Surat Al-Hujurat: 10. Foto: istimewa. |
Oleh KH. Ali Badri Masyhuri
Dutaislam.or.id - Banyak sekali orang menanyakan pendapat saya tentang nasab Baalwi yang sedang diperdebatkan ini, bahkan banyak tokoh meminta saya untuk mendinginkan dua kelompok yang sedang berdebat tentang nasab keluarga Baalwi itu, karena mereka menganggap ini adalah buntut dari perdebatan saya dengan RA (Rabithah Alawiyah) 18 tahun yang lalu.
Maka dengan memohon bimbingan Allah SWT, saya pun akan menjelaskan sesuai apa yang saya pahami, bukan sekedar masalah seputar nasab saja, tapi ada hal lain juga yang menurut saya membuat perdebatan itu menjadi tidak sehat, khususnya di kalangan awam.
Sebelum memulai pembahasan, ada lima hal yang harus dipahami terlebih dulu oleh saudara-saudara sekalian, yaitu:
Pertama, saya memang pernah "berkonflik" dengan RA, pasalnya RA tidak terima saya membuat perhimpunan keluarga Walisongo, karena RA menganggap Walisongo bagian dari Baalawi, sehingga dengan membuat perhimpunan keluarga Walisongo, saya pun dianggap mengaku habib, padahal saya membuat perhimpunan ini untuk silaturrahim.
Lebih jelas tentang ini mungkin bisa saya jelaskan pada kesempatan lain dan dalam bab khusus. Yang pasti saya merasa masalah antara saya dan RA sudah selesai, saya sudah berhubungan baik dengan ketua RA yang sekarang, Habib Taufiq Assegaf, sebagaimana yang saya tulis di status FB sebelum ini. Bahkan sekarang saya bukan lagi pengurus perhimpunan Walisongo dan saya berusaha netral dan obyektif di dalam menyikapi perseteruan kali ini.
Nah, ketika dulu saya "berkonflik" dengan RA itu, sedikitpun saya tidak membenci habaib, saat itu saya hanya jengkel saja karena --menurut saya-- mereka telah berlaku tidak adil kepada keluarga Walisongo, saya sudah turuti kemauan mereka untuk diskusi dan kamipun menyepekati sesuatu, bahkan bukan hanya sekali, namun kesepakatan itu tidak dipublikasikan oleh RA sehingga masih banyak Baalwi yang tidak tahu hasil diskusi itu kemudian "memusuhi" saya.
Saya mohon Baalawi yang tidak tahu sejarah ini jangan berkomentar apalagi menuduh saya berbohong, saya tidak mau berkonflik lagi dan supaya Baalawi keseluruhan tidak kena getahnya, saya masih menyimpan rekaman suara berisi kesepakatan saya dengan tokoh terkenal dari pihak RA!
Sekali lagi, saya tidak membenci RA dan anggotanya (habaib). Saat itu saya hanya jengkel, bahkan sangat jengkel sekali, apalagi saat itu saya baru berusia 32 tahun (darah muda hehe). Namun, apakah jengkel itu berarti benci? Tentu tidak! Saya juga sering jengkel pada anak-anak saya ketika mereka nakal, bahkan terkadang saya memarahi mereka.
Apakah ketika saya jengkel itu berarti saya membenci anak-anak saya? Demi Allah, ketika saya jengkel pada beberapa Baalwi yang "memusuhi" saya ketika itu, saat itu saya justru lebih sering mendoakan kebaikan untuk mereka daripada untuk saudara-saudara kandung saya, batin saya tertekan karena saya jadi terpisah dengan teman-teman Baalawi yang dulu akrab dengan saya, saya sampai jatuh sakit sebulan lebih dan sempat tidak bisa jalan, saya sering menangis ketika berharap mereka mau berbaikan dengan saya, karena diantara tujuan saya mebuka nasab keluarga Walisongo itu untuk bersilaturrahim dengan mereka, saya sampai berkata "kenapa kalian begitu berat menerima kami sebagai keluarga, padahal kami adalah keluarga-keluarga terhormat yang telah mempribumi?!"
Sekali lagi dan tidak akan saya ulangi lagi, sampai sekