepanjang siang dan malam, adab mempersiapkan diri untuk mendirikan shalat, adab menjadi imam dan makmum, adab menjelang tidur hingga adab menjalankan ibadah puasa, dijelaskan dengan begitu rinci oleh Imam Al-Ghazali.
Pembahasan selanjutnya ialah mengenai usaha seorang muslim menjauhi larangan Allah. Ulama yang juga digelari dengan Al-Imam Al-Jalil ini menjelaskan bahwa terdapat begitu banyak jenis maksiat yang sangat mungkin dilakukan oleh manusia. Mulai dari maksiat yang berpotensi tumbuh dari anggota badan seperti mata, telinga, lisan, perut, kemaluan, tangan dan kaki hingga maksiat yang bersemayam dalam hati.
Hadirnya kitab ini mematahkan anggapan bahwa melakukan ketaatan tidak hanya pada dimensi ibadah-ibadah yang wajib (seperti shalat dan puasa) atau ibadah yang secara tersurat disebutkan dalam Al-Quran. Di samping itu, menjauhi larangan yang sekilas hanya berupa perzinaan (yang dianggap sebagai dosa besar) juga digugurkan oleh beliau dengan penjelasannya mengenai potensi maksiat dari berbagai anggota badan hingga hati.
Untuk menyempurnakan isi kitab ini, pada bagian akhir pembahasan, Al-Ghazali menyinggung mengenai masalah pergaulan manusia terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Beliau menyebutkan mulai dari etika terhadap guru, sopan santun terhadap murid, adab terhadap orang tua, akhlak terhadap orang awam, hingga tata cara pergaulan dengan sahabat dekat dan orang yang baru dikenal. Oleh karena kajian garis besarnya berbicara masalah etika atau akhlak, kitab ini dikategorikan dalam khazanah ilmu tasawuf (hlm: 233).
Di bagian penutup, Al-Ghazali mengingatkan kita bahwa bila hati terasa berat untuk mengamalkan semua amalan dan bacaan yang telah disebutkan dalam kitabnya dan mengesampingkan permasalahan ini dengan pernyataan "kapan bisa maju kalau mempelajari ilmu ini?" atau "bagaimana bisa ilmu ini mengangkat kedudukan dan penghasilan?" bahkan yang lebih parah lagi "bagaimana akan memperoleh jabatan kalau yang dipelajari ilmu seperti ini?", maka ketahuilah bahwa setan telah berhasil menyesatkan dan melupakan kita terhadap urusan akhirat (hlm: 265).
Sungguh akan sangat bermanfaat bagi kita yang mengetahui dan mengamalkan isi Kitab Bidayatul Hidayah. Sayangnya, meski nama beliau begitu masyhur, tidak semua masyarakat muslim mengenali kitab tersebut.
Dan meski sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, eksistensi kitab ini masih berada di lingkungan pondok pesantren yang tidak jarang pula menjadikannya sebagai bagian dari kurikulum madrasah diniyah. [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.
Di balik kemuliaan memiliki ilmu terdapat tanggung jawab untuk mengamalkannya. Rasulullah Saw. mengingatkan dalam sabdanya bahwa barang siapa bertambah ilmunya tapi amal baiknya tidak bertambah maka sesungguhnya dia telah jauh dari rahmat Tuhannya.
Dalam kesempatan lain, beliau juga menyampaikan bahwa orang-orang yang paling berat siksanya di hari kiamat ialah orang alim (pandai) tetapi ilmunya tidak diberi kemanfaatan oleh Allah. Agaknya kita juga lupa pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa ketika malam Nabi Muhammad Saw. diisra’kan, beliau bertemu dengan sekelompok orang yang lidahnya dipotong-potong dengan gunting api. Mereka itulah orang-orang yang suka mengajarkan orang lain supaya berbuat baik sementara mereka sendiri tidak melakukannya dan mereka juga yang melarang orang lain berbuat kejahatan padahal mereka sendiri mengerjakannya (hlm: 62).
