Iklan

Iklan

,

Iklan

Minhajul Arifin (PDF), Kitab Praktis Mengenal Allah Swt

6 Sep 2020, 12:27 WIB Ter-Updated 2024-09-19T00:50:18Z
Download Ngaji Gus Baha
minhajul arifin pdf download karya imam ghazali
Cover Kitab Minhajul Arifin PDF. Foto: dutaislam.or.id.

Oleh Mohamad Mansur

Dutaislam.or.id - Maraknya pengikut tarekat di kalangan masyarakat urban yang kegiatannya kerap kali diisi dengan dzikir, mujahadat dan amalan-amalan sunah lainnya telah menimbulkan kesan pada sebagian kaum awam bahwa ajaran tasawuf hanya dapat diamalkan melalui praktik-praktik tersebut. Bahkan, tidak sedikit yang beranggapan bahwa untuk menerapkan ajaran tasawuf, seseorang harus menjadi penghayat tarekat lebih dahulu. Ditambah lagi, fenomena hijrah yang terus merebak di lingkungan muslim perkotaan, kian memperkuat anggapan tersebut.

Memang betul, terdapat banyak kitab tasawuf yang menerangkan bahwa seseorang yang ingin membersihkan hati dan mengenal Allah —biasanya diistilahkan dengan "murid"— mesti melakukan riadlat (latihan) fisik yang berulang-ulang sebagaimana yang lazim diajarkan dalam tarekat, seperti membaca wirid dalam jumlah tertentu; memantang beraneka jenis makanan; dan sebagainya. Tetapi, hal itu bukanlah satu-satunya cara. Sebab, pada dasarnya, tasawuf menitikberatkan ajarannya pada jiwa dan hati manusia. Adapun riyadlat berperan sebagai penunjang saja. Dengan kata lain, tasawuf tidak selalu harus dengan riyadlat ataupun tarekat, bisa juga ditempuh melalui jalur lainnya.

Salah satu kitab yang menjelaskan tasawuf tidak melulu soal riyadlat dan tarekat adalah Minhajul Arifin yang ditulis oleh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi (w. 505 H.), populer dengan nama Imam Al-Ghazali. Kiprahnya dalam dunia tasawuf tidak perlu diragukan lagi. Warga Nahdatul Ulama (nahdiyyin) sampai-sampai menjadikan mazhabnya bersejajar dengan mazhab Imam Junaid Al-Baghdadi, sebagai standar ahli sunah waljamaah dalam bidang tasawuf.

Kitab yang memuat 27 bab ini menguraikan secara singkat tentang cara seorang murid menerapkan nilai-nilai tasawuf dalam aktivitas sehari-hari, sampai ia bisa masuk dalam golongan arifin (orang-orang yang mengenal Allah). Karena itulah, Imam Ghazali menamainya Minhajul Arifin yang berarti jalan (metode) orang-orang yang mengenal Allah.

Uniknya, rata-rata bab yang ada di dalam kitab ini tidak memakai tema yang langsung berkaitan dengan tasawuf. Alih-alih menemukan bab zuhud, warak, atau ikhlas, dalam kitab ini, kita justru akan banyak dihadapkan dengan bab yang sekilas tidak ada sangkut pautnya dengan tasawuf. Tetapi, itulah cerdasnya Imam Ghazali. Ia mampu mengulas bab-bab tersebut sedemikian rupa sehingga doktrin-doktrin tasawuf berhasil tersisipkan di dalamnya. Alhasil, kita akan dipandu untuk bertasawuf melalui cara-cara yang mudah sekaligus tidak biasa.

Pada bab ke-8 yang membahas tentang qiyam (bangun tidur) misalnya, dengan serta-merta, kita diajak membangunkan hati dari kekosongan serta nafsu dari kebodohan seiring dengan bangunnya badan dari petiduran (hlm: 21).

Bangun tidur yang awalnya hanyalah kegiatan biasa tanpa arti, seketika berubah menjadi berarti setelah dijadikan pemantik untuk menggugah nafsu dan hati. Istimewanya, membangkitkan hati merupakan pondasi utama dalam membentuk jiwa yang bersih sebagai syarat mutlak guna memuat ajaran-ajaran tasawuf yang jernih. Dengan penyampaian yang sederhana, bab ini menghadirkan renungan soal hati yang sering kali hampa, serta nafsu yang acapkali buta.

=======
IDENTITAS KITAB:
Nama Kitab    : Minhajul Arifin
Penulis      : Imam Al-Ghazali
Penerbit      : Mathba'ah Al-Ma'arif
Tahun : 1968 M
Tebal               : 44 halaman
Ukuran file  : 635 KB
Link Download PDF: Minhajul Arifin
=======

Begitu juga pada bab berikutnya. Menyoal masalah siwak (menggosok gigi), kitab ini mengajak kita untuk menjadikan kegiatan kecil itu sebagai sarana pembersih jiwa dan raga dari sifat maupun sikap yang berpotensi menyengsarakan orang lain, setara dengan peran primernya, yaitu membersihkan mulut dan gigi. Setelah itu, kita diseru untuk mensterilkan amal ibadah dari keruhnya riya' dan ujub (hlm: 22).

Bab ini juga mempunyai pembicaraan singkat tentang dzikir (mengingat Allah) sebagai langkah lanjutan sesudah mulut dan hati dibersihkan (hlm: 22). Sebuah pembicaraan yang mengingatkan kita untuk tak hanya terobsesi pada objek duniawi, melainkan juga fokus pada dzat yang hakiki.

