Iklan

Iklan

,

Iklan

Hukum Shalat Jum'at Kurang dari 40 Orang dalam Kitab Risalah Jum'at (PDF)

24 Sep 2020, 04:17 WIB Ter-Updated 2024-09-19T00:51:09Z
Download Ngaji Gus Baha
hukum shalat jumat kurang 40 orang menurut syafiiyah
Kitab Risalatul Jumat Sayyid Bakri. Foto: dutaislam.or.id.

Oleh Mohamad Mansur

Dutaislam.or.id - Seringkali kita jumpai pelaksanaan shalat Jum'at yang jamaahnya kurang dari 40 orang. Biasanya di perkampungan atau daerah-daerah terpencil. Tentu saja hal itu membuat resah. Pasalnya, dalam berbagai kitab fikih mazhab Syafi'i diterangkan, syarat sah shalat Jum'at harus diikuti oleh sekurang-kurangnya 40 orang. 

Kejadian lain yang tak kalah meresahkan ialah diadakannya dua shalat Jum'at sekaligus (ta'addudul jum'ah) dalam satu desa. Terlepas apapun sebabnya, kasus semacam ini kerap merisaukan karena dinilai menyelisihi aturan yang lazim diajarkan di pesantren dan madrasah bermazhab Syafi'i.

Kitab Risalah Jum'at hadir sebagai solusi atas persoalan tersebut. Ditulis oleh Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho Ad-Dimyathi (w. 1310 H.), kitab ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama membahas legalitas qaul qadim Imam Syafi'i (fatwa Imam Syafi'i waktu berada di Irak sebelum menetap di Mesir) tentang keabsahan shalat Jum'at dengan empat atau dua belas orang saja. Sementara bagian kedua mengulas syarat-syarat shalat Jum'at, bolehnya terselenggara dua shalat Jum'at atau lebih dalam satu desa, serta faedah-faedah berisi bacaan setelah shalat Jum'at.

Kitab ini sepenuhnya bisa disebut risalah: karangan ringkas mengenai suatu masalah dalam ilmu pengetahuan. Makin sempurna sebagai risalah karena kitab ini dinamai Risalah Jum'at yang tak lain karena isinya fokus pada masalah shalat Jum'at, tidak ada pembicaraan yang lain.

Ide penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh pertanyaan yang dilayangkan seorang rekan kepada Sayyid Abu Bakar Syatho tentang desa yang berpenduduk kurang dari 40 orang. Apakah mereka boleh menerapkan qaul qadim Imam Syafi'i yang mengesahnya shalat Jum'at cukup dengan empat atau dua belas orang jamaah saja? Lalu manakah yang lebih baik, bertaqlid (berpegang) pada qaul qadim tersebut atau pindah ke madzhab lain? 

Dan, bagaimana mungkin qaul itu diterapkan, bukankah ulama Syafi'iyah telah menandaskan bahwa saat ditemukan qaul qadim dan jadid (fatwa Imam Syafi'i sewaktu menetap di Mesir) sekaligus dalam sebuah kasus, yang harus dipilih adalah qaul jadid? Serta, apakah syarat dan ketentuan yang diatur dalam qaul jadid terkait shalat Jum'at tetap berlaku begitu seseorang bertaqlid pada qaul qadim? Terakhir, apakah para pendatang yang nimbrung shalat Jum'at bersama mereka wajib taqlid pada qaul itu terlebih dahulu? (hlm: 2-3).

Sayyid Bakri Syatho —begitu muallif biasa disapa— selanjutnya menjawab pertanyaaan-pertanyaan tersebut sembari menayangkan berbagai pandangan ulama, utamanya yang ahli dalam disiplin ilmu fiqih (fuqaha'). Risalah ini sampai-sampai nyaris dipenuhi nukilan dari para cendekiawan klasik tersebut. Hal itu menunjukkan betapa ia benar-benar melakukan kajian mendalam sebelum menjawab. Juga menggambarkan kerendahan hatinya dengan memilih menisbatkan jawaban itu bukan kepada dirinya sendiri, melainkan ulama lain.

Bayangkan, tak kurang dari 35 nama fuqaha' terkemuka disitir dalam risalah ini. Beragam perbedaan dalam kasus yang sama pun ditampilkan agar bisa menjadi alternatif dan perbandingan. Misalnya perbedaan soal seberapa jauh jarak yang membolehkan sebuah desa mendirikan shalat Jum'at hingga dua atau lebih. 

Menanggapi masalah itu, Ibnu Hajar dalam Kitab Tufhatul Muhtaj dan Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj ragu-ragu antara dua pilihan; apakah kriteria jauh itu jarak yang menyebabkan orang yang tinggal di ujung desa tidak bisa mendengar suara adzan, ataukah jarak yang tidak bisa tercapai sekira ditempuh sejak terbit fajar. 

Ibnu Qosim dan Al-Barmawi mengutarakan pendapat yang berbeda. Kata mereka, jarak yang jauh ialah yang berpotensi menimbulkan masyaqqah (kesukaran) yang tidak dapat ditoleransi. (hlm: 11). Selisih paham itu, juga perselisihan lainnya, dituturkan secara runtut dalam risalah ini sehingga memudahkan pemahaman. Sumbernya pun ikut disebut supaya membekas dalam ingatan.

Selain pendapat yang berseberangan, turut disisir pula pendapat-pendapat yang searah. Contoh paling jelas soal itu, dan yang kemudian menjadi topik utama dalam risalah ini, adalah qaul qadim Imam Syafi'i yang membolehkan empat orang mendirikan shalat Jum'at. Qaul ini diamini oleh murid sang imam sendiri, yaitu Ismail Al-Muzanni, dianut oleh An-Nawawi dan As-Suyuthi, serta dihikayatkan Al-Qazwaini dan Al-Azrii melalui kitabnya masing-masing. 

Qaul ini juga merupakan mazhab Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Laits, dan masih banyak lagi. (hlm: 4-5). Meski mempunyai pandangan yang searah, nama mereka tetap ditulis satu per satu dalam risalah ini, untuk menegaskan bahwa Imam Syafi'i, melalui qaul qadim, bukanlah satu-satunya orang yang menerbitkan fatwa itu. 

Ada sederet nama-nama lain dengan kapabilitas mumpuni yang memiliki gagasan serupa. Sayyid Bakri Syatho seolah ingin mengesankan hal itu kepada para pembaca. Soalnya, masyarakat awam, bahkan kaum santri sendiri, suka pesimistis terhadap qaul yang dianggap nyeleneh, lebih-lebih yang dikenali sebagai qaul qadim seperti kasus yang tersebut di atas.

=======
IDENTITAS KITAB:
Nama Kitab : Risalah Al-Jum'ah 
Penulis : Sayyid Abi Bakar bin Sayyid Muhammad Syatho
Tahun terbit : -
Tebal      : 15 halaman
Ukuran file : 3.42 MB
Link Download PDF: Risalah Al-Jum'ah
=======

Kitab-kitab referensi yang dijadikan rujukan risalah ini juga tak luput dari penyebutan. Total saya mencatat ada 16 kitab yang dicuplik Sayyid Bakri Syatho, antara lain Dhau'us Syam'ah fi Adadil Jum'ah karya As-Suyuthi dan Maniyyatu Ahlil Wara' fi Adadi Man Tashihhu Bihimul Juma' karangan Ahmad Al-Madani. 

Keduanya bergenre risalah fiqih yang menyajikan pembahasan eksklusif perihal shalat Jum'at. Sisanya adalah kitab-kitab yang mengupas studi fiqih secara komprehensif. Kita akan diajak untuk menilik kitab At-Talkhish, Al-Qut, Al-Anwar, Al-Ubab juga syarahnya, Al-I'ab, hingga Bughyatul Mustarsyidin. Termasuk karya prestisius penyadur Syarah Al-Muhadzdzab dan Syarah Shahih Muslim, Imam An-Nawawi.

Risalah ini cukup intens menyusuri dan merekam sejumlah pendapat fuqaha' berikut kitab dimana pendapat itu dituliskan. Adalah hal yang wajar, mengingat Sayyid Bakri Syatho menyusun risalah ini beberapa tahun pasca penulisan Hasyiyah I'anatuth Thalibin yang terkenal sarat akan bermacam fatwa ulama itu. Namun demikian, kadang ia juga mengungkap dalil yang menjadi pijakan hukum dari persoalan yang tengah diulas. 

Ini terjadi saat ia memetik hadis riwayat Ad-Daroquthni yang melandasi qaul qadim tentang bolehnya empat orang mendirikan shalat Jum'at. Rasulullah saw. bersabda, "shalat Jum'at adalah wajib (diadakan) pada tiap-tiap desa, sekalipun hanya ada empat orang saja". (hlm: 6-7). Hal itu meyakinkan kita bahwa fatwa yang dilansir para ulama itu tidak semata-mata dihasilkan melalui pikiran, melainkan juga ada dalil yang mendasarinya.

