Nasinalisme di Asia Tenggara. Foto: istimewa. |
Oleh Afrizal Qosim Sholeh
Dutaislam.or.id - Nasionalisme di Siam, Thailand terbentuk dari gertakan beberapa kelompok saparatis Islam, akan kekakuan pemerintah dalam membatasi hak-hak dasar bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam posisi mereka sebagai negara persemakmuran dari Kerajaan Inggris yang ofensif, yang meniadakan rasa belas kasih bahkan mengklasifikasi etnis di Thailand.
Mereka berupaya untuk tidak mempertemukanetnis satu dengan lain. Tujuan dilakukannya upaya tersebut adalah untuk mengadu-domba. Tapi sial yang diterima Inggris, ikhtiar itu malah memicu gejolak batin bagi beberapa etnis yang hidup di sana. Tanpa terkecuali.
Sementara itu, Mohammad Abu Bakar, Omar Farouk dan Nagasura Madale masing-masing juga menjabarkan penelitian mereka mengenai nasionalisme di Asia Tenggara. Dari keempat hasil penelitian tersebut, selain unsur yang melatar-belakangi spirit nasionalisme Melayu, penulis juga menemukan nilai positif yang lahir atas gejala nasionalisme dan kegaduhan politik nation-state.
Baca: Mahasiswa Baru Kumandangkan Mars Ya Lal Wathon di PBAK IAIN Kediri
Ketimpangan pemimpin dan jatah hak etnis ataupun identitas masing-masing menjadi bahan wajib atas persekutuan suatu bangsa pasca-kemerdekaan. Tapi toh, di satu sisi, nasionalisme tetap menjadi hal ihwal yang sanggup mempersatukan ras, etnis, golongan, agama dan bangsa tatkala mereka merasa dijajah. Antara nasionalisme dan islamisme masing-masing menolak berbagai bentuk penjajahan.
Sebenarnya, munculnya nasionalisme di Filipina, Thailand dan Malaysia tidak terlalu berbeda jauh dengan merebaknya semangat nasionalisme di Indonesia. Mahbub Djunaidi (1983) menyebutkan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia, lahir disebabkan semangat yang menggelora untuk merebut kemerdekaan dari bangsa kolonial. Sejalan dengan etnis Siam di Thailand, kolonialisme dan imperialisme merupakan batu sandungan sebuah bangsa untuk maju. Sehingga mau tidak mau, mereka perlu dikembalikan ke tempat muasalnya.
Nasionalisme di daerah Melayu sangat minim. Solidaritas etnis yang menjerat, kurang demikian diketahui oleh etnis Melayu itu sendiri. Kecenderungan atas lokalitas yang didiami itu, menjadi salah satu faktor pendukung kurangnya semangat nasionalisme terhadap bangsanya sendiri. Akan tetapi, baik Islam maupun nasionalisme sama-sama menentang penjajahan inggris.
Empat dari dua hasil penelitian mendalam tersebut, penulis menemukan integrasi pendidikan dan reorganisasi madrasah sebagai bentuk memajukan pendidikan bangsa.Kita tahu, pendidikan agama Islam di Asia Tenggara berbasis pada pesantren/pondok. Entah itu di Thailand, Malaysia, Filipina semua menyebutnya sebagai pondok. Itu kearifan lokal dan keagungan pendidikan tradisional yang hidup di wilayah Asia Tenggara.
Dari sana kita mengetahui urgensitas pendidikan pesantren sebagai bentuk pendidikan karakter awal di Asia Tenggara. Seperti di Filipina, kongres pertama tentang Madrasah yang diselenggarakan untuk menerapkan Instruksi No. 1221, tanggal 31 Maret 1982, yang menyerukan untuk mengadakan suatu program bagi pengembangan madaris(jamak dari kata madrasah).
Pemerintahan Siam menggunakan pendidikan sebagai sebuah mekanisme terciptanya keseragaman nasional. Sistem pendidikan yang coba mereka bentuk menekankan pada penyaluran kebudayaan nasional, penyusunan dan pengagungan sejarah nasional, serta pengajaran lembaga-lembaga dan bahasa nasional.
Ketika ada seruan untuk mengubah pondok ke sekolah-sekolah swasta yang mengajarkan Islam, beberapa tokoh muslim menolak. Alasan mereka, bahwa pesantren bukan ikhtiar pemecah-belah politik identitas bagi negara. Tetapi pondok adalah tempat pendidikan tradisional yang sanggup membangun norma-norma, etika dan perilaku baik bagi negara.
Pencairan atas kecamuk kondisi sosial masyarakat yang kurang menguntungkan tersebut mengubah beberapa haluan kebijakan publik di sana. Berdasar pada satu suara kesatuan semangat nasionalisme. Kebijakan yang disepakati, sebisa mungkin dapat diikuti dan bisa bermanfaat, fleksibel bagi semua etnis. Dimulai dari kesepakatan pemakaian bahasa daerah dan budaya pendidikan sebagai patron pendidikan nasional.