Lantas, darimana kita memulai untuk melangkah pada jalan yang benar? Al-Ghazali menjawabnya dengan ketakwaan lahiriyah sebagai permulaan hidayah dan akhir dari hidayah ialah ketakwaan batiniyah. Al-Ghazali kemudian menuntun para pencari ilmu dan ahli ilmu untuk mencapai derajat tersebut dengan cara menjalankan perintah Allah (taat) dan meninggalkan larangan-Nya. (hlm: 66)
Dijelaskan oleh beliau bahwa ketaatan berarti mematuhi perintah Allah baik yang wajib ataupun sunnah. Menjalankan yang wajib ibarat modal dalam kegiatan perniagaan, sedangkan keuntungannya ibarat yang sunnah (hlm: 69).
Beberapa pasal mengenai pembahasan ini adalah etika bangun tidur, masuk kamar kecil, berwudhu, mandi, tayamum, pergi ke masjid, amalan di sepanjang siang dan malam, adab mempersiapkan diri untuk mendirikan shalat, adab menjadi imam dan makmum, adab menjelang tidur hingga adab menjalankan ibadah puasa, dijelaskan dengan begitu rinci oleh Imam Al-Ghazali.
Pembahasan selanjutnya ialah mengenai usaha seorang muslim menjauhi larangan Allah. Ulama yang juga digelari dengan Al-Imam Al-Jalil ini menjelaskan bahwa terdapat begitu banyak jenis maksiat yang sangat mungkin dilakukan oleh manusia. Mulai dari maksiat yang berpotensi tumbuh dari anggota badan seperti mata, telinga, lisan, perut, kemaluan, tangan dan kaki hingga maksiat yang bersemayam dalam hati.
Hadirnya kitab ini mematahkan anggapan bahwa melakukan ketaatan tidak hanya pada dimensi ibadah-ibadah yang wajib (seperti shalat dan puasa) atau ibadah yang secara tersurat disebutkan dalam Al-Quran. Di samping itu, menjauhi larangan yang sekilas hanya berupa perzinaan (yang dianggap sebagai dosa besar) juga digugurkan oleh beliau dengan penjelasannya mengenai potensi maksiat dari berbagai anggota badan hingga hati.
Untuk menyempurnakan isi kitab ini, pada bagian akhir pembahasan, Al-Ghazali menyinggung mengenai masalah pergaulan manusia terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Beliau menyebutkan mulai dari etika terhadap guru, sopan santun terhadap murid, adab terhadap orang tua, akhlak terhadap orang awam, hingga tata cara pergaulan dengan sahabat dekat dan orang yang baru dikenal. Oleh karena kajian garis besarnya berbicara masalah etika atau akhlak, kitab ini dikategorikan dalam khazanah ilmu tasawuf (hlm: 233).
Di bagian penutup, Al-Ghazali mengingatkan kita bahwa bila hati terasa berat untuk mengamalkan semua amalan dan bacaan yang telah disebutkan dalam kitabnya dan mengesampingkan permasalahan ini dengan pernyataan "kapan bisa maju kalau mempelajari ilmu ini?" atau "bagaimana bisa ilmu ini mengangkat kedudukan dan penghasilan?" bahkan yang lebih parah lagi "bagaimana akan memperoleh jabatan kalau yang dipelajari ilmu seperti ini?", maka ketahuilah bahwa setan telah berhasil menyesatkan dan melupakan kita terhadap urusan akhirat (hlm: 265).
Sungguh akan sangat bermanfaat bagi kita yang mengetahui dan mengamalkan isi Kitab Bidayatul Hidayah. Sayangnya, meski nama beliau begitu masyhur, tidak semua masyarakat muslim mengenali kitab tersebut.
Dan meski sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, eksistensi kitab ini masih berada di lingkungan pondok pesantren yang tidak jarang pula menjadikannya sebagai bagian dari kurikulum madrasah diniyah. [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.
Nur Imam Saifuloh, santri PP Al Hidayah Karangsuci, Purwokerto