Makna aqir dalam al-qur;an. Foto: istimewa |
Dutaislam.or.id - Kata ini merupakan bentuk partisip aktif dari 'aqura - ya'quru - 'uqr yang berakar pada huruf 'ain - qaf - ra' yang dibaca 'uqr (عقر) dan berarti 'kemandulan' atau'tidak beranak'. Kata kerjanya adalah 'aqara - ya'qiru - 'uqr dan 'aqr artinya 'melukai' atau 'menyembelih', misalnya 'aqara ar-rajul al-jamala (laki-laki itu melukai salah satu kaki unta untuk dijatuhkan dan disembelih).
Dengan demikian, kata 'aqir (عقير) artinya 'binatang sembelihan', seperti di dalam hadits Sayyidah Khadijah ketika menikahi Rasulullah saw. Ia memberi ayahnya pakaian baru, wangi-wangian, dan menyembelih binatang ternak, maka ayahnya berkata "Ma hadza al-habiru wa hadza al-'abiru wa hadza al-'aqir?" (Untuk apakah baju baru, wangi-wangian, dan hewan sembelihan ini?). Apabila kata aqir diartikan sebagai 'hewan sembelihan', maka kata 'aqur (عقور) diartikan sebagai 'anjing' atau 'binatang buas' lainnya, seperti di dalam sebuah hadits yang menceritakan bahwa Nabi saw. bersabda:
"Lima (binatang) yang apabila seseorang menyembelihnya dan dia di dalam keadaan ihram, maka ia tidak berdosa, yaitu: kalajengking, tikus, burung gagak, burung rajawali, dan 'aqur [anjing]".
Yang dimaksud al-'aqur di dalam hadits ini ialah setiap binatang buas yang biasa melukai dan membunuh, seperti: harimau, singa serigala, puma anjing dan sebagainya. Semuanya biasa disebut anjing (كلب) karena sarna-sruna buasnya.
Dari makna menyembelih ini juga bisa dibentuk kata kerja yang menunjukkan pada akibat atau hasil dari tejadinya perbuatan tersebut (لِمُطَاوَعَةِ), yaitu dengan menambahkan ta' (ت) di awal kata dan hamzah/alif (ا) sesudah huruf asal pertama: 'aqara (عقر) menjadi ta'aqara (تعاقر) dan mashdar-nya ialah ta'aqur (تعاقر). Misalnya, di dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. Maksud dari hadits tersebut dijelaskan oleh Ibnul Asir, bahwa orang-orang Arab biasanya menyembelih unta di atas kuburan para pendahulu mereka atau berkorban untuk mereka, seraya berkata "Orang yang di kubur ini ketika masih hidup selalu menyembeli hewan untuk menghormati tamu-tamunya; maka kami menyembelih ini sebagai sembelihan mereka setelah wafat." Menyembelih korban seperti ini dilarang di dalam Islam sebagaimana dijelaskan oleh hadits di atas.
'Aqara (عقر) juga berarti 'mencegah atau menghalangi', seperti ucapan lbnu Bazraj, " Qad kanat li hajatun fa' aqarani' anha" (Aku punya suatu keperluan, tetapi ia menghalangiku). Makna ini sebenarnya berasal dari 'melukai salah satu kaki binatang yang akan disembelih, sebab tujuan dilakukannya perbuatan ini ialah untuk mencegah atau menghalangi binatang itu agar tidak pergi, dan Ibnu Bazraj memakainya untuk suatu makna yang lebih luas dan umum.
Lafaz 'uqr selain berarti kemandulan, juga berarti mas kawin (مهر) menurut Ahmad bin Hambal, seperti di dalam hadits yang diriwayatkan Asy-Sya'bi. Ibnul Muzaffar mengelaborasi lebih lanjut makna 'uqr sebagai denda yang harus dibayarkan seorang laki-laki kepada seorang wanita karena telah merampas kegadisannya/kemaluannya. Namun, Al-Jauhari mengatakan bahwa 'uqr ialah mas kawin/mahar yang diberikan kepada seorang wanita karena telah menyetubuhinya di dalam syubhah (keadaan yang meragukan).
Di dalam Al-Qur'an, terdapat empat ayat yang menggunakan lafazh 'aqara dengan makna 'menyembelih' yang semuanya khusus digunakan untuk penyembelihan unta betina misalnya, di dalam (QS. Al-A'raf: 77). Konon, yang menyembelih unta betina (yang merupakan mukjizat Nabi Shalih) itu ialah Qadar bin Salif.
