Sejarah Santri dan Pesantren untuk NKRI. Foto: istimewa. |
Oleh Yuliana
Dutaislam.or.id - Sejenak saya menelisik lebih jauh bahwa hidup di pesantren ibarat menyelam sambil minum. Menjadi seorang santri adalah permata terindah dalam hidup. Banyak keistimewaan dan keunikan hidup yang akan diperoleh oleh mereka (baca: santri) yang belajar di pondok pesantren. Di pesantren, seorang santri belajar hampir 24 jam yang menjadi salah satu kekhasan dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lain.
Seiring bergulirnya waktu, sistem pembelajaran yang berlangsung di pesantren banyak ditiru oleh berbagai lembaga pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kontroversi tentang lahirnya peraturan baru dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhajjir Effendy tentang full day school (FDS).
Istilah full day school (FDS) berasal dari kata day school (bahasa Inggris) yang artinya hari sekolah. Pengertian hari sekolah adalah hari yang digunakan sebuah institusi untuk memberikan pendidikan kepada anak usia sekolah dengan nama full day school (FDS), sehingga pendidikan yang dijalankan sehari penuh mulai pagi hari menjelang sore.
Kontroversi Kebijakan Full Day School (FDS)
Berbicara masalah full day school, saya teringat dengan berita yang hangat di berbagai media sosial maupun median massa tentang aksi kecaman bahkan penolakan secara terang-terangan dari banyak kalangan, terutama kaum sarungan (santri) dan guru Madin di Pasuruan pada tanggal 20 Agustus 2017 yang lalu. Ratusan santri dan guru Madin memasang 1000 spanduk yang bertuliskan penolakan atas FDS.
Spanduk tersebut sengaja ditulis dalam rangkaian kata-kata yang beragam atas aksi penolakan tersebut, diantaranya "Pak Jokowi kami menolak lima hari sekolah! selamatkan madrasah diniyah dan TPQ". Sebagian ada lagi spanduk yang bertuliskan "five days school dan permendikbud 23/2017 mematikan madrasah diniyah dan TPQ dan membunuh karakter anak bangsa".
Baca: Melacak Tradisi Nasionalisme Asia Tenggara, Membangun Madrasah dan Defensifitas Salafiyah
Setelah memasang spanduk beserta atribut yang lain, sebagian dari santri dan guru Madin berkumpul menggelar orasi di pertigaan jalan raya Grati, tepatnya di pertigaan Semambung Kecamatan Grati. Dalam orasi tersebut mereka mendesak pemerintah untuk mencabut permendiknas nomor 23 tahun 2017.
Setiap kebijakan dari pemerintah memang tidak akan pernah terlepas dari dampak positif dan negatif, seperti halnya sistem full day school kala itu. Sesekali full day school memang mampu meminimalisir kegiatan anak didik di luar jam sekolah. Peserta didik yang terbiasa keluyuran di sore hari berubah aktivitasnya menjadi belajar di sekolah secara penuh.
Namun, di sisi lain, hal itu justru mengakibatkan kejenuhan pada anak didik sebab harus belajar suntuk sehari penuh. Mereka memforsir otaknya dari terbitnya mentari pagi sampai menjelang hadirnya mega merah di ufuk barat.
Tidak hanya kejenuhan yang didapat oleh peserta didik, namun full day school juga merusak tatanan kegiatan belajar mengajar di madrasah diniyah. Akibatnya, aktivitas mengaji dan memperdalam ilmu agama kini tergantikan oleh full day school.
Ayo Mondok!
Tidak hanya five day school yang begitu boming di era modern ini, namun ada juga gerakan ayo mondok yang tidak kalah maraknya dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Ayo mondok adalah sebuah kampanye yang awalnya disuarakan oleh RMI (Ikatan Pondok Pesantren), apalagi saat ini didukung oleh lirik lagu Gus Azmi yang berjudul ayo mondok!
Yuk kita belajar dipondok pesantren
Biar menjadi anak sholeh dan keren
Jadi santri alim gaya tetap beken
Yuk kita belajar al-Quran, jurmiyh, imriti dan al-fiyah
Bahasa Arab, Inggris, dan juga Jepang. Ayo mondok!
Lirik lagu tersebut dapat kita jumpai di bergai media sosial. Demikian juga dengan gerakan ayo mondok menjadi tranding topic dan ramai dibicarakan di media sosial seperti Facebook, bahkan di Twitter dan Instagram.
Baca: Menghadapi Jeratan Ideologi HTI yang Problematis bagi Negara Demokrasi
Saya pribadi sangat terharu mendengar ajakan ayo mondok, sebab kampanye itu adalah jalan yang mengajak kita menuju fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), dan juga merupakan suatu dorongan atau stimulus untuk mengajak para orangtua untuk menyekolahkan anaknya di pondok pesantren dengan istilah “mondok” (menetap) di tempat itu.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang eksistensinya tidak terlepas dari proses masuknya Islam di Indonesia, serta perannya begitu besar untuk bangsa dan Negara Indonesia.
Pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran an yang artinya "tempat tinggal santri". Sedangkan tempat tinggal santri diistilahkan dengan pondok. Dan pondok itu berasal dari bahasa Arab, funduq yang artinya penginapan, hotel atau tempat bermalam. Komponen pesantren terdiri dari kyai, masjid, pondok, dan kitab kuning.
Pesantren memang merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang berkembang di pedesaan, tetapi diam-diam atau terang-terangan mengubah diri dan mengimbangi denyut perkembangan zaman. Seiring dengan tantangan global, serta tuntutan masyarakat atas kebutuhan pendidikan umum, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum.
Kemudian muncul jenis pesantren salaf dan pesantren modern. Pesantren salaf adalah pesantren yang murni yang mengajarkan atau mengkaji pendidikan Islam saja yang bertumpuh pada pembelajaran kitab kuning. Sementara pesantren modern adalah pesantren yang juga mengajarkan pendidikan umum di samping juga pendidikan agama.
Panca Jiwa Pesantren
Pesantren merupakan tempat menempa diri, banyak mengkaji ilmu ilahi, serta ramai dengan suara santri yang mengaji. Di pesantren kita banyak menikmati indahnya kebersamaan. Suka dan duka dirasakan bersama, bahkan sesekali santri harus tidur dengan rela berbantal derita dan beralaskan air mata.
Namun hal itu tidak menjadi problem dalam kehidupan santri. Keseharian santri tetap bahagia dan penuh dengan banyak ridha ilahi. Belajar di pondok pesantren memiliki keistimewaan dibandingkan lembaga formal lainnya yang bersistem kurikulum full day school.
Menjadi santri yang sejati berarti kita harus menjunjug tinggi panca jiwa pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya. Pertama, menanamkan jiwa keihlasan. Santri yang berdiam di pondok pesantren dituntut untuk senantiasa melakukan kebaikan tanpa didorong oleh ambisi apapun atau memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu, tetapi semata-mata mengharap ridha Allah swt. Keikhlasan seorang santri senantiasa terpancar dalam kehidupan seorang sehari-hari, yang dibuktikan dengan sikap berbagi ketika melihat temannya yang menderita.
Kedua, menanamkan jiwa kesederhanaan. Sederhana bukan berarti pasif, melarat, dan miskin, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Dibalik kesederhanaan itu tercermin jiwa yang besar, berani, dan senatiasa terus menghadapi perkembangan dan dinamika sosial. Kesederhanaan memang menjadi identitas atau ciri khas yang unik yang melekat pada diri seorang santri. Santri senantiasa sederhana dalam segi penampilan maupun dari menu makanannya.
Ketiga, menanamkan ukhuwah islamiyah yang kuat. Hidup di pondok pesantren, jauh dari keluarga membuat para santri memiliki jiwa persaudaraan yang tinggi, hidup berdampingan saling tolong menolong menciptakan kekeluargaan dan perdamaian. Walaupun mereka berasal dari berbagai suku, ras, dan bahasa yang berbeda, tetapi persaudaraannya begitu erat. Perbedaan kultur dan budaya tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu.
