Iklan

Iklan

,

Iklan

Keadilan Gender dalam Kitab Al-Mar'ah fil Qur'an (PDF)

12 Sep 2020, 18:25 WIB Ter-Updated 2024-09-19T00:50:44Z
Download Ngaji Gus Baha
download kitab al-marah filquran mutawalli syarawi
Cover Kitab Al-Mar'ah fil Qur'an PDF. Foto: dutaislam.or.id.

Oleh A. Reza Fahlepi

Dutaislam.or.id - Islam merupakan agama yang membawa prinsip egalitarian, baik dalam permasalahan sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Di dalam ajaran Islam, semua orang diperlakukan sama tanpa membedakan ras, suku, bangsa, adat, atau bahkan genital (jenis kelamin). Itu sebabnya segala bentuk diskriminasi dalam Islam tidaklah dibenarkan, karena yang membedakan kualitas seseorang hanya terletak pada masalah keimanannnya.

Namun, ada sebagian anggapan yang mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang sarat dengan nilai-nilai ketidak-adilan dalam masyarakat, termasuk di dalamnya ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan yang kini biasa kita sebut dengan bias gender. Masalah ini masih menjadi isu yang selalu hangat diperbincangkan, terutama dikalangan para aktivis HAM maupun para aktivis yang konsen di bidang kesetaraan gender.

Rupanya tuduhan yang menganggap Islam sebagai ajaran yang mengajarkan tindakan diskriminasi terhadap kaum perempuan mendapat respon dari berbagai kalangan ulama, salah satunya dari Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi dengan kitabnya yang berjudul Al-Mar’ah fil Qur’an.

Kitab ini membahas seputar permasalahan poligami, pembagian waris satu berbanding dua, masalah persaksian wanita di persidangan, milkul yamin, hijab dan niqab, serta isu-isu gender lainnya. Nampaknya kitab ini memang dikarang dengan tujuan untuk menjawab tuduhan-tuduhan miring terhadap isi pokok Al-Quran yang teksnya seakan memarginalkan dan menempatkan kaum perempuan menjadi second class setelah lelaki.

Dalam kitabnya ini, Syaikh Sya’rawi berpendapat bahwa sangatlah tidak mendasar jika ajaran Al-Qur'an dituduh sarat dengan ajaran diskriminatif gender. Justru sebaliknya, Al-Qur'an hadir untuk mengangkat derajat kaum perempuan ke tingkat yang lebih tinggi. Ia membandingkan bagaimana kehidupan kaum wanita sebelum turunnya Al-Qur’an di berbagai undang-undang (qanun) yang pernah ada di masa lalu, seperti Undang-undang Yunani, Romawi, Yahudi, bahkan hingga Cina.

Berdasarkan catatan undang-undang yang pernah ada di masa lalu, Syaikh Sya'rawi menjelaskan bahwa status harga diri kaum perempuan di masa lalu, dianggap sama seperti barang dagangan yang dimana status kepemilikannya berada di kekuasaan ayah atau saudara lelakinya. Jika sudah menikah, ia berada di kekuasaan suaminya.

Wanita dianggap seperti anak kecil atau bahkan orang gila yang tidak memiliki kecakapan hukum dan kebebasan bertindak. Ayah atau suaminya memiliki hak untuk melakukan penyiksaan hingga pembunuhan. Dalam syariat kaum Yahudi, wanita tidak memiliki hak waris, justru sebaliknya ia menjadi objek waris yang layak diperebutkan oleh ahli waris lainnya (hlm: 11-12).

Tuduhan Diskriminasi
Poligami termasuk masalah yang dibahas di dalam kitab ini. Syaikh Sya’rawi menjelaskan bahwa ayat yang berbunyi “fankihu maa thooba lakum minan nisa'i matsna wa tsulasa wa ruba'a” (QS. An-Nisa': 3) bukan berarti perintah kewajiban poligami, melainkan hanya bersifat untuk menunjukkan suatu kebolehan (mubah).

Sedangkah mubah sangat berbeda dengan wajib. Ia juga mengutip sebuah kaidah ushuliyah untuk mendasari argumentasinya dengan kaidah yang berbunyi "Al-Ashlu fit tasyri' huwa al-ibahah wa laisa al-wujub". (hukum asal di dalam syariat adalah boleh, bukan wajib) (hlm: 38).

Selain argumentasi dengan pendekatan kaidah ushuliyah, Syaikh Sya’rawi --yang notabenenya bukan merupakan ulama' penentang syari'at poligami tetapi tidak pula mewajibkannya,-- juga menggunakan pendekatan analogis yang unik untuk mendasari bolehnya poligami.