Sebenarnya Nabi Shalih as. telah melarang mereka untuk menyembelihnya dengan mengatakan bahwa unta betina itu adalah milik Allah; bahkan, mereka juga dilarang melakukan sesuatu yang tidak baik terhadapnya. Tetapi mereka tetap melanggar larangan tersebut bahkan mencemohkan Nabi Shalih as. dengan menantangnya untuk mendatangkan ancaman berupa siksaan Allah sebagaimana diceritakan oleh QS. Al-A'raf di atas. Karena itulah, maka Nabi Shalih as. mengultimatum mereka dengan mengatakan bahwa mereka hanya bisa ber gembira-ria selama tiga hari saja sebelum Allah menurunkan siksaan-Nya, sebagaimana dinyatakan (QS. Hud: 65).
Cerita tentang Nabi Shalih as. dengan kaumnya berulang kali dinyatakan di dalam Al-Qur'an untuk dijadikan pelajaran bagi umat yang datang kemudian. Setelah kedua ayat di atas menceritakan bagaimana sikap Kaum Tsamud, kaumnya Nabi Shalih as., terhadap ancaman beliau, maka (QS. Asy-Syu'ara: 157), menceritakan penyesalan kaum Tsamud setelah mereka melanggar larangan Nabi Shalih as. dengan menyembelih unta betina itu, sebab Allah kemudian mengguncang negeri mereka dengan keras dan menurunkan teriakan sangat dahsyat yang dapat mencopot jantung mereka. Sungguh peristiwa seperti itu tidak mereka duga akan terjadi, dan dengan kejadian itu mereka diratakan dengan tanah di mana mereka tinggal.
(QS. Asy-Syams: 14) juga menceritakan hal yang sama sebagaimana diceritakan oleh ayat-ayat di atas. Sedangkan (QS. Al-Qamar: 29) memerinci peristiwa yang terjadi antara kaum Tsamud dengan unta betina itu. Nabi Shalih as. memberitahu kaumnya bahwa sumur yang ada di negeri mereka itu digunakan secara bergiliran antara mereka dengan unta betina. Sehari mereka mengambil airnya dan sehari berikutnya untuk unta itu.
Pada hari di mana mereka menggunakan sumur itu, unta betina tidak datang ke sana tetapi justru memberi mereka minuman berupa air susunya dan ketika tiba gilirannya, unta betina itu meminum air sumur sampai habis; demikianlah ketentuan yang harus mereka taati. Namun beberapa lama kemudian, Kaum Tsamud mulai menyimpang dari ketentuan tersebut, dan mereka ingin terlepas dari unta betina itu. Mereka memanggil Qadar bin Salif seorang pemimpin mereka yang mulia dan dipatuhi, maka Qadar menghunus pedangnya dan membunuh unta itu.
Adapun kata 'aqir yang berarti mandul atau tidak beranak, tidak khusus digunakan untuk menyebut orang laki-laki dan perempuan yang keadaannya seperti itu, tetapi juga digunakan untuk menyebut pohon-pohonan yang tidak berbuah, misalnya: 'Hadzihi nakhlatun'aqir" (pohon kurma ini tidak berbuah); dan "tha'irun 'aqir" (burung yang rontok bulunya dan tidak tumbuh lagi).
Di dalam Al-Qur'an, makna ini dipakai sebanyak tiga kali dan semuanya bercerita tentang Nabi Zakaria as. yang sangat mendambakan hadirnya seorang anak di dalam usianya yang sudah lanjut, di samping kondisi istrinya yang mandul (QS. Maryam: 5). Menurut Mujahid, Qatadah, dan As-Suddi, lafaz al-mawaliy artinya 'keturunan.' jadi, ayat di atas berbicara tentang kekhawatiran Zakaria as. akan ketiadaan generasi yang akan meneruskan tugas kenabiannya untuk mendakwahkan agama tauhid, sehingga ia sangat mendambakan datangnya keturunan tersebut.
Kemudian pada Ayat 8 dari surat yang sama bercerita tentang keheranan Zakaria as. dan sekaligus kegembiraannya yang tiada tara ketika diberitahu bahwa Allah akan mengabulkan permintaannya; sehingga muncullah pertanyaannya tentang bagaimana cara datangnya si anak itu, padahal ia tahu bahwa istrinya adalah seorang yang mandul ('aqir) sebab sejak muda sampai setua itu belum pernah hamil, sedangkan dia sendiri sudah sangat tua dan barangkali sudah tidak ada lagi bibit di dalam spermanya. Makna yang senada dengan kandungan ayat di atas terdapat pada (QS. Ali-'Imran: 40). [dutaislam.or.id/ka]
Sumber:
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 26-27-28, ditulis Ahmad Saiful Anam