Iklan

Iklan

,

Iklan

Makam Mbah Dimyathi Sukri, Pejuang RI Pulosoro, Suwawal, Jepara

3 Jan 2021, 11:03 WIB Ter-Updated 2024-08-12T08:45:21Z
Download Ngaji Gus Baha
makam mbah dimyathi sukri pulosoro suwawal
Makam Mbah Dimyathi M. Sukri, di Pulosoro, Mlonggo, Jepara. Foto: dutaislam.or.id.

Dutaislam.or.id - Nama M. Sukri atau Dimyathi M. Sukri Abdul Jabbar tidak banyak dikenal oleh masyarakat Jepara. Ia adalah pejuang kemerdekaan asal Kajen, Margoyoso, Pati, yang gugur ditembak Belanda pada tahun 1949. Makamnya ada Pulosoro, Suwawal, Mlonggo, Jepara dengan ukuran 11 meter persegi. 

Dari perempatan Jong Biru, lokasi makam sekitar 3 km ke arah Barat. Tepatnya berada di ujung persawahan. Saat tim Pemburu Makam ziarah ke sana pada Jumat, 1 Januari 2020, jalan menuju ke makam masih belum dibangun dengan baik. Mobil macet berjam-jam akibat guyuran hujan.


Nama Sumoselim disebut-sebut juri kunci makam, Mbah H. Mulyo bin Sulaiman, sebagai orang yang pertama kali me-mulosoro (merawat) mayat Mbah Dimyathi Sukri. Ceritanya, saat Mbah Sumoselim berangkat ke Bangsri menjual sapi pada Selasa Pon sekitar tahun 1949, ia melihat ada mayat yang terbawa banjir di bawah kretek (jembatan) Sungai Bangrawi, Suwawal. 

"Aku pergi dulu yah. Doakan sapi cepat laku. Nanti aku rawat (kuburkan) kamu," kata Mbah Sumoselim ke mayat yang tidak dia kenal itu. 

Alhamdulillah, sapi Sumoselim sudah laku mahal sebelum sampai ke pasar. Bila standar harga sapi saat itu adalah 10 ribu, Sumoselim berhasil menjual di harga 20 ribu. Sesuai janji, sebagian untungnya kemudian dibelikan kain kafan. 

"Kok beli kain kafan untuk apa, Pak?" Tanya Bu Nati, istri Sumoselim, sesaat setelah Sumoselim sampai di rumah. 

"Buat mulosoro mayit di Sungai Bangrawi," jawabnya. 

Bersama beberapa warga, Mbah Sumoselim kembali mencari lokasi mayat yang sempat dilihatnya pergi menjual sapi itu. Cuaca hujan tak berhenti. Banjir terus mengguyur. 

Jenazah sudah pindah dari lokasi awal. Ia seperti mencari lokasi sendiri untuk ditemukan warga, dengan berbelok ke sungai kecil, di sebuah selokan hingga nyembul keluar karena tumpahnya bah banjir. Orang-orang terus mencari hingga ke sebuah tanah milik bondo deso Pemdes Suwawal. Di situlah Mbah Sumoselim menguburkan jenazah. 

Pasca dikubur dengan baik, tiap malam para petani sering mendengar orang orang adzan dan ngaji di sekitar makam. Atas alasan itulah, Mbah Sumoselim merawat makam yang hingga saat itu belum diketahui namanya. 

Beberapa saat kemudian, ada seorang ibu bernama Waginah yang rumahnya di dekat warga bernama Malikatin, Mlonggo, mencari-cari nama Sukri, suaminya, yang hilang tanpa diketahui nasibnya sejak bergabung di Hizbullah dan Tentara Rakyat melawan Belanda. Waginah menduga, yang dikubur di Pulosoro adalah suaminya. Waginah hamil 3 bulan saat suaminya itu tiada. Lahir seorang putri. 

Mengetahui hal itu, Sumoselim menyarankan ke Waginah agar tidak mengakui Sukri sebagai suaminya bila ada orang Belanda yang mencari. 

"Pak Sukri sudah lama meninggalkan keluarga," jawab Waginah kepada serdadu Belanda beberapa saat kemudian. Mereka percaya. 


Makam suami Waginah akhirnya aman. Tidak jadi diketahui oleh Belanda. Pasca proklamasi, nama Sukri dimasukkan pemerintah RI sebagai salah satu pahwalan tak dikenal. Keluarga Waginah pun berhak mendapatkan pensiunan hingga sekarang. 