Ia mengumpamakan bahwa hampir semua makhluk yang memiliki genital perempuan selalu jauh lebih banyak dari pada pejantan. Ia mencontohkan ayam betina di suatu peternakan jumlahnya selalu lebih banyak dari ayam jantan. Bahkan seandainya seseorang menanam seratus bibit kurma, maka hampir bisa dipastikan bibit kurma yang lebih banyak tumbuh adalah bibit kurma perempuan (hlm: 41).

Seolah dengan analogi di atas, Syaikh Sya’rawi ingin berkata bahwa hikmah dari adanya poligami agar perempuan yang saat ini jumlahnya jauh lebih banyak dari lelaki mendapat kesempatan yang sama besarnya untuk dapat menikah. Rasanya memang agak sulit dibayangkan jika poligami dilarang, maka kepada siapa perempuan yang jumlahnya lebih banyak ini dapat menikah. Sehingga adanya kebolehan untuk poligami agar kaum perempuan mendapatkan pernikahan yang legal serta secara otomatis menutup peluang perzinaan.

=======
IDENTITAS KITAB:
Nama Kitab : Al-Mar’ah Fi Al-Qur'an
Penulis : Muhammad Mutawalli Sya’rawi
Tahqiq : -
Penerbit : Maktabah Al-Sya'rawi Al-Islamiyah
Tebal : 134 Halaman
Size : 3 MB
Link Download PDF: Al-Mar’ah Fi Al-Qur'an
=======

Selain poligami, Syaikh Sya’rawi juga menanggapi masalah warisan perempuan yang mendapat bagian setengah dari lelaki. Menurutnya bagian setengah untuk perempuan karena memang perempuan tidak memiliki tanggungan kecuali dirinya sendiri, sedangkan lelaki yang mendapat dua kali lipat dari bagian perempuan, karena pada dasarnya lelaki dibebankan untuk menanggung hidup seorang perempuan yang ada di dalam keluarganya.

Anak perempuan menjadi tanggungan ayahnya, jika ayahnya meninggal, maka pamannya harus menanggungnya, selanjutnya jika perempuan itu telah menikah, maka suaminya bertanggung jawab atas hidupnya (hlm:  82).

Selanjutnya, Syaikh Sya'rawi juga menggunakan nalar logikanya kembali untuk membuktikan keadilan bagian waris antara perempuan dengan lelaki. Ia mencontohkan, "jika aku memiliki satu anak perempuan dan satu anak lelaki, kemudian anda juga memiliki satu anak perempuan dan satu anak laki-laki. Maka masing-masing anak perempuan mendapat 1/3 waris dan masing-masing anak lelaki mendapat 2/3 waris, bayangkan jika mereka keduanya saling menikah, maka ia akan mendapat bagian yang sama" (hlm: 83).

Masalah menarik lainnya adalah persaksian wanita. Sebagaimana diketahui, ketika seseorang berperkara, maka ia diharuskan untuk mendatangkan saksi sebanyak dua orang lelaki. Namun jika tidak didapati lelaki keduanya, maka boleh satu orang lelaki ditambah dengan dua orang perempuan. Hal ini didasari dengan ayat Al-Qur'an dalam surat Al-Baqarah ayat 282.

Kemudian yang menjadi pertanyaan besar di sebagian kalangan; Apakah persaksian seorang perempuan yang bergelar magister atau bahkan doktor tetap tidak sebanding dengan persaksian lelaki meskipun adanya lelaki itu tidak terlalu pandai (ummi)?

Bagi pandangan orang awam, akan mudah menganggap bahwa Al-Qur'an mengajarkan diskriminasi terhadap kaum perempuan terkait masalah persaksian ini, padahal menurut Syaikh Sya’rawi, tidak ada kaitan sama sekali antara persaksian dengan masalah kecerdasan intelektual seseorang, sebab yang dituntut dari adanya kesaksian adalah kecerdasan emosional, bukan intelektual.