Pun tidak terlalu berbeda jauh dengan merebaknya semangat nasionalisme di Indonesia. Mahbub Djunaidi (1983) menyebutkan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia, lahir musabab semangat yang menggelora untuk merebut kemerdekaan dari bangsa kolonial. Sejalan dengan etnis Siam di Thailand, kolonialisme dan imperialisme merupakan batu sandungan sebuah bangsa untuk maju. Sehingga mau tidak mau, mereka perlu dikembalikan ke tempat muasalnya.
Polarisasi itu menemukan titik benang merahnya, bahwa spirit nasionalisme mempunyai hubungan simbiotik dengan dunia pendidikan. Spirit nasionalisme membuncah, menyangga beberapa faktor pendukung berdirinya sebuah lembaga pendidikan yang membentuk karakter patriotism.
Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang didirikan oleh Siradjuddin Abbas dari Padang pada tahun 1918 telah mengadopsi pengajaran-pengajaran kaum reformis-modernis. Citra pendidikan tradisional meningkat, dengan menambahkan pelajaran-pelajaran umum di dalam metode pembelajaran mereka.
Perti berhasil mempengaruhi proses modernisasi surau tradisional di Jambi, Tapanuli, Bengkulu, Aceh, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Ini merupakan pencapaian terbaik dunia pendidikan di luar tanah Jawa. Sebab seperti Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh KH.Hasyim Asy’ari baru memulai era reformasi pendidikan pada tahun 1920-an.
Nasionalisme di daerah Melayu sangat minim. Solidaritas etnis yang menjerat, kurang demikian diketahui oleh etnis Melayu itu sendiri. Kecenderungan atas lokalitas yang didiami itu menjadi salah satu faktor pendukung kurangnya semangat nasionalisme terhadap bangsanya sendiri.
Merintis Pembaharuan Madrasah
KH.Ali Maksum masyhur sebagai ulama modernis. Ia pembaharu metode pendidikan di Pesantren Termas di tahun 1932, sekaligus menjadi penanda tonggak era awal pembaharuan pendidikan pesantren di Indonesia secara universal. Setelah era KH. Hasyim Asy'ari pendiri Pesantren Tebuireng Jombang.KH.A. Wahid Hasyim pada tahun 1919 mendirikan Madrasah Salafiyah sebagai respon atas perubahan sosial atas dinamika zaman secara global.
Di era-era penjajahan Belanda dan Jepang, untuk mendirikan madrasah butuh keberanian lebih. Apalagi mengubah kurikulum salafi ke khalafi yang dilakukan oleh KH. Ali Ma’shum. Pada dasarnya, perubahan yang dilakukan oleh Wak Ali (sapaan akrab ketika di Tremas) terkunci dalam pembaharuan kitab-kitab yang dipakai. Penambahan kitab-kitab kontemporer yang diekspor dari Timur Tengah oleh beliau sangatlah kaya.
Kecenderungan Mbah Ali adalah membebaskan para santrinya untuk membaca apa saja kitab yang ingin mereka baca. Tak ada batasan atau larangan untuk tidak membaca kitab ini dan itu. Tapi, tetap saja kitab-kitab klasik menjadi kitab pokok. Selebihnya hanya sebagai perluasan wawasan dan sedikit perbandingan keilmuan.
Keterbukaan dan keluwesan Mbah Ali inilah yang tertular kepada para santrinya. Pemikiran para santrinya, tumbuh secara kompleks. Santri beliau pun variatif cara pandangnya. Ada yang liberatif, humanis, kontroversial, teologis, fundamentalis dan bahkan ekstrimis. Sedemikian berharganya warisan-warisan pemikiran Mbah Ali terhadap santrinya.
Keragaman pemikiran inilah yang oleh Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai "adil sejak dalam pikiran", yakni Keadilan yang berbasis di dalam pikiran itu digerakkan oleh masing-masing kecenderungan yang berbeda-beda. Ada yang suka kajian teologis, ya jadinya ahli teologi. Ada yang demokratis dan humanis. Ada yang hanya berkutat pada ihwal organisatoris dan peta politik,dan banyak yang lainnya.
Melalui capaian integritas antara keilmuan klasik dengan keilmuan kontemporer tersebut, Wak Ali mengubah weltanschauung pesantren pada umumnya. Tidak lagi kekolotan terdengar sebagai stereotype pada saat itu. Sebab keberanian Mbah Ali.
Defensifitas Salafi dan Kecamuk FDS
Berbekal kitab kuning, pesantren salafi mencoba mengenalkan segi spiritualitas serta ketahanan mental yang tangguh terhadap para santrinya. Setiap harinya, mereka ditempa dan dibina dalam pengajian-pengajian yang berpusat di surau pesantren dan rumah kiai.
Satu pengajian kitab kuning, yang bisa memakan waktu hampir paruh hari itu menjadi semacam tamrin defensifitas bagi para santri. Uji kesabaran, ketahanan fisik, konsentrasi dan ketelatenan menulis dalam ruang yang seadanya.Penempaan inilah, yang penulis sebut sebagai defensifitas salafi.
Sementara di pesantren telah tertanam begitu kokoh prinsip character buildingdengan penempaan secara fisikal, psikologis, sosiologis bahkan ekonomis dalam jangka waktu berhari-hari, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, Kemendikbud malah mengeluarkan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Kebijakan yang kemudian masyhur dengan FDS (Full Day School atau Five Days School), menengarai beberapa kecaman dan penolakan.
Kebijakan anyar yang dilontarkan oleh Kemendikbud tersebut, menitik-beratkan pada prinsip penggodokan dan pembibitan karakter yang bertumpuk di sekolah secara totalitas.Siswa menjalani semacam karantina berat, delapan jam pelajaran yang harus mereka tempuh.
Sementara pemerintah baru memikirkan hal tersebut, umat pesantren sudah sejak tiga abad yang lalu menerapkan dan mempraktekkannya secara kultural pun struktural.Tiga abad yang lalu, pesantren telah menjadi produk budaya yang unggul dalam mencetak dan mengkader anak bangsa dalam menghadapi kemajuan.
Meski belum demikian terang arah dan beberapa kajian kitab yang dipakai alias kurikulum, tetapi pesantren telah mencetak tokoh-tokoh nasional. Misal P. Diponegoro santri dari KH. Hasan Besari Ponorogo, Tumenggung Tirtorejo Bupati Pertama Gresik santri dari KH. Qomaruddin, Ki Hajar Dewantoro santri dari KH. Sulaiman Zainuddin, R.A. Kartini santri dari KH. Sholeh Darat, Jendral Sudirman santri dari KH. Subchi Parakan dan masih banyak lagi tokoh-tokoh nasional yang lain.
Dan sekarang masih ada yang berani meragukan pesantren?
Sejak dari zaman penjajahan, pesantren sering berfungsi sebagai kubu pertahanan bangsa dalam memperjuangkan lahirnya kemerdekaan.Pesantren benar-benar mencetak kader-kader bangsa yang patriotis, rela mati demi memperjuangkan bangsa Indonesia. Serdadu barisan Hizbullah dan Sabilillah. Hampir sama gerakan sosial keagamaannya dengan yang ada di Asia Tenggara yang penulis sebutkan di awal.
Sedang zaman awal kemerdekaan, pesantren menurut Mbah Ali segera beradaptasi dengan menciptakan kader-kader yang sanggup memimpin bangsa, serta tidak kalah mutu dengan kader-kader produksi perguruan tinggi, sampai kini pun banyak kader akademisi yang kalah bobot dengan kader ciptaan akademisu (akademi surau). Sebab institusi tersebut telah memelihara kemurnian pesantren seperti pada fungsinya semula. Baik fungsi religi (din), fungsi sosial (ijtima'i) dan fungsi edukasi (tarbawi).
Polarisasi itu menemukan titik benang merahnya, bahwa spirit nasionalisme mempunyai hubungan simbiotik dengan dunia pendidikan. Spirit nasionalisme membuncah, menyangga beberapa faktor pendukung berdirinya sebuah lembaga pendidikan yang membentuk karakter patriotisme. [dutaislam.or.id/ab]
Afrizal Qosim Sholeh, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Daftar Pustaka
- Abdullah, Taufik & Sharon Shiddique, (1989) Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3S)
- Bruinessen, Martin van., (1995) Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Bandung: Mizan)
- Geertz, Clifford., (1976) The Religion of Java (Chicago: University of Chicago Press)
- Latif, Yudi., (2006) Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Jakarta: Mizan)
- Ma’shum, Ali., (1989) Ajakan Suci (Yogyakarta: LTN Yogyakarta)
- Mochtar, Affandi., (2009) Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren (Bekasi: Pustaka Isfahan)
- Muhdlor, Zuhdi., (1989) KH. Ali Maksum Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya (Yogyakarta: Multi Karya Grafika)
- Munawiroh, H. E. Badri, (2007) Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Depag RI)
- Qomar, Mujamil., (2005) Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Penerbit Erlangga)
- Zamhari, Arif., (2010) Rituals of Islamic Spirituality: A Study of Majlis Dhikr Groups in East Java (Australia: ANU E Press)
Keterangan:
Naskah ini pernah dikirimkan penulis ke Panitia Hari Santri 2017, dengan judul asli: Melacak Tradisi Nasionalisme Asia Tenggara, Membangun Madrasah dan Defensifitas Salafi (Kajian Pemikiran KH. Ali Maksum 1915-1989)