Cover Kitab Ghayatul Wushul Syarah Lubbul Usul. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Muhammad Rifqi Ali
Dutaislam.or.id - Hukum selalu berkembang sesuai konteks zaman karena dipengaruhi oleh arus globalisasi yang semakin maju sampai saat ini. Menyelesaikan suatu problem serta menetapkan suatu hukum tidaklah cukup hanya dengan merujuk pada Al-Qur'an dan As-sunnah. Muncullah hukum fiqh sebagai buah hasil dari ijtihad para ulama terdahulu.
Tidak berhenti disitu saja, hukum fiqh tidak mungkin bisa ditetapkan kecuali dengan adanya perantara ushul fiqh dimana tugas utamanya sendiri ialah untuk memperoleh hukum-hukum syara' dari dalil-dalil terperinci dan sebagai rujukan bagi hukum furu'iyah hasil ijtihad para ulama salaf.
Kitab yang berjudul Ghayatul Wushul ini merupakan syarah Lubbul Ushul yang disusun sendiri oleh tokoh ulama besar yang diberi julukan sebagai Syaikhul Islam, yaitu Abu Yahya Zakariya bin Muhammad Al-Anshari.
Kitab ini Ghayatul Wushul ini bergenre ushul fiqh, yang memadukan pendapat-pendapat ulama dalam memahami suatu permasalahan. Disusun secara sistematis, dan memuat memuat tujuh pokok pembahasan, lima pokok pertama tentang dalil-dalil fiqh dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' ulama, Qiyas dan Istidlal (cara pengambilan dalil). Sedangkan pokok keenam membahas penyeimbangan dan pengunggulan pendapat antara lima pokok di atas dengan yang bertolak belakang dengannya. terakhir, yang ketujuh membahas tentang ijtihad para ulama dan yang berkaitan dengannya. (hlm: 7).
Kitab yang sudah tidak asing lagi di kalangan pesantren ini unik. Mengapa? Karena selain memuat kajian Ushul Fiqih, penulis Ghyatul Wushul juga cantumkan yaitu perdebatan tentang ideologi antara ulama Ahlussunnnah Wal Jama'ah dan ulama Mu'tazilah yang tak kunjung usai.
Saya ambil contoh dari bab musytaq (derivasi lafadz dari aslinya) yang ditarik menjadi pertarungan ideologi. Syaikh Zakariya Al-Anshari menjelaskan bahwa lafadz musytaq itu مطرد (yakni, mauzunnya banyak, dan bisa di qiyaskan, seperti dalam ilmu sharaf), atau berlaku laiknya isim fa'il seperti kata ضارب (orang yang memukul), dimana kalimat ضارب itu layak disematkan kepada seseorang yang memiliki karakter atau sifat memukul juga.
Selain itu, lafadz musytaq terkadang juga dikhususkan untuk suatu hal atau benda, seperti kata قارورة yang di bentuk dari lafadz القرار ( makna aslinya tenang atau diam ), dimana lafadz tersebut hanya di peruntunkkan pada benda dari kaca (الزجاجة).
Orang atau benda yang tidak mempunyai kaitan dengan sifat tertentu yang terkandung dalam dirinya, maka hal itu belum bisa disebut sebagai musytaq. Contoh: orang bisa disebut santri karena ada sifat yang melekat pada dirinya, seperti sarungan, pecinan dan lain-lain. Andaikan sifat-sifat tersebut tidak ditemukan dalam diri santri, maka orang tersebut belum bisa dianggap sebagai santri seutuhnya.
=======
IDENTITAS KITAB
Nama Kitab: Ghoyatul Wushul Ila Syarhi Lubbil Ushul
Penulis: Syaikh Zakariya Al-Anshari
Penerbit: Al-Haromain Jaya Indonesia dan Dar Kutub Ar-Arabiyah
Tahun terbit :-
Tebal: 182 Halaman
Size: 13.2 MB
Link Download PDF:
=======
Pengertian santri sebagai yang memiliki karakter santri adalah menurut istilah ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah sesuai penggunaan istilah musytaq di atas. Berbeda dengan Mu'tazilah. Mereka menyatakan, sekalipun orang tersebut tidak mempunyai sifat-sifat santri -yang melekat pada dirinya, ia tetap bisa disebut sebagai santri.
Dalam hal tauhid, atas cara berpikir tentang musytaq di atas, Mu'tazilah akhirnya meniadakan sifat-sifat dzatiyah Allah seperti sifat Hayat, Ilmu, Qudroh, Irodah dan lain-lain, karena sifat-sifat tersebut tidak perlu (tidak menjadi suatu keharusan) dinisbatkan kepada Allah. Dengan begitu ulama Mu'tazilah tetap sepakat kalau Allah itu Alim, Berkuasa, Berkehendak secara dzatiyah, dan tidak perlu menambah sifat-sifat yang sudah di jelaskan di atas tadi.
Sifat Mutakallim bagi Allah, menurut Mu'tazilah adalah bahwa Allah menciptakan suatu kalam dalam ragawi benda. Contohnya saat Nabi Musa as. mendengarkan suara yang muncul dari sebuah pohon. Dengan pemikiran dasar itu, kalangan Mu'tazilah beranggapan bahwa sifat kalam (berbicara) hanya bisa ditimbulkan lewat huruf atau ditulis dan lewat ungkapan suara. Karena itulah Mu'tazilah tidak memercayai adanya كلام النفس.
Walhasil, Mu'tazilah mengakui adanya sifat kalam bagi Allah tapi dengan pemaknaan bahwa Allah lah yang menciptakannya, begitu juga dengan sifat-sifat yang lainnya. hanya saja mereka menafikan sifat-sifat tambahan dari dzat Allah dan beranggapan bahwa sifat tersebut adalah esensi dzat itu sendiri, semua itu karena menghindari adanya تعدد القدماء (banyaknya bilangan perkara qadim yang menyaingi Allah). Namun pendapat ini disangkal. Alasannya, yang dikhawatirkan oleh para ulama' itu adalah terjadinya keyakinan akan banyaknya dzat, bukan tunggalnya dzat yang mempunyai banyak sifat.
Selain permasalahan di atas, Syaikh Zakariya Al-Anshari juga menjelaskan tentang nasakh (penghapusan perintah) sebelum suatu hukum syariat dikerjakan atau diamalkan. Contohnya adalah saat Nabi Ibrahim as. diperintah menyembelih putranya Nabi Ismail as.
Golongan Mu'tazilah menyepakati bahwa Nabi Ibrahim as. telah menyembelih Nabi Ismail as. Dengan kata lain, Nabi Ibrahim as. telah menjalankan perintah Allah Swt. Buktinya, alat sembelihan sudah di atas leher putranya. Namun mereka berselisih pendapat mengenai status Nabi Ismail as, apakah sudah disembelih ataukah belum? Ada yang berpendapat sudah disembelih namun leher yang telah dipotong menyatu kembali. Pendapat lain, Isma'il tidak disembelih sama sekali oleh ayahnya. Artinya, lehernya tidak ada yang terpotong sedikitpun.
Dari pendapat yang kedua ini ulama Mu'tazilah mengartikan kata الذابح (orang yang menyembelih) sebagai seseorang yang telah menjalankan perintah menyembelih walau alatnya masih di atas leher sembelihan. Bila kita cermati lebih mendalam lagi, hal ini tidak menyalahi kaidah isytiqaq. Kalangan Ushuliyyin (ulama ushul fiqih) menyebutnya sebagai isytiqaq majaz, yaitu mengucapkan "lafadz menyembelih" tapi yang di kehendaki "menjalankan alat untuk menyembelih".
