Iklan

Iklan

,

Iklan

Nalar Kritis Syaikh Nawawi Banten dalam Kitab Tanqih Al-Qaul Hatsits (PDF)

6 Sep 2020, 13:51 WIB Ter-Updated 2024-09-24T12:29:53Z
Download Ngaji Gus Baha
tanqih qoul hatsits syaikh nawawi banten
Cover Kitab Tanqih Qaul Hatsits PDF. Foto: dutaislam.or.id.

Oleh Fathurrosyid

Dutaislam.or.id - Upaya memahami hadits secara komprehesif dan objektif sebagai upaya deradikalisasi pemahaman terhadap hadits sudah banyak dilakukan, baik ulama Timur Tengah maupun jaringan ulama Nusantara di Haramain, salah-satunya Syaikh Nawawi Al-Bantani (selanjutnya ditulis: Syaikh Nawawi) yang diimplementasikan dalam Kitab Tanqih Al-Qaul Al-Hatsits fi Syarhi Lubbab Al-Hadits.

Kitab Tanqih tergolong unik disebabkan sebagai satu-satunya kitab komentar (syarah) yang ditulis maha guru ulama nusantara ini dalam disiplin hadits. Berbeda dengan hadits, karya Syaikh Nawawi dalam bentuk komentar pada disiplin lain, semisal tafsir, tauhid, fiqih, tasawuf, sejarah dan tata bahasa, justru ia sangat produktif mempublikasikannya, sehingga wajar jika ia diberikan gelar sebagai "Ulama Sayyidul Hijaz".

Tanqih Al-Qaul al-Hatsits, yang berarti "revisi singkat" merupakan kitab komentar terhadap karya Imam Suyuthi yang berjudul Lubbab al-Hadits (intisari hadits) yang diklaim banyak terjadi penyimpangan (tahrif) dan perubahan (tashrif), sebagaimana pernyataan Syaikh Nawawi dalam mukaddimahnya berikut ini:

"Inisiatif penulis mengarang karya ini untuk memberikan komentar pada kitab Lubbab al-Hadits mengingat isinya banyak terjadi penyimpangan dan perubahan karena tidak ada karya yang men-syarah-kannya. Selain itu, karya komentar ini ditulis untuk merespon keinginan ulama Jawa yang banyak mendiskusikan status kitab tersebut, sementara saya sendiri tidak punya salinan aslinya, sehingga saya tidak kuasa melakukan verifikasi dan memaparkan maksudnya secara detail karena keterbatasan yang ada. Namun demikian, beberapa kesalahan tersebut lebih mudah dijelaskan dari beberapa kesalahan lainnya". (hlm: 2).

Substansi dan Sistematika
Kitab terdiri atas 40 bab yang berkaitan dengan keutamaan setiap rukun Islam. Selain itu, Imam al-Suyuthi juga membahas tema yang ada relevansinya dengan praktik keagamaan sehari-hari, seperti bab keutamaan wudlu’, adzan, memakai sorban, shadaqah, mengucapkan salam, istighfar, taubat, nikah, zina, homoseksual, berbakti pada orangtua, mendidik anak, tawadlu’, diam, tertawa, menjenguk orang sakit, mengingat kematian, sabar dan keutamaan ibadah lainnya.

Pada setiap bab Kitab Lubab, Imam Suyuthi menampilkan 10 hadits tanpa menyebut jalur sanadnya secara utuh, sehingga jumlah total yang terkumpul sebanyak 400 hadits. (hlm: 3). Hadits tersebut diberikan komentar oleh Syaikh Nawawi dalam Kitab Tanqih Al-Qaul Al-Hatsits, baik dalam bentuk kritik sanad (naqd al-sanad) maupun matan (naqd al-matan) dikomparasikan dengan ayat Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat dan tabi'in, kosa kata dan syair arab. Sedangkan 40 hadits sisanya yang terdapat dalam setiap bab tersebut, dibiarkan tanpa ada penjelasan secara detail.

Alur sistematika yang digunakan Syaikh Nawawi dalam ini disajikan dalam bentuk sebagai berikut: Pertama, memulai pengantarnya berupa ungkapan hamdalah, shalawat dan diakhiri dengan argumen kegelisahan akademiknya. Kedua, memberi catatan komentar terhadap pengantar karya Kitab Lubab Imam Suyuthi. Ketiga, menjelaskan maksud judul setiap bab yang ditulis Imam Suyuthi melalui bantuan Al-Qur’an, hadits, pendapat tabi’in dan para ulama.

