Cover Kitab Syarhul Qowim PDF. Foto: dutaislam.or.id. |
Oleh Muhammad Rifqi Ali
Dutaislam.or.id - Barangsiapa mengetahui sifat-sifat wajib, ja'iz, dan mustahil bagi-Nya, sesungguhnya dia telah mengenal-Nya dan telah melaksanakan apa yang Allah wajibkan kepadanya. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mengetahui sifat-sifat tersebut, lalu ia beribadah kepada selain Allah dan kepada sesuatu yang bukan bagian dari sifat-sifat-Nya, berarti yang ia sembah bukanlah Allah Yang Maha Esa, melainkan sesuatu lain yang ia anggap sebagai 'tuhan'.
Begitu pula orang yang tidak mengetahui apa yang wajib, ja'iz dan mustahil bagi Rasul-Nya lalu menyandarkan kepadanya sifat-sifat yang tidak layak baginya dan menyifatinya dengan sifat-sifat yang kontradiktif dengan sifat-sifat aslinya, ia dianggap telah terjatuh dalam jurang kebinasaan. Tidak berguna baginya keyakinan hati terhadap keberadaan Sang Maha Pencipta apabila disertai dengan pendustaan terhadap para Nabi-Nya. Mengapa? Karena mendustakan Rasulullah Saw. berarti pendustaan pula terhadap Tuhan yang mengutusnya.
Oleh karenanya, mengenal Allah dan Rasul-Nya sebagaimana mestinya, menempati posisi yang paling utama dalam Islam dan tidak mengenal keduanya akan berakibat pada kebinasaan. Maka Kitab Syarhul Qowim fi Halli Alfadzi Shirotil Mustaqim tampil sebagai penjelas dasar-dasar agama yang apabila kita yakini dengan sepenuhnya, akan mengantarkan kita pada jalan yang lurus dan benar menuju akhirat kelak.
Kitab yang dicetak dan diterbitkan pada tahun 1425 H ini terbilang kontemporer, karena penulisnya sendiri termasuk ulama masa kini, yaitu Syaikh Abdullah Al-Harari Al-Habasyi (1328-1429 H). Kitab yang isinya bernuansa ideologi ahlussunnah waljama'ah dengan teks bahasa Arab ini begitu ringan dan mudah dipahami bagi para pembaca.
Pada awal kitab penulis mengajak kita menjelajah pengenalan lebih luas perihal makna dua kalimat syahadat sifat-sifat Allah yang tiga belas, dimana telah menjadi suatu keharusan bagi setiap mukallaf mengetahui dan menghapalnya, seperti yang telah dikatakan para ulama muta'akhkhirin dalam kitab-kitabnya.
Pembahasan kedua, penulis menjelaskan ayat-ayat muhkamat (ayat yang sudah jelas diketahui maknanya) dan mutasyabihat (belum jelas maknanya), yang masih perlu dita'wil (reinterpretasi) kembali, agar tidak disalahpahami maknanya. Terakhir, Syarhul Qowim mengulas perkara ghaib dimana setiap kaum muslimin harus meyakini keberadaannya, sebelum ditutup dengan permasalahan polemik kekinian yang masih hangat diperdebatkan dan berkelanjutan.
Hampir Penghujung penutupan kitab, penulis menuturkan perdebatan antara golongan Sunni dan Wahabi tentang hukum bertawasul kepada para Nabi dan para Wali Allah, apakah diperbolehkan ataukah termasuk kategori syirik? Sebelum masuk ke pemaparan lebih jauh, saya akan jelaskan arti tawasul.