Ia berpandangan bahwa kata "syahadah" yang berarti persaksian, diambil dari kata "masyhad" yang berarti sesuatu yang dilihat oleh kedua mata pada saat kejadian berlangsung. Jadi yang diperlukan dalam persaksian, utamanya bukan faktor kecerdasan, melainkan kesanggupan untuk berbicara jujur menyampaikan apa yang dilihat. (hlm: 91)

Syaikh Sya'rawi melanjutkan, umumnya karakteristik perempuan itu cenderung bersifat introvert (tertutup) dan bersifat lemah untuk dapat menjaga dirinya sendiri, justru yang lebih dominan muncul adalah sifat kelembutan dan penyayangnya, sehingga dikhawatirkan akan menyulitkan jika ia dihadirkan sebagai seorang saksi. Namun di balik sifat perempuan yang cenderung tertutup dan lemah, karakteristik lembut dan penyayang yang ada dalam pribadi seorang perempuan memiliki hikmah yang besar, yakni sebagai penyeimbang (balancing) dari sifat lelaki dalam relasi sosial di masyarakatnya (hlm: 92).

Rasionalitas Argumentasi
Dalam Kitab Al-Mar'ah fil Qur'an, Syaikh Sya’rawi lebih banyak menggunakan hujjah aqliyah (argumentasi rasional) sebagai upaya mengcounter tuduhan miring atas ajaran Al-Qur’an yang dianggap diskriminatif.

Ini semua bisa saja disebabkan karena tuduhan miring tersebut banyak dilayangkan oleh para aktivis HAM yang kebanyakan tidak mengerti dan memahami Al-Qur'an. Selain itu, keunggulan menepis suatu anggapan yang salah dengan menampilkan argumentasi yang bersifat rasional dapat jauh lebih mudah dipahami dan jauh lebih cepat diterima oleh khalayak umum.

Namun terkadang, ada sisi kelemahan dari hujjah aqliyah ini, terlebih lagi jika hal itu dimaksudkan untuk menyingkap maksud tersirat dari satu ayat Al-Qur’an. Misalnya, Syaikh Sya'rawi menganggap bahwa laki-laki mendapat bagian lebih banyak dalam harta waris daripada perempuan dikarenakan kaum lelaki menanggung kehidupan kaum perempuan yang ada dalam keluarganya.

Hal ini jika ditarik kedalam konteks sosial saat ini, dimana tidak jarang perempuan menjadi tulang punggung bagi keluarganya, rasanya sistem pembagian waris satu berbanding dua akan sulit untuk diterima, terlebih lagi jika ia pernah membiayai kebutuhan hidup adik lelakinya.

Oleh karena itu, sepertinya cukup menarik jika kita coba membandingkan dengan nalar kritis yang ditawarkan oleh Amina Wadud. Berdasarkan pendapat Fazlul Rahman salah seorang pemikir Islam modernis asal Pakistan, Wadud mencoba menawarkan gagasan kritik sosio-historis untuk dapat memahami ayat-ayat Al-Qur'an yang dianggap mengandung bias gender. Misalnya Wadud beranggapan bahwa jumlah dua orang wanita untuk menjadi saksi tidak bisa dilepaskan dari konteks sosio-historis saat Al-Qur'an diturunkan.

Pada saat ayat tentang persaksian dua orang wanita turun, keadaan kaum perempuan saat itu belum memiliki banyak pengalaman untuk menjadi saksi. Selain itu, sering terjadi pemaksaan terhadap kaum perempuan yang menyebabkan mereka sulit mendapat legitimasi dari masyarakat untuk menjadi saksi. Untuk itu dibutuhkanlah dua orang perempuan yang setara dengan satu saksi lelaki.

Menurut Amina Wadud, satu orang perempuan dalam persaksian mendapat fungsi ganda, yakni selain sebagai saksi ia juga berfungsi sebagai corrector atau bahkan penguat jika salah seorang saksi wanita lainnya dipaksakan untuk memberikan kesaksian palsu.

Wadud meyakini, pada intinya Al-Qur'an sama sekali tidak menafikan potensi kesaksian dari seorang perempuan, terlebih di zaman sekarang ini, dimana potensi persaksian satu orang wanita ketika ia diyakini memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, serta keberanian seharusnya dapat diterima tanpa bermaksud mengesampingkan ayat tentang menghadirkan dua orang perempuan dalam persaksian.

Terlepas dari itu semua, apa yang dilakukan oleh Syaikh Sya'rawi merupakan hal yang luar biasa, karena tidak banyak karya yang membicarakan secara khusus tentang permasalahan relasi wanita dalam pergaulan sosial sebagaimana Kitab Al-Mar'ah fil Qur'an. Karyanya ini masih layak untuk dijadikan bahan diskusi yang menarik, mengingat permasalahan bias gender masih selalu relevan dikaji dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, politik, bahkan budaya. [dutaislam.or.id/ab

Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Priode II tahun 2020, kerjasama dengan Unisnu Jepara dan Duta Islam.

A. Reza Fahlepi, tinggal di Benda, Kota Tangerang

Iklan