Bab ke-10 lebih menarik lagi. Mengusung tema tabarruz (buang air), kegiatan yang sering dianggap sepele, meski hampir tak pernah dilupakan setiap bangun tidur. Kitab ini mengisahkan bahwa perut yang melilit hingga kadang timbul rasa sakit, dalam sekejap menjadi plong setelah limbah kotoran yang ada di dalam berhasil dikeluarkan (hlm: 22).

Sensasi lega usai buang air itu selanjutnya dikiaskan pada jiwa yang kalut nan gelisah. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah penyakit batin yang bersarang di dalam. Maka, cara memulihkannya adalah dengan menghilangkan penyakit itu serta membersihkan bercak dan noda yang ditimbulkan.

Analogi antara limbah kotoran dengan penyakit hati disampaikan secara ringan dan tersirat pada bab ini. Narasinya pun cukup simpel. Mungkin karena topik bahasannya menyinggung kotoran, sehingga dirasa tak pantas jika mesti diurai secara transparan. Yang pasti, pada bab ini, ajaran dasar tasawuf lagi-lagi disajikan secara perlahan, tapi tetap mengena. Dengan bermodalkan sedikit renungan, sekadar buang air yang remeh-temeh pun bisa menjadi medium pembersih hati dan penjernih jiwa.

Ada pula bab-bab yang mestinya lebih cocok dijumpai dalam kitab fikih daripada kitab tasawuf, seperti bab taharah, ruku' dan bab sujud. Pembahasannya pun masih berkutat pada pembersihan hati dan upaya mengingat Allah. Nilai-nilai tasawuf ditautkan kepada gerakan ibadah dan hal-hal terkait lainnya yang rutin dikerjakan setiap hari. Singkatnya, kitab ini selalu memberi siraman rohani yang menyejukkan hati, tak peduli apapun babnya. Pembaca juga terus-menerus didorong supaya mengingat Allah, tak peduli di mana tempatnya dan kapan waktunya.

Sebetulnya, walaupun tidak banyak, Imam Al-Ghazali juga menampilkan beberapa bab yang temanya berkenaan dengan ajaran tasawuf, misalnya bab niat, dzikir dan bab syukur. Bahkan, bab-bab ini ditempatkan lebih awal. Menurut Syaikh Muhammad Abdur Rahim Al-Kishki, sebagaimana dimuat dalam prakata kitab terbitan Mathba'atul Ma'arif Baghdad ini, hal itu dikarenakan menyucikan batin lebih urgen dibandingkan membersihkan lahir. Di samping itu, pembersihan lahir juga tak akan bermanfaat tanpa dibarengi dengan upaya penyucian batin (hlm: 7).

Di akhir pembahasan, Imam Al-Ghazali seolah ingin memberitahukan intipati dari semua yang telah diterangkan mulai awal hingga akhir. Bagian penutup itu bertajuk tafakur yang berarti renungan. Sederet dalil mengenai pentingnya tafakur dipaparkan secara lugas pada bab ke-27 kitab tersebut.

Ada ayat Al-Qur’an yang mengajak kita menengok ke belakang saat sebelum manusia diciptakan: "Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (Al-Insan [76]: 1); ada pula sabda Nabi Muhammad Saw. yang mengingatkan bahwa pada hakikatnya, dunia tidaklah menyisakan apa-apa selain ujian dan musibah belaka; serta momen saat Nabi Nuh as., nabi dengan usia terpanjang, ditanya perihal kesannya terhadap kehidupan dunia, lalu menjawab, "Dunia ibarat rumah berpintu dua: saat aku masuk lewat salah satu pintu, saat itu pula aku keluar dari pintu lainnya".

Di penghujung, sang muallif berjuluk Hujjatul Islam itu mengakhiri rangkaian dalilnya dengan argumen "Pikiran adalah biang dari segala hal baik dan cermin yang merefleksikan bermacam ragam kebaikan dan keburukan".  (hlm: 40).

Kitab setebal 40 halaman ini galibnya diajarkan di pesantren-pesantren pada Bulan Ramadhan atau saat liburan, mengingat bentuknya yang terbilang pipih, sehingga bisa dikhatamkan dalam waktu kurang dari sebulan.

Selebihnya, kitab ini jarang sekali dikaji, apalagi di luar pesantren. Jangankan dikaji atau diajarkan, faktanya nama Minhajul Arifin saja banyak yang belum kenal. Berbeda sekali dengan kitab tasawuf karya Imam Ghazali yang bernama Ihya’ Ulumiddin, Bidayatul Hidayah dan Minhajul Abidin, yang popularitasnya tersiar ke mana-mana.

Kekurangan kitab ini adalah tidak menyajikan ilmu tasawuf secara runtut dan sistematis. Penyampaian yang terlalu ringkas juga ditengarai menjadi kendala bagi sebagian pembaca. Mungkin karena itulah, terjemahan bahasa Indonesianya sulit ditemukan, padahal ia tergolong kitab tipis. Meskipun begitu, bagi yang berhasil memahami, kitab ini sangat unik dan menarik.

Sajian ringan perihal doktrin-doktrin tasawuf disuguhkan dengan apik dalam bingkai kegiatan sehari-hari. Ide-ide mualif untuk mengenyahkan noda-noda hitam dari dalam hati pun begitu cemerlang. Pembaca benar-benar akan dibuat mengenal Allah dari tempat yang tak pernah disangka-sangka sebelumnya. [dutaislam.or.id/ab]

Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.

Mohamad Mansur, Santri Riyadlus Sholihin Al-Islamy Gunungpati, Semarang

Iklan