Kitab Syarhul Qowim fi Halli Alfadzi Shirotil Mustaqim sudah menjelaskan begitu komprehensif bahwa maksud dari bertawasul secara terminologi adalah mengharapkan tercapainya suatu manfaat dan tertolaknya marabahaya dengan perantara menyebutkan nama para Nabi atau para Wali Allah sebagai pemuliaan atau penghormatan kepada mereka (yang ingin ditawasuli) (hlm: 427). Seperti yang sudah disebutkan dalam Al-Qur'an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan". (QS. Al-Ma''idah: 35)
Dengan begitu, penulis menyimpulkan bahwa tidak ada dalil hakiki yang menunjukkan tidak diperbolehkannya bertawasul dengan para Nabi dan para Wali Allah, baik saat tidak hadirnya mereka maupun setelah mereka meninggal, dengan dalih bahwa hal itu dianggap sebagai ibadah kepada selain Allah Swt.
Tawassul hanya sekedar memanggil orang yang hidup atau orang yang sudah meninggal, sekedar mengagungkan, sekedar meminta pertolongan, sekedar menuju kuburan seorang Wali untuk mencari berkah, sekedar meminta sesuatu yang tidak biasanya terjadi di antara manusia atau sekedar mengucapkan kalimat minta tolong. Semua ini bukanlah perbuatan syirik.
=======
IDENTITAS KITAB:
Nama Kitab : Syarhul Qowim fi Halli Alfadzi Shiratil Mustaqim
Penulis : Syaikh Abdullah Al-Harari Al-Habasyi
Tahqiq : -
Penerbit : Dar Al-Masyari'
Tahun terbit : 2004
Tebal : 486 Halaman
Size : 56.9 MB
Link Download PDF : Kitab Syarhul Qowim
=======
Substansi makna ibadah tidak ada dalam praktik tawassul dengan gambaran di atas. Menurut para ulama, ibadah adalah at-tha'atu ma'al khudlu' (ketaatan yang disertai dengan ketundukan). Definisi yang serupa dikatakan oleh Al-Farra' sebagaimana yang telah disebutkan dalam Kitab Lisanul Arab.
Sebagian ahli bahasa lain mengatakan, ibadah adalah aqsha ghayatil khusyu' wal khudlu' (puncak tertinggi kepatuhan dan ketundukan). Sebagian lainnya menyatakan, ibadah adalah nihayatut tadzallul (puncak perendahan diri). Menurut para pakar Bahasa Arab, definisi inilah yang benar secara bahasa dan kebiasaan umumnya orang, seperti yang telah dijelaskan dalam Kitab Syarh Al-Qomus (Murtadla az-Zabidiyy).
Kalau hanya sekedar perendahan diri saja (yang tidak sampai puncaknya), bukanlah termasuk beribadah kepada selain Allah Swt. Dan jika yang dimaksud tidak demikian (perendahan diri dianggap ibadah selain Allah), maka sudah pasti menjadi kafir lah setiap orang yang merendahkan diri kepada para raja dan pembesarnya. Padahal sudah dijelaskan riwayat secara tsabit (eksplisit) bahwa sahabat Mu'adz bin Jabal ra., ketika datang dari Syam, ia bersujud kepada Rasulullah Saw.
Lalu Rasulullah Saw bertanya, apa yang kau lakukan ini? Mu'adz pun menjawab: wahai Rasulullah Saw., aku melihat penduduk Syam bersujud kepada panglima mereka serta uskup-uskup mereka, dan engkau lebih layak menerima sujud itu. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
لا تفعل لو كنت ءامر أحدا ان يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها
Artinya:
"Janganlah kau lakukan itu. Seandainya aku memerintahkan seseorang agar bersujud kepada orang lain, maka aku perintahkan pula seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya". (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Majah, dll).
Dalam hadits ini, Rasulullah Saw. tidak mengatakan kepada Mu'adz: engkau telah kafir atau engkau telah musyrik, padahal sujudnya Mu'adz kepada Rasulullah Saw. adalah salah satu bentuk perendahan diri yang besar (hlm: 426-427).