Tidak ada yang mengetahui pasti kapan tepatnya M. Sukri gugur ditembak oleh Belanda. Tapi, makam terus dirawat dari generasi ke generasi. Inilah nama perawat makam sejak Mbah Sumoselim: 

  1. Sumoselim (penemu jenazah)
  2. Sudiyono (anak Sumoselim)
  3. Bagiyo (menantu Sudiyono)
  4. H. Saroji (anak Sudiyono)
  5. H. Mulyo (hingga sekarang)

Saat H. Saroji mendapatkan amanah berat menjaga makam, ia sowan ke Kiai Fathurrahman bin Muslimin, cucu Mbah Abu Hasan Suwawal, meminta saran ketika hendak membangun makam. Kiai Fat, penggilan Kiai Fathurrahman, menyarankan agar bertemu dengan H. Mulyo. 

Sejak itulah Mbah H. Mulyo ikut merawat makam hingga dibangun seperti sekarang. Dulu, jalan menuju makam masih setapak, dan hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Beberapa tahun terakhir, jalan sudah berhasil dilebarkan berkat kegigihan H. Saroji, H. Subali dan H. Mulyo, dkk. Kiai Fathurrahman menjadi penasehat pembangunan makam. 

Sebelum membangun, bersama Kiai Hamid Suyuthi, tokoh kiai Suwawal, panitia silaturrahim ke rumah (alm) KH. Husain, Pengasuh Ponpes An-Nur, Kajen, Margoyoso, Pati dan guru di MA Salafiyah Kajen yang sebelumnya memang sudah mencari jejak keluarga yang hilang selama puluhan tahun.  

Diketahui, Kiai Husain adalah adik ragil ke-8 M Sukri dan merupakan anak pertama Mbah Abdul Jabbar, Kajen. Sejak pertemuan itulah, nama M. Sukri ditambah dengan nama lengkapnya: Dimyathi Sukri bin Abdul Jabbar. 

Dikisahkan, Mbah Abdul Jabbar dulu adalah sosok yang pernah dirampok oleh Belanda dengan cara dibenturkan ke pohon jati, hingga sakit dan wafat. Secara fisik, ia bermuka kecil, memiliki belang lebar.

Saat dewasa, Dimyathi Sukri ingin meneruskan perjuangan ayahnya, Mbah Abdul Jabbar. Ia juga ingin membalas kedhaliman Belanda ke orangtuanya di masa lalu. Namun, sang ibu tidak mengizinkan. Tekad Dimyathi Sukri bulat. Ia nekad bergabung di barisan Hizbullah sebelum akhirnya mendaftarkan diri sebagai pejuang di barisan Tentara Rakyat. 


Saat tertangkap oleh Belanda, Dimyathi Sukri diminta untuk menunjukkan markas militer Tentara Rakyat di Jepara. Tapi ia diam. Ia membawa rahasia itu hingga gugur syahid ditembak Belanda tembus dada dan dibuang ke Sungai Bangrawi, Mlonggo. Mbah Sumoselim lah yang pertama kali menemukan jejak jenazahnya hingga dipulosoro (dikafani, dishalati dan dikuburkan). 

Di masa Pak Senawi menjadi Waker Polisi Bangsri, makam Dimyathi M. Sukri pernah digali untuk dipindahkan jasadnya ke Taman Makam Pahlawan di Ujungbatu, Jepara. Mereka tidak menemukan apa-apa. Barangkali, Mbah Dimyathi Sukri tidak mau dipindah. Tapi, di makam pahlawan, namanya tetap ditulis dalam sebuah nisan. 

Keluarga Kajen menyebut, Dimyathi Sukri adalah santri Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari di Tebuireng, Jombang. Dan sebelum wafat, ia sudah khatam menghapalkan Al-Qur'an (al-hafidz) di zaman masih para huffadz (penghapal Al-Qur'an) sangat terbatas jumlahnya. 

Kini, tiap 17 Agustus, ada haul yang diselenggarakan di Makam Dimyathi M. Sukri dengan acara khataman Al-Qur'an, Yasin Fadhilah, pengajian, serta doa-doa yang bermanfaat untuk kedamaian dan kemakmuran bangsa Indonesia. 

Tiap tahun, keluarga Mbah Dimyathi Sukri ikut hadir dalam acara haul tersebut. Setelah jelas identitasnyam, orang-orang yang dulunya menggunakan lokasi makam pejuang berpangkat Kopral Satu itu sebagai tempat mencari keuntungan lewat nomor (Nalo atau BT), hilang. Alhamdulillah. [dutaislam.or.id/ab

Iklan