Menurut pendapat kalangan Asy'ariyah, Nabi Ibrahim as. bukanlah orang yang menyembelih, Nabi Ismail as. juga orang yang bukan disembelih, baik dalam arti memotong atau menjalankan alat penyembelih. Alasannya, hakikat perintah menyembelih telah di-nasakh sebelum memungkinkan dikerjakan. Dalilnya ada dalam ayat yang sudah disebutkan dalam PDF Kitab Ghayatul Wushul ini. (Baca hlm. 50)
Dari segi bahasa, dibanding judul kitab Ushul Fiqih lainnya, Ghayatul Wushul disusun secara ilmiah dan sangat rumit. Hal itu cukup wajar mengingat Syaikh Zakariya Al-Anshari yang memang dikenal detail menjelaskan gagasan dalam kitab-kitabnya. Untuk bisa memahami teks dalam kitab ini, sebaiknya para pengkaji memiliki perbandingan kitab ushul fiqh lainnya.
Kitab ini masih terbilang relevan hingga sekarang. Bukan hanya santri yang mengkaji, tapi hampir para ulama se-antero dunia juga mengkajinya.
Saking mendalamnya pemikiran Syaikh Zakariya Al-Anshari, kitab ini disyarahi atau dijadikan hasyiah (diperjelas interpretasi redaksi terpentingnya) oleh tokoh ulama besar Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ro'is Aam PBNU, yaitu KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz dengan judul: Thoriqotul Hushul. Sampai sekarang Thariqatul Hushul banyak dikaji di Ma'had Aly Indonesia, dan di Universitas Al-Azhar Kairo dan lainnya.
Kitab ini cocok dikaji baik oleh kalangan santri maupun akademisi, khususnya yang ingin mendalami ushul fiqh, karena didalamnya bukan hanya menyantumkan pendapat-pendapat ulama, tapi menjelaskan lebih detail lagi terkait permasalahan yang sedang diangkat, sampai ke akar-akarnya. Penulis juga tidak lupa menuturkan pendapat mana yang dianggap unggul dan mana yang dianggap lemah; rajih-marjuh. [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.
Pengertian santri sebagai yang memiliki karakter santri adalah menurut istilah ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah sesuai penggunaan istilah musytaq di atas. Berbeda dengan Mu'tazilah. Mereka menyatakan, sekalipun orang tersebut tidak mempunyai sifat-sifat santri -yang melekat pada dirinya, ia tetap bisa disebut sebagai santri.
Dalam hal tauhid, atas cara berpikir tentang musytaq di atas, Mu'tazilah akhirnya meniadakan sifat-sifat dzatiyah Allah seperti sifat Hayat, Ilmu, Qudroh, Irodah dan lain-lain, karena sifat-sifat tersebut tidak perlu (tidak menjadi suatu keharusan) dinisbatkan kepada Allah. Dengan begitu ulama Mu'tazilah tetap sepakat kalau Allah itu Alim, Berkuasa, Berkehendak secara dzatiyah, dan tidak perlu menambah sifat-sifat yang sudah di jelaskan di atas tadi.
Sifat Mutakallim bagi Allah, menurut Mu'tazilah adalah bahwa Allah menciptakan suatu kalam dalam ragawi benda. Contohnya saat Nabi Musa as. mendengarkan suara yang muncul dari sebuah pohon. Dengan pemikiran dasar itu, kalangan Mu'tazilah beranggapan bahwa sifat kalam (berbicara) hanya bisa ditimbulkan lewat huruf atau ditulis dan lewat ungkapan suara. Karena itulah Mu'tazilah tidak memercayai adanya كلام النفس.
Walhasil, Mu'tazilah mengakui adanya sifat kalam bagi Allah tapi dengan pemaknaan bahwa Allah lah yang menciptakannya, begitu juga dengan sifat-sifat yang lainnya. hanya saja mereka menafikan sifat-sifat tambahan dari dzat Allah dan beranggapan bahwa sifat tersebut adalah esensi dzat itu sendiri, semua itu karena menghindari adanya تعدد القدماء (banyaknya bilangan perkara qadim yang menyaingi Allah). Namun pendapat ini disangkal. Alasannya, yang dikhawatirkan oleh para ulama' itu adalah terjadinya keyakinan akan banyaknya dzat, bukan tunggalnya dzat yang mempunyai banyak sifat.