Keempat, melakukan analisa pada setiap hadits meliputi kritik sanad dan matan. Kritik sanad (naqd al-sanad) dilakukan pada aspek status ke-shahih-an hadits, sedangkan kritik matan (naqd al-matan) disajikan pada analisa linguistik, Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat, tabi’in dan para ulama untuk mengungkap dan menjelaskan setiap hadits yang ada.

Isu-isu Kontroversial
Kitab ini ditulis oleh Syaikh Nawawi ketika berada di Timur Tengah beberapa abad silam, tentu dalam konteks sosilogis yang berbeda dengan saat ini. Namun demikian, sebagai komentator ulung yang berasal dari tanah Banten Jawa Barat, isu-isu kontroversial yang berkaitan dengan tema-tema keberagamaan di negeri ini masih relevan untuk diangkat dan dijadikan referensi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Isu-isu problematis tersebut berupa:
Pertama, anti takfiri dan nalar toleransi. Pemahaman anti takfiri ditunjukkan Syaikh Nawawi ketika memberikan komentar pada bab keutamaan iman. Rasulullah bersabda, "Tidak dikatakan beriman seseorang yang tidak bisa menjaga amanah". Kata "la imana" bukan berarti tidak beriman, namun yang dimaksudkan adalah keimanan yang tidak sempurna (nafyu al-kamal).

Sementara itu, sikap toleransi ditunjukkan Syaikh Nawawi pada hadits Rasulullah, "Tidak dikatakan beriman seorang dari kalian sehingga ia mencintai saudaranya sama dengan mencintai dirinya sendiri". Sikap toleransi tersebut ditunjukkan Syaikh Nawawi dengan menggunakan pendekatan linguistik bahwa kata "akhun" yang berarti saudara meliputi saudara sesama agama dan lintas agama.

Berdasar hal tersebut, seorang muslim harus mencintai saudaranya non muslim agar ia simpati pada Islam, sebagaimana seorang muslim harus mencintai saudaranya sesama muslim agar ia konsisten menjaga agama Islam. Karena itu, lanjut Syaikh Nawawi, mendoakan non muslim agar mendapat hidayah adalah disunnahkan. (hlm: 13).

=======
Nama Kitab : Tanqih al-Qaul al-Hatsits fi Syarhi Lubab al-Hadits
Penulis : Syaikh Nawawi al-Bantani
Penerbit          : Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, Mesir
Tahun Terbit : -
Tebal : 64 halaman
Size         : 4.63 MB
Link Download PDF: 
=======

Kedua, egoisme keberagamaan pada bab keutamaan masjid. Rasulullah bersabda, "Jika kalian melihat seseorang yang senantiasa berada dalam masjid, maka saksikanlah bahwa ia orang beriman". Hadits ini statusnya shahih. Namun demikian, Syaikh Nawawi memberikan catatan kritis bahwa kata "mulazimun al-masjid" yang berarti senantiasa berada dalam masjid bukan berarti ia harus duduk dalam masjid sepanjang hari atau malam (dawam al-qu'ud).

Pesan moral kalimat "mulazimun al-masjid" yaitu seseorang yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid, sehingga ketika jauh, hatinya selalu merindukan masjid. Selain itu, kata tersebut bermakna orang yang simpati memakmurkan serta juga pro aktif melaksanakan shalat berjamaah di masjid. (hlm: 21). Isu egoisme keagamaan ini menarik diangkat kembali, sekaligus sebagai kritik pada gerakan keagamaan yang aktivitasnya hanya pindah dari satu masjid ke masjid yang lain.

Ketiga, mendoakan mayit dalam bab keutamaan shadaqah, Rasulullah bersabda, "Takutlah kalian pada neraka walau hanya sebiji kurma. Jika tidak ada, maka takutlah pada neraka walau hanya dengan kata-kata yang baik". Selain menjelaskan maksud kata-kata yang baik berupa kata-kata yang halus dan lembut, Syaikh Nawawi dalam bab ini juga mengutip hadits bahwa memberikan shadaqah kepada mayit dapat menjauhkan dari api neraka. Shadaqah kepada mayyit tersebut bisa berupa shadaqah minuman atau membacakan ayat Al-Qur'an atau cukup mendoakan saja. (hlm: 28).

Nalar Kritis Syaikh Nawawi 
Sekalipun merupakan kitab komentar, tidak berarti Syaikh Nawawi hanya memberikan penjelasan yang bersifat tekstual dan pemikiran yang membabi buta terhadap gagasan Imam Suyuthi. Ia juga mencoba menunjukkan independensi dan nalar kritisnya pada hadits-hadits yang ditampilkan Imam Suyuthi. Nalar kritis tersebut dapat ditemukan dalam bab sebagai berikut:

Pertama, status ilmu pengetahuan. Pada bab keutamaan ilmu, terdapat hadits, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa belajar satu bab ilmu pengetahuan, baik diamalkan atau tidak, maka baginya lebih baik daripada melaksanakan seribu rakaat shalat sunnah".

