Cover Kitab Tuhfatul Labib Syarah Taqrib PDF. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Najih Syahrul Ichwan
Dutaislam.or.id - Ada banyak sekali kitab fiqih. Jumlahnya mungkin lebih dari ratusan ribu. Sebagai fan ilmu yang berada dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari, seringkali fiqih jadi primadona para sarjana muslim. Dari hanya dikaji menjadi diperbarui dengan bermacam tipe kepenulisan.
Saya juga tertarik fiqih. Disaat proses "mencari gratisan kitab itu", tiba-tiba saya agak tersentak ketika mendapati salah seorang ahli hadist Ibnu Daqiqil Aid memberi syarah terhadap Kitab Taqrib yang ber-fan fiqih bergaya matan (kesimpulan fiqih ringkas yang sistematis).
Kitab beliau berjudul Tuhfatul Labib fi Syarhi At-Taqrib. Tidak terlalu tebal. Hanya berkisar 508 hal. Itupun karena banyak sekali catatan kaki dari penahqiq (orang yang memberi catatan-catatan pada suatu kitab).
Ibnu Daqiqil Aid pertama saya kenal di syarah beliau terhadap Kitab Arba'in Nawawi. Bahasa beliau sangat mudah dipahami (simple), tidak banyak bertele-tele dan memiliki kemampuan menjelaskan logika hadist-hadist dalam Kitab Arba'in.
Kemampuan itu bagi saya cukup menarik jika kemudian beliau menggunakannya terhadap kitab legend pesantren itu, Taqrib, yang syarihnya (orang yang menulis keterangan tambahan dari kitab-kitab ringkas atau tebal) banyak itu. "Mungkin beliau mensyarahinya dengan metode kajian hadist," dalam hati saya.
Ketika saya membukanya ternyata benar, syarah beliau terhadap Kitab Taqrib sangat bernuansa hadist. Sesuatu yang jarang bisa kita temukan dari pensyarah Kitab Taqrib lain yang biasanya hanya menjelaskan maksud dari suatu kata dengan lebih luas dan detail.
Contoh seperti dalam penjelasan kesucian rambut anak Adam (manusia). Di saat rambut-rambut hewan yang mati menjadi bangkai dan najis, kenapa rambut manusia suci? Beliau menjawab dengan riwayat dimana Ibnu Abbas pernah mengambil beberapa rambut Rasulullah Saw. kemudian membagikannya ke para sahabat. Jika najis, tentu beliau akan membuangnya (hlm: 36).
Contoh lagi, kenapa kita dianjurkan beristinja' dengan dua langkah; batu, kemudian air. Bukankan dengan air saja sudah cukup? Beliau kemudian menjawabnya dengan sebuah riwayat Nabi Saw., yang sedang berdiskusi dengan ahli baqa'. Yang mereka diskusikan saat itu adalah ayat Al-Qur'an:
فيه رجال يحبون ان يتطهروا والله يحب المتطهرين
Artinya:
"Didalamnya ada laki laki yang senang bersuci. Dan Allah menyukai orang-orang yang senang bersuci."
Mendengar ayat ini, para ahli baqa' bertanya, "sesuci seperti apa yang membuat Allah memuji?". Jawab Nabi, "kita mengikutkan batu dengan air". (hlm: 48).
Keterangan komprehensif versi riwayat biasanya hanya bisa kita temukan di kitab fiqih-fiqih yang besar. Seperti Hasyiyyah Bajuri atau I'anatut Thalibin. Atau di kitab yang agak kecil seperti Kifayatul Ahyar. Namun di dalamnya terdapat banyak keterangan tambahan yang tidak fokus pada pembahasan hadist dan logika hadist. Berbeda dengan kitab Ibnu Daqiq ini, yang selalu menjelaskan riwayat hadist beserta alasan mengapa hal itu terjadi.
=======
IDENTITAS KITAB:
Nama Kitab : Tuhfatul Labib fi Syarh At-Taqrib
Penulis : Ibnu Daqiqil Aid
Muhaqiq : Shabri bin Salamah Syahin
Penerbit : Dar Athlas
Tebal : 506 halaman
Ukuran file : 9.62 MB
Link Download PDF: Tuhfatul Labib
=======
Kitab ini saya pikir perlu kita kaji. Selain mudah dikaji karena kemampuan Ibnu Daqiq yang simple namun mengena, --juga karena dari pengamatan saya, mayoritas santri tidak banyak yang mengetahui hubungan antara fiqih dan riwayat-riwayat hadist dan bahkan nash Al-Qur'an. Alasannya, Hadist dan Al-Qur'an terlalu sukar dan sakral untuk dipahami. Yang sudah jadi itulah yang lebih aman.
