Allah maha tinggi menurut quraish shihab. Foto:istimewa
Dutaislam.or.id - Kata al-'aliyy (العَلِي) terambil dari huruf-huruf 'Ain, lam, dan ya' atau wauw, menunjuk kepada makna ketinggian, yakni antonim dari kerendahan, baik yang bersifat material maupun immaterial. Dari sini, kemudian lahir makna-makna lainnya seperti, sombong, karena yang bersangkutan merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Menaklukkan dan mengalahkan, karena keduanya lebih tinggi dari yang ditaklukkan dan yang dikalahkan. Allah swt. Maha tinggi dan tidak ada ketinggian yang melebihi ketinggian-Nya.
Dalam Al-Qur'an kata 'Aliyy (عَلِي) ditemukan sebanyak 11 kali, sembilan di antaranya merupakan sifat Allah. Ia dirangkai dengan sifat Kabir (كبر) (Maha besar) sebanyak lima kali, 'Azhim (عظم) dua kali, dan Hakim (حكم) juga dua kali. Dua sisanya adalah sifat dari tempat kedudukan yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Idris as., juga bahan pembicaraan (berkaitan dengan Nabi Ibrahim as. dan putra beliau).
Menarik untuk dikemukakan bahwa dua kali terakhir ini dikemukakan dalam redaksi yang merujuk bahwa ketinggian yang diperoleh itu dan ketinggian lainnya adalah karena anugerah Allah semata.
Baca: 6 Konsep Ilmu Menurut Quraish Shihab
Perhatikan kedua firman-Nya berikut ini:
(وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا)
Artinya:
"Dan Kami anugrahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami, dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi" (QS. Maryam: 50).
(وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا)
Artinya:
"Dan Kami telah mengangkatnya ke tempat/martabat yang tinggi" (QS. Maryam: 57).
Ditemukan juga sebanyak sembilan kali bentuk superlatif dari kata ini yaitu al-'Ala, baik yang merujuk kepada Allah, maupun selain-Nya seperti yang ditunjukkan kepada Nabi Musa as., atau Firaun yang diabadikan ucapannya saat mengaku sebagai yang lebih tinggi. Sifat ini dikemukakan dalam konteks perbandingan, sehingga pada akhirnya dapat mengantar setiap makhluk terbetik dalam benaknya sesuatu yang tinggi, itu menyadari bahwa Allah Yang Maha tinggi.
Ketinggian Allah tidak bersifat material atau pada satu tempat. Memang tulis al-Ghazali pada mulanya manusia memahami makna ketinggian dari segi tempat. Ini karena mengaitkannya dengan mata kepala, tetapi setelah orang-orang berpengetahuan menyadari bahwa ada juga pandangan bashirah (mata akal dan batin) yang berbeda dengan pandangan yang bersifat indrawi, maka mereka meminjam/menggunakan kata "tinggi", tetapi tidak dalam pengertian yang dijangkau oleh orang awam. Walaupun pengertian ini boleh jadi diingkari oleh sementara orang awam yang tidak memahami ketinggian kecuali yang berkaitan dengan tempat.
Allah ketika berfirman:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
Artinya:
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan" (QS. Yunus: 3).
Bersemayam-Nya di atas 'Arsy, bukan berarti bahwa Dia menempati tempat itu. Tidak! Redaksi semacam itu digunakan karena Arsy adalah makhluk tinggi, tidak dapat disentuh kecuali oleh yang memiliki kedudukan suci lagi tinggi, dan tidak juga dapat terjangkau oleh ukuran. Karena itu, Allah memilih makhluk ini untuk mendekatkan pemahaman kita tentang ketinggian-Nya. Ini sama dengan ucapan kita ketika mengembalikan putusan kepada Allah swt. dengan berkata "Terserah yang di atas" sambil menunjuk kepada langit. Itu bukan berarti kita menunjuk kepada Tuhan, karena Dia ada di mana-mana. Allah Maha tinggi, sedemikian tinggi-Nya juga sehingga Dia tidak dapat dijangkau, dan sedemikian tinggi-Nya sehingga tidak ada yang serupa dengan-Nya serta sedemikian kuat-Nya pula sehingga tidak ada yang dapat mengalahkan- Nya bahkan tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak juga kedudukan yang serupa, bahkan yang mendekati kedudukan-Nya.
Pengertian ini dipahami dari kesan yang ditimbulkan oleh firman-Nya yang menggunakan kata yang seakar dengan sifat al-'Aliyy yang berarti mengalahkan, yakni:
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَٰهٍ ۚ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَٰهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya:
"Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa mahluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu pasti 'ala (mengalahkan) sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan" (QS. al-Mu'minun: 91).
Sementara ulama merinci pengertian ketinggian-Nya pada ketinggian Dzat-Nya dan ketinggian kedudukan-Nya. Ketinggian kedudukan-Nya adalah kesempurnaan yang diniscayakan oleh sifat-sifat terbaik (al-Asma' al-Husna), karena Dia tidak terjangkau kecuali oleh- Nya sendiri, karena Dia yang mencakup seluruh tempat, dan Dia wujud sebelum penciptaan semua yang maujud. Demikian, wa Allah A'lam. [dutaislam.or.id/ka]
Sumber:
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 18-19-20, ditulis oleh M. Quraish Shihab