Allah maha mengetahui. Foto: istimewa
Dutaislam.or.id - Kata ini merupakan kata sifat berbentuk mubhalaghah dari kata 'alim (عالم). Selain berbentuk 'allam, bentuk mubhalaghah-nya juga berbentuk 'alim (عليم) dan 'allamah ( علامة).
Mashdar kata tersebut adalah 'ilm (علم) yang berarti 'mengetahui sesuatu sesuai dengan kenyataan'. Dari sisi ontologi, pengetahuan ini ada dua. Pertama, pengetahuan atas esensi sesuatu itu sendiri. Kedua pengetahuan adanya sesuatu berdasar atas sesuatu yang lain yang keberadaan dan ketiadaan sesuatu yang lain itu bergantung pada sesuatu yang pertama itu. Demikian pula dari segi aksiologi, pengetahuan itu dibagi dua; pengetahuan teoretis yang hanya mencukupkan pada tataran pengetahuan saja, dan pengetahuan praktis yang tidak cukup untuk hanya diketahui, tetapi juga harus dilaksanakan.
Selanjutnya dari segi epistemologi juga ada dua. Pengetahuan yang bersumber pada akal, dan pengetahuan yang bersumber pada wahyu. Jadi, kata yang berakar dari 'ain, lam, dan mim (ع-ل-م) ini pada dasarnya mempunyai arti 'mengetahui atau mendapatkan pengetahuan tentang sesuatu'.
Baca: Memahami Sifat Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar Menurut M Quraish Shihab
Berdasarkan uraian di atas, arti 'allam, sebagai bentuk mubhalaghah, adalah subjek yang sangat mengetahui terhadap sesuatu. Al-Ashfahani berpendapat, jika kata ini menjadi sifat dari Allah, maka yang dimaksudkan adalah bahwasanya Allah itu adalah zat yang tidak ada satu pun yang tidak diketahui oleh-Nya. Menjelaskan pengetahuan Allah ini, Ibnu Manzhur menegaskan bahwa Allah adalah maha mengetahui segala apa yang telah ada dan yang akan ada serta yang tidak akan pernah akan ada. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu pun yang ada di langit dan bumi tersembunyi dari pengetahuan-Nya.
Selain di dalam bentuk 'allam, Allah juga menggunakan sifat dengan bentuk 'alim (عليم) dan 'alim (عالم) sebagai ungkapan adanya Allah Yang Maha Mengetahui. Adapun kata 'allamah tidak boleh disifatkan kepada Allah karena ada huruf ta' yang mengesankan ta' ta' nits (feminine form) pada akhir kata tersebut walaupun huruf pada kata tersebut tidak menunjukkan kepada gender feminin tetapi bermakna kesempurnaan (ta' mubhalaghah).
Di dalam Al-Qur'an, kata 'allam disebut sebanyak empat kali, pada (QS. Al-Ma'idah: 109 dan 116), pada (QS. At-Taubah: 78), dan pada (QS. Saba': 48). Semua kata al-'allam di dalam ayat Al-Qur'an ini merupakan sifat Allah. Kata tersebut selalu digabungkan dengan objek segala sesuatu yang gaib dengan ungkapan 'allam al-ghuyub' (عَلَّامُ الْغُيُوبِ - maha mengetahui segala sesuatu yang gaib).
Pada (QS. Al-Ma'idah: 109), ungkapan 'allam al-ghuyub ini merupakan perkataan para rasul sebagai pengakuan mereka atas kemaha pengetahuan Allah. Hampir sama dengan itu, pada ayat 116, ungkapan tersebut merupakan perkataan Nabi Isa dalam rangka menegaskan bahwa ia tidak pernah menyeru kaumnya agar menjadikan dia dan ibunya sebagai Tuhan. Seandainya ia mengatakan demikian, maka Allah pasti mengetahuinya karena Ia adalah satu-satunya zat yang mengetahui segala sesuatu yang gaib.
Pada (QS. At-Taubah: 78), ungkapan itu dari Allah sendiri sebagai penegasan bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu yang gaib, seperti apa saja yang tersimpan di dalam hati manusia. Ungkapan ini mempunyai kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menceritakan tentang orang-orang munafik yang berjanji akan mengeluarkan sedekah jika Allah memberikan kepada mereka sebagian karunia-Nya. Namun, ketika Allah melimpahkan karunia-Nya, mereka mengingkarinya. Oleh karena itu, Allah menegaskan bahwa Ia mengetahui rahasia dan pembicaraan orang-orang munafik yang mengingkari janji mereka terhadap Allah itu. Adapun pada (QS. Saba': 48), ungkapan itu merupakan tuntunan Allah kepada Nabi Muhammad saw. untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa Ia adalah Maha Mengetahui segala yang gaib yang tidak diketahui manusia, seperti keberadaan akhirat dan rahasia-rahasia yang ada dalam hati mereka agar mereka mempercayai dakwah yang disampaikannya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kata 'allam merupakan sifat yang khusus dimiliki Allah. Oleh karena itu, penggabungan kata tersebut dengan segala sesuatu yang gaib sebagai objeknya adalah sangat wajar sekali karena tidak ada satupun selain Allah yang dapat mengetahui semua yang gaib, misalnya hakikat pembangkitan kembali dan keberadaan alam akhirat. Hanya Allah yang benar-benar mengetahui segala sesuatu. [dutaislam.or.id/ka]
Sumber:
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 20-21, ditulis oleh Abdul A'la