Kita tidak bisa menutup diri bahwa masyarakat sekarang punya kondisi yang agak berbeda dengan zaman dulu. Ada pergeseran dari yang dulu tunduk patuh terhadap yang lebih mengerti (ahli), kiai dan ustadz, selalu berkata "nanti dulu, alasanya apa dulu." Alasan yang dimaksud adalah, nashnya apa? Hadistnya apa? "Bukankah sumber yang terkuat dan terpercaya adalah Al-Qur'an dan Hadist?" Kata mereka.
Dari kasus yang biasa digaungkan muslim kota itu, jika disampaikan tidak sesuai standar mereka yang kehadist-hadistsan, pernyataan yang benar dan tepat pun akan mereka tolak mentah-mentah. Di kota, santri-santri yang bahkan dikenal alim pun kadang 'gagap' menghadapi mereka. Karena yang diminta adalah hadist atau nash, bukan fiqih.
Oleh karena itu, kitab Ibnu Daqiqil Aid ini bisa menjadi jembatan yang tepat bagi pemula untuk memahami fiqih versi kehadist-hadistsan. Bahasa beliau singkat dan mudah sekali dipahami. Kita akan familiar dengan pembahasannya karena yang dijelaskan adalah Matan Taqrib yang sangat dekat dengan pesantren.
Namun dengan jumlah halaman 500an, tentu kitab ini tidak bisa memasukkan segala hal. Ada sesuatu yang perlu dikorbankan di dalamnya. Memang benar, pembahasan hadist di dalam kitab sungguh luar biasa hebat. Tapi jika kita mencari detail fiqih karena mendapati soal-soal fiqih yang agak tidak umum, kita tidak akan menemukannya di kitab ini. Walaupun di dalamnya juga disertai banyak keterangan tambahan, namun tetap saja, keterangan itu tidak bisa menandingi penjelas dari kitab-kitab seperti I'anatut Thalibin atau Bajuri yang mendetail hingga keterangan Nahwu-Sharafnya itu.
Sebagai contoh lain, di bab wudlu' ada banyak penjelasan dari kitab Ibnu Daqiqil Aid dari riwayat Nabi, tentang kewajiban tartib berwudlu'. Beliau menjelaskan, alasan kitab matan fiqih mewajibkan tartib wudlu' berdasar ucapan Nabi Saw., "mulailah kamu seperti bagaimana Allah memulainya". Dan kita tahu, dalam Al-Qur'an, Allah Swt. memulai perintah membasuh wajah kemudian tangan dan seterusnya (hlm: 43).
Contoh lainnya pada keterangan sunnahnya tidak memasukkan tangan terlebih dahulu ke dalam wadah air. Ibnu Daqiqil Aid menceritakan pernyataan Nabi Saw., yang artinya, "jika salah satu dari kamu bangun dari tidur jangan masukkan tanganmu ke tempat air sampai kamu membasuhnya tiga kali. Karena kamu tidak tahu ketika malam kemana saja tanganmu itu" (hlm: 43).
Namun ada banyak keterangan yang terlewat jika kita membandingkannya dengan kitab detail lain. Semisal tentang keharusan membuang segala bentuk 'ha'il' (penghalang) antara air dan kulit. Jika saja ada penghalang maka wudlu' bisa tidak sah, sebagaimana di kitab matan fiqih secara umum.
Keterangan ini penting karena bisa membuat wudlu' kita tidak sah. Dari keterangan 'ha'il' itu pula, kita memiliki kesadaran memotong kuku dan membersihkan cat-cat ditangan agar air tidak terhambat olehnya.
Melihat contoh kasus di atas, penulis tidak bermaksud merendahkan kitab beliau dengan mengatakannya kurang lengkap. Ada ruang yang memang dituju oleh Ibnu Daqiqil Aid, yaitu pengayaan riwayat hadist dan nash yang bisa kita pahami secara komperhensif dalam dalil-dalil parktik amaliyah fiqih. Ia harus 'tega' mengorbankan detail-detail fiqih yang sudah dijelaskan kitab lain.
Sebaliknya, di kitab lain mungkin sudah ada penjelasan yang lebih lengkap daripada Kitab Ibnu Daqiqil Aid dalam menjawab masalah-masalah fiqih sampai yang 'gharib' (aneh/unik) walau tidak sesimple Ibnu Dadidil Aid dalam penjelasan hadist yang hanya membutuhkan 500an halaman saja.
Silahkan mempelajari kitab ini namun tidak pula meninggalkan kitab-titab sebelumnya yang lebih detai. Gaya ini adalah gaya kiai-kiai kita yang selalu,
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الاصلح
Menjaga yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru, yang lebih baik, untuk masyarakat yang agak 'ngeyel' tanya hadistnya mana, Qur'an mana? [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.
Najih Syahrul Ichwan, tinggal di Jepara, Jawa Tengah