Keempat, seorang santri harus menanamkan jiwa kemandirian. Santri mandiri adalah mereka yang yang tidak pernah tergantung kepada orang lain. Mandiri cerminan santri sejati. Di pondok, santri dituntut untuk mencuci sendiri, menanak sendiri tanpa membeli. Kemandirian seorang santri merupakan bekal hidup ketika pulang ke kampung halamannya.
Kelima, menanamkan jiwa bebas dalam memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dirinya maupun optimis memperjuangkan negaranya. Semangat juang santri memang tidak pernah goyah, karena ia adalah teladan banyak kalangan.
Konstribusi Pesantren Untuk NKRI
Keberadaan pesantren memang selalu menjadi garda terdepan dalam perjuangan umat. Sistem pembelajaran all day mampu menjadikan santri yang hakiki. Di pondok pesantren santri senantiasa diajarkan untuk memiliki jiwa nasionalisme. Rasa empati dan simpati yang senantiasa tertanam dalam keseharian santri adalah bukti terkecil bahwa santri memiliki jiwa dan raga yang selalu siap untuk membela negara.
Menurut KH. Wahid Hasyim, jiwa nasionalisme di pesantren (santri) terbangun atas tiga nilai, yaitu persaudaraan sama muslim (ukhuwah islamiyah), antar semua anak bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan antar sesama manusia (ukhuwah insaniyah).
Lembaga pondok pesantren telah memberikan peranan penting dalam menyebarkan Islam dan mengadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat ke arah yang lebih baik serta mampu membentuk anak bangsa menjadi generasi tafaqquh fiddin.
Baca: Menolak Kelompok yang Berbisnis Agama untuk Kekuasaan
Pesantren merupakan ciri khas keindonesiaan yang berkembang sejak sebelum kemerdekaan sampai saat ini. Negara indonesia tidak dapat dipisahkan dari pondok pesantren mulai sejak zaman penjajahan. Pesantren sudah eksis menyerukan jiwa nasionalisme dengan jargonnya “hubbul wathon minal iman”. Ini karena, pesantren merupakan sebuah lembaga yang tidak hanya mendidik dalam hal ilmu agama saja, akan tetapi pesantren juga memberikan penyadaran kepada umat Islam untuk mencintai tanah air sebagai cermin keberimanan.
Konstribusi terbesar pesantren terhadap negara Indonesia sudah tercermin sejak zaman penjajahan dulu. Berbekal bambu runcing dan takbir, seluruh santri yang bermukim di pesantren menuju medan perang untuk menyingkirkan kemungkaran di bumi Indonesia tercinta. Pedihnya peluru tidak menyurutkan niat para pejuang bangsa untuk membela negara, sebab kemakmuran dan kejayaan suatu bangsa adalah kunci ketentraman umat Islam dalam beribadah kepada Allah.
Tempat yang sangat strategis untuk menuntut ilmu tiada lain adalah pondok pesantren. Beragam ilmu pengetahuan dikaji di tempat tersebut, mulai dari ilmu agama maupun ilmu umum. Sistem pendidikan pesantren lebih berkualitas dibanding sistem pendidikan full day school di lembaga pendidikan formal. FDS hanya menjenuhkan peserta didik dan membuat peserta didik merasa terkekang menjalani sistem kurikulum FDS.
Pada akhirnya, sistem pembelajaran di pesantren merupakan sistem yang menyenangkan bahkan menenangkan. Sebab belajar di pesantren memberikan kesan tersendiri dibanding belajar di luar pesantren. Di pesantren, nilai-nilai luhur selalu diajarkan, jiwa kemandirian, keihlasan, ukhuwah islamiyah serta toleransi menjadi penghias keseharian kaum santri. Di pesantren juga santri di didik cerdas secara intelektual dan spiritual. [dutaislam.or.id/ab]
Yuliana, mahasiswi INSTIKA Guluk-Guluk, Sumenep
Keterangan:
Naskah ini pernah dikirimkan penulis ke Panitia Hari Santri 2017, dengan judul asal: Full Day School? Ke Pesantren Saja.