Selain permasalahan di atas, Syaikh Zakariya Al-Anshari juga menjelaskan tentang nasakh (penghapusan perintah) sebelum suatu hukum syariat dikerjakan atau diamalkan. Contohnya adalah saat Nabi Ibrahim as. diperintah menyembelih putranya Nabi Ismail as.
Golongan Mu'tazilah menyepakati bahwa Nabi Ibrahim as. telah menyembelih Nabi Ismail as. Dengan kata lain, Nabi Ibrahim as. telah menjalankan perintah Allah Swt. Buktinya, alat sembelihan sudah di atas leher putranya. Namun mereka berselisih pendapat mengenai status Nabi Ismail as, apakah sudah disembelih ataukah belum? Ada yang berpendapat sudah disembelih namun leher yang telah dipotong menyatu kembali. Pendapat lain, Isma'il tidak disembelih sama sekali oleh ayahnya. Artinya, lehernya tidak ada yang terpotong sedikitpun.
Dari pendapat yang kedua ini ulama Mu'tazilah mengartikan kata الذابح (orang yang menyembelih) sebagai seseorang yang telah menjalankan perintah menyembelih walau alatnya masih di atas leher sembelihan. Bila kita cermati lebih mendalam lagi, hal ini tidak menyalahi kaidah isytiqaq. Kalangan Ushuliyyin (ulama ushul fiqih) menyebutnya sebagai isytiqaq majaz, yaitu mengucapkan "lafadz menyembelih" tapi yang di kehendaki "menjalankan alat untuk menyembelih".
Menurut pendapat kalangan Asy'ariyah, Nabi Ibrahim as. bukanlah orang yang menyembelih, Nabi Ismail as. juga orang yang bukan disembelih, baik dalam arti memotong atau menjalankan alat penyembelih. Alasannya, hakikat perintah menyembelih telah di-nasakh sebelum memungkinkan dikerjakan. Dalilnya ada dalam ayat yang sudah disebutkan dalam PDF Kitab Ghayatul Wushul ini. (Baca hlm. 50)
Dari segi bahasa, dibanding judul kitab Ushul Fiqih lainnya, Ghayatul Wushul disusun secara ilmiah dan sangat rumit. Hal itu cukup wajar mengingat Syaikh Zakariya Al-Anshari yang memang dikenal detail menjelaskan gagasan dalam kitab-kitabnya. Untuk bisa memahami teks dalam kitab ini, sebaiknya para pengkaji memiliki perbandingan kitab ushul fiqh lainnya.
Kitab ini masih terbilang relevan hingga sekarang. Bukan hanya santri yang mengkaji, tapi hampir para ulama se-antero dunia juga mengkajinya.
Saking mendalamnya pemikiran Syaikh Zakariya Al-Anshari, kitab ini disyarahi atau dijadikan hasyiah (diperjelas interpretasi redaksi terpentingnya) oleh tokoh ulama besar Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ro'is Aam PBNU, yaitu KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz dengan judul: Thoriqotul Hushul. Sampai sekarang Thariqatul Hushul banyak dikaji di Ma'had Aly Indonesia, dan di Universitas Al-Azhar Kairo dan lainnya.
Kitab ini cocok dikaji baik oleh kalangan santri maupun akademisi, khususnya yang ingin mendalami ushul fiqh, karena didalamnya bukan hanya menyantumkan pendapat-pendapat ulama, tapi menjelaskan lebih detail lagi terkait permasalahan yang sedang diangkat, sampai ke akar-akarnya. Penulis juga tidak lupa menuturkan pendapat mana yang dianggap unggul dan mana yang dianggap lemah; rajih-marjuh. [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.
Muhammad Rifqi Ali,
Pelajar Ma'had Aly Maslakul Huda Kajen, Pati, Jawa Tengah