Hadits tersebut disikapi secara kritis terutama pada aspek substansinya yang kontradiktif dengan hadits-hadits lain, semisal hadits Abu Hurariah dan Umar bin Khattab yang meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa Allah melaknat orang yang tidak mengamalkan ilmunya kelak pada hari kiamat. Dengan demikian, menurut Syaikh Nawawi, pesan moral hadits tersebut hanya menunjukkan status keagungan ilmu pengetahuan. (hlm: 8).

Kedua, anti fanatisme madzhab. Pada bab keutamaan shadaqah, Rasulullah bersabda, "Shadaqah adalah (perbuatan) agung". Pada hadits tersebut, sekalipun Syaikh Nawawi tidak menunjukkan perawinya, tetapi ia menunjukkan riwayat lain yang lebih shahih, yaitu dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, "Bershadaqahlah kalian, sebab ia akan memerdekakan kalian dari panasnya api neraka".

Namun demikian, Syaikh Nawawi merasa belum puas dengan hadits tesebut sehingga ia mengutip pendapat Imam Abu Hanifah bahwa shadaqah itu lebih utama daripada melaksanakan ibadah haji sunnah. (hlm: 29). Pengutipan gagasan Abu Hanifah tersebut menunjukkan bahwa, sekalipun dirinya penganut mazhab Imam Syafi'i dalam bidang fiqih, namun dalam kondisi tertentu ia justru menunjukkan toleransi dan anti fanatisme madzhab.

Ketiga, status membujang. Pada bab keutamaan pernikahan, Rasulullah Saw. bersabda, "Paling jeleknya kalian adalah membujang, sebab dua rakaat shalat bagi yang menikah adalah lebih baik dari pada tujuh puluh rakaat shalat bagi yang membujang". Menuurt Syaikh Nawawi, hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurariah. Namun demikian, hadits tersebut tidak boleh dipahami secara tekstual sehingga kuantitas shalat hanya diukur melalui status pernikahan.

Hadits tersebut, lanjut Syaikh Nawawi, harus dipahami secara kontekstual, sehingga pesan moralnya bukan pada kuantitas rakaat shalat, akan tetapi pada bentuk motivasi (al-targhib) agar orang memilih menikah dari pada membujang. (hlm: 41).

Keempat, status perzinaan. Pada bab keutamaan pernikahan, Rasulullah bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar di sisi Allah setelah syirik dari pada berzina, yaitu seorang lelaki yang meletakkan nutfah-nya pada rahim perempuan yang tidak halal". Secara tekstual, hadits tersebut menunjukkan bahwa zina merupakan perbuatan dosa besar setelah syirik.

Namun Syaikh Nawawi memberikan catatan kritis bahwa seharusnya Imam Suyuthi tidak perlu mencantumkan hadits tersebut mengingat banyak hadist lain yang lebih terjamin validitasnya bahwa dosa besar setelah syirik adalah pembunuhan (al-qatlu), bukan zina. (hlm: 42). Pemahaman tersebut dilakukan agar tidak ada lagi para pendakwah di Nusantara ini yang mudah mengecam, mencerca dan mencaci berlebihan pada pelaku zina.

Selain terdapat kelebihan, Kitab Tanqih juga terdapat kekurangan, -terutama pada sumber sekunder dalam menjelaskan hadits Kitab Lubab. Tidak jarang Syaikh Nawawi mengutip hadits-hadits dla'if yang dianggapnya dapat ditolerir jika berkaitan dengan fadla'ilul a'mal (hlm: 2), sehingga bisa dijadikan referensi oleh para da'i maupun masyarakat secara umum.

Namun kelemahan tersebut tidak mengurangi kualitas gagasan Syaikh Nawawi, terutama dalam aspek nalar moderasi dan nalar kritis yang diekspresikannya. Nalar tersebut penting diaktualisasikan sebagai pelajaran berharga, terutama dalam konteks era digital saat ini, di mana orang mudah melakukan "sharing sebelum saring" sehingga potensial terpapar hoaks yang berimplikasi pada sikap hate speech, bullying dan lainnya. Selamat Membaca! [dutaislam.or.id/ab]

Keterangan:
Resensi ini disertakan dalam Lomba Menulis Resensi Kitab Kuning Periode II tahun 2020, kerjasama Unisnu Jepara dan Duta Islam.

Fathurrosyid, tinggal di Pragaan, Sumenep, Madura

Iklan