Cara lain yang ditempuh oleh Sayyid Bakri Syatho untuk menyampaikan hukum dalam risalah ini, adalah menampilkan tanya jawab tentang masalah terkait. Misal, pertanyaan yang diajukan kepada Al-Bulqini ihwal desa yang berpenduduk kurang dari 40 orang, demikian pula saat Sayyid Abdurrahman Bilfaqih ditanya perihal salah seorang dari 40 yang tidak mengenakan penutup aurat. (hlm: 5). Atau, kala Ibnu Hajar disodori persoalan mengenai desa yang menaungi desa lainnya. (hlm: 11). Penyampaian menggunakan cara semacam ini menarik. Sebab, dengan pertanyaan, pembaca akan diarahkan untuk mengantisipasi materi hukum yang akan dijelaskan.

Adapula pembahasan yang ditandai dengan kata faidah. Kata ini dimaksudkan untuk memberi aksentuasi lebih dalam pada persoalan yang hendak dibahas, biasanya persoalan-persoalan aktual. Contohnya fenomena menyangkut shalat Jum'at yang mana imam dan khatibnya adalah orang yang berbeda. (hlm: 9). Boleh? Tentu saja, meskipun ada syaratnya. Silakan Anda baca sendiri.

Menjelang halaman akhir, risalah yang rampung ditulis pada hari Kamis, 18 Syawal 1305 H. ini dipungkasi dengan lima faidah khusus berisi bacaan hari Jum'at. Sebagian dinukil dari sahabat Nabi, sebagian lainnya dari para ulama'. Ada yang berupa surat Al-Quran, ada pula yang berwujud doa, serta ada yang dalam bentuk syair. 

Disertakan juga khasiat (kegunaan) dari bacaan-bacaan tersebut. Semisal dua bait syair yang dikatakan Sayyid As-Sya'rani mampu membuat siapa saja meninggal dalam keadaan beragama Islam (husnul khatimah) apabila rutin dibaca seusai shalat Jum'at. (hlm. 14). Dua bait itu ialah:

إلهي لست للفردوس أهلا * ولا أقوى على نار الجحيم
فهب لي توبة واغفر ذنوبي * فإنك غافر الذنب العظيم

Dalam segi tampilan, risalah yang hanya memuat 15 halaman ini tergolong masing tradisional: dicetak di atas kertas berwarna kuning; tidak ada tanda baca maupun harakat; serta tidak berjilid (dijahit). Dan, yang sangat disesalkan, cover sebagai petunjuk identitas pun tidak ada di bagian terdepannya. Barangkali benar kata pepatah, don't judge a book by the cover. Alih-alih menilai dari sampulnya, risalah ini bahkan tidak bersampul.

Meski begitu, konten yang disajikan amatlah berbobot. Memuat masalah-masalah faktual yang kerap dijumpai di masyarakat. Data-data yang luas dan akurat, serta bahasa yang mudah dimengerti pun menjadikan risalah tipis ini kian menarik dan layak kaji. Atas fakta-fakta itu, saya kira tidak berlebihan jika ia ditahbiskan sebagai bacaan wajib.

Namun sayangnya, risalah ini kurang begitu populer. Tak hanya di kalangan masyarakat awam, tapi juga di lingkungan pesantren dan madrasah diniyah. Tidak banyak memang lembaga pendidikan agama yang memasukkan kitab jenis risalah ke dalam kurikulumnya. Kalaupun ada, paling-paling risalah tentang faraidl atau haidl dan istihadlah yang urgensinya dinilai lebih merata. 

Adapun risalah mengenai masalah-masalah yang lain, jarang sekali terdaftar, tidak terkecuali Risalah Jum'at ini. Tak heran jika buah pikiran awal Imam Syafi'i tentang bilangan jamaah shalat Jum'at itu belum begitu familiar di telinga para pengikutnya.

Alhasil, risalah ini memperlihatkan kepiawaian seorang Sayyid Bakri Syatho mengurai sejumlah problem seputar shalat Jum'at yang kerap ramai dibicarakan. Kompilasi qaul-qaul fuqaha' lintas batas disuguhkan secara prasmanan untuk kita nikmati bersama, sebagai sebuah pilihan dan penambah wawasan. 

Sayyid yang juga merupakan guru dari pendiri organisasi Islam Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan itu berupaya menyampaikan pandangan-pandangan tersebut sebagai sarana mengampanyekan qaul qadim yang acap dipukul rata sebagai fatwa yang kedaluarsa, padahal beberapa masih cukup kompeten dan relevan untuk diterapkan. [dutaislam.or.id/ab]

Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.

Mohamad Mansur, Santri Riyadlus Sholihin Al-Islamy Gunungpati, Semarang

Iklan