Mereka yang mengafirkan seseorang karena ia menuju makam Rasulullah Saw., makam para Nabi yang lain atau makam para waliyyullah --untuk mencari berkah (tabarruk), jelas salah dan tidak mengetahui makna ibadah secara komprehensif. Mereka menyalahi apa yang telah disepakati kaum muslimin dari generasi salaf (awal) maupun khalaf (akhir), dimana mereka terus berziarah ke makam Rasulullah Saw. untuk mencari berkah.
Berziarah ke Rasulullah Saw. untuk mencari berkah bukan berarti Rasulullah yang menciptakan keberkahan bagi mereka. Hakikatnya, para peziarah itu berharap agar Allah Swt. menciptakan keberkahan bagi mereka (hlm: 429).
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda:
والله لو أني عنده لأريتكم قبره الى جنب الطريق عند كثيب الأحمر
Artinya:
"Demi Allah, jika aku berada di dekat kuburan nabi Musa as, niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan dekat perbukitan yang bertanah merah (al-katsib al-ahmar)". (HR. Bukhari dan Muslim).
Al-Hafidz Waliyuddin Al-Iraqi menjadikan hadits di atas sebagai dalil sunnahnya mengetahui kuburan orang-orang yang shalih untuk tujuan berziarah ke sana (kelak, suatu hari) dan memenuhi hak-haknya (hlm: 430).
Imam Ahmad dalam Kitab Al-Musnad dengan sanad yang hasan (bagus), sebagaimana ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibn Hajar, meriwayatkan sebuah hadits yang panjang. Sebagian isinya menjelaskan bahwa Al-Harits bin Hassan Al-Bakri berkata kepada Rasulullah Saw:
أعوذ بالله ورسوله أن أكون كوافد عاد
Artinya:
"Aku berlindung kepada Allah dan Rasul-nya agar tidak menjadi seperti utusan 'Ad (utusan yang justru menghancurkan kaum yang mengutusnya)". (HR. Ahmad).
Hadits di atas adalah dalil pematah golongan wahhabiyah yang menuduh syiriknya isti'adzah (memohon perlindungan) kepada selain Allah (hlm: 434).
Selain mengulas hukum bertawassul, penulis juga menuturkan tatacara bertawasul kepada para Nabi dan para waliyullah, dengan bacaan doa sebagai berikut:
اللهم اني أسألك بجاه رسول الله وبجاه عبد القادر الجيلاني أن تقضي حاجتي وتفرج كربي
Artinya:
"Ya Allah, aku meminta pertolonganmu dengan berwasilah terhadap kehormatan atau kemuliaan Rasulullah Saw. dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani agar Engkau memenuhi (mengabulkan) kebutuhanku dan menghilangkan kesusahanku".
Tertolaklah pendapat golongan wahabiyah yang menyatakan haramnya tawassul. Pendapat mereka ini dianggap menyimpang karena tidak ada bukti kuat yang menyatakan keharaman tersebut, baik dalam nash Al-Qur'an maupun As-Sunnah (hlm. 427).
Kitab yang dikarang oleh ulama Lebanon ini cukup unik dan langka (nadir), karena dalam penulisan antara matan dan syarahnya sendiri memang sengaja dipisah agar pembaca bisa membedakan dan lebih mudah mengkajinya. Beda dengan kitab-kitab klasik lainnya yang langsung dijadikan satu. Hal ini menunjukkan bahwa kitab ini recommended sekali bagi para pemula yang ingin mengenal lebih luas tentang ilmu aqidah ahlussunnah waljamaah.
Sayangnya, kitab ini belum banyak tersebar luas di Indonesia. Hanya ada sebagian pesantren yang sudah mengkajinya, yaitu di Pondok Pesantren Syahamah (cabang pesantren Lebanon di Indonesia, didirikan murid penulis kitab), Margoyoso, Pati (Putri) dan Sidodadi, Singowangi, Kutorejo, Mojokerto, Jawa Timur (Putra). [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.
Muhammad Rifqi Ali, Pelajar Ma'had Aly Maslakul Huda Kajen, Pati