Iklan

Iklan

,

Iklan

Pantaskah Kita Bersikap Angkuh - M Quraish Shihab

Duta Islam #07
15 Feb 2021, 19:35 WIB Ter-Updated 2024-08-17T20:59:53Z
Download Ngaji Gus Baha
jangan bersikap angkuh dan sombong
Cermin sombong. Foto: istimewa

Dutaislam.or.id -
Kata al-aziz terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf  'ain dan za', yang maknanya kekukuhan, kekuatan, dan kemantapan. Dari sini, kemudian maknanya berkembang sesuai dengan konteks serta bentuk dasar mudhari'-nya (kata kerja masa kininya). Jika bentuknya ya'uzzu, maka ia berarti mengalahkan. Jika berbentuk ya'izzu, maka maknanya yang sangat jarang atau sedikit, bahkan tidak ada samanya. Sedangkan bila bentuk katanya ya'azzu maka ini berarti menguatkan sehingga tidak dapat dibendung atau diraih. Ketiga makna di atas, dapat menyifati Allah swt.


Kata al-'aziz  dan 'aziz terulang dalam Al-Qur'an sebanyak 99 kali, antara lain bermakna: angkuh, tidak terbendung, kasar, keras, dukungan, semangat, dan membangkang.

Allah adalah al-'Aziz, yakni Yang Maha mengalahkan siapa pun yang melawan-Nya dan tidak terkalahkan oleh siapapun. Dia juga tidak ada sama-Nya, serta tidak pula dapat dibendung kekuatan-Nya atau diraih kedudukan-Nya. Dia begitu tinggi sehingga tidak dapat disentuh oleh keburukan dan kehinaan. Dari sini kata al-'Aziz biasa diartikan dengan Yang Mulia. 

'Makna lzzah (sifat yang disandang oleh Yang 'Aziz), menjadikan Dia bebas dari segala cela dan kerendahan yang mengurangi kehormatan-Nya.

Imam al-Ghazali menetapkan tiga syarat yang harus terpenuhi untuk dapat menyandang sifat tersebut, yaitu: a) Peranan yang sangat penting lagi sedikit sekali wujud yang sama dengannya, b) Sangat dibutuhkan dan c) Sulit untuk diraih/disentuh. Tanpa berkumpulnya tiga hal tersebut, maka sesuatu tidak wajar dinamai 'aziz. Tulis al-Ghazali, ada saja sesuatu yang jarang wujudnya, tetapi tidak memiliki peranan yang penting, dan tidak pula banyak manfaatnya, maka ia bukanlah sesuatu yang 'aziz

Demikian juga ada saja yang besar peranannya, banyak manfaatnya, jarang samanya, tetapi tidak sulit meraihnya, maka ia pun tidak dinamai 'aziz. Al-Ghazali memberi contoh matahari, yang dalam tata surya kita tidak ada bandingannya, manfaatnya pun banyak bagi setiap yang hidup, kebutuhan terhadapnya sangat besar, namun ia tidak dapat dinamai 'aziz, karena tidak sulit bagi siapa pun untuk menyaksikannya.

Setiap unsur dari ketiga syarat di atas, mempunyai kesempurnaan dan kekurangan. Kesempurnaan menyangkut sedikitnya unsur sesuatu seperti keesaan, karena tidak ada yang lebih sedikit dari satu. Allah swt. dalam hal ini adalah wujud yang paling 'Aziz/Mulia karena sedikit wujud yang sama dengan-Nya, "Yang serupa dengan serupa-Nya pun tak ada", sesuai firman- Nya: "Laisa Kamitslihi Syai'un," baik dalam bentuk atau khayalan, apalagi dalam kenyataan. Adapun dalam hal kebutuhan pihak lain kepadanya, maka kesempurnaannya terletak pada kebutuhan kepadanya oleh segala sesuatu dan dalam segala hal, termasuk dalam hal wujud, kesinambungan eksistensi, dan sifat-sifat.

Sesuatu yang sifatnya seperti itu, hanya wujud pada Allah swt. Sedangkan kesempurnaan dalam hal kesulitan untuk diraih, juga hanya disandang oleh Allah swt., karena bukankah "Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah sendiri? "Bukankah Dia yang mengherankan jika dibahas Dzat-Nya serta mengagumkan jika dianalisis perbuatan-Nya? Dari sini dapat dimengerti mengapa Al-Qur'an menyatakan bahwa (مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا) "Barang siapa yang menghendaki al-'lzzah (kemuliaan) maka kemuliaan seluruhnya hanya milik Allah" (QS. al-Fathir: 10).

Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya Tuhan kalian berfirman setiap hari, Akulah al-'Aziz (Yang Mahamulia), siapa yang menghendaki kemuliaan dunia dan akhirat, hendaklah dia taat kepada al-'aziz."

Jika kemuliaan adalah milik Allah, maka Allah pula yang menganugerahkannya kepada siapa yang dikehendakinya dan dalam konteks ini Allah menegaskan bahwa kemuliaan itu dianugerahkan-Nya kepada Rasul dan orang-orang Mukmin sebagaimana firman-Nya dalam (QS. al-Munafiqun: 8).

Ini berarti bahwa kemuliaan manusia tidak terletak pada kekayaan atau kedudukan sosialnya, tetapi pada nilai hubungannya dengan Allah swt. Siapa yang menghendaki kemuliaan, maka hendaklah dia menghubungkan diri dengan Allah dan tidak mengandalkan manusia guna meraihnya, karena; "Siapa yang mencari kemuliaan melalui suatu kaum, Allah akan menghinanya melalui mereka."

'lzzah (kemuliaan) bagi manusia berbeda dengan keangkuhan, karena kemuliaan merupakan cermin pengetahuan manusia tentang diri dan kedudukannya sehingga dia menempatkan dirinya pada tempat yang sewajarnya. Sedangkan keangkuhan adalah cermin dari ketidaktahuan manusia akan diri dan kedudukannya sehingga dia menempatkan diri di atas kedudukan yang sebenarnya. Agaknya inilah yang menjadi sebab sehingga pada umumnya dalam Al-Qur'an kata 'Aziz yang menjadi sifat Allah, sering kali disusul oleh kata Hakim, yang mengandung makna memperlakukan sesuatu dengan bijaksana sehingga dengannya diraih manfaat atau ditampik mudharat. 


Bahkan dalam Al-Qur'an tidak ditemukan kata 'Aziz yang menjadi sifat Allah, kecuali digandengkan dengan salah satu-Nya yang lain yang dipilih-Nya sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti al-Qawiyy, ar-Rahim, al-Hamid, al-Ghaffar, al-Ghafur, Dzuntiqam, "Sifat 'aziz yang merupakan sifat Nabi Muhammad saw. pun dirangkaikan dengan sifat Ra'uf ar-Rahim (sangat penyantun lagi penyayang) (QS. at-Taubah: 128). Kata 'aziz dalam Al-Qur'an yang tidak disertai dengan sifat lain hanya tertuju kepada manusia yakni yang diucapkan putra-putra Nabi Ya'qub as. ketika mereka datang menemui penguasa Mesir untuk memohon agar saudara mereka yang ditangkap dapat dilepaskan (QS. Yusuf: 78). Demikian Wa Allah A'lam. [dutaislam.or.id/ka

Sumber:
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 40-41, ditulis M. Quraish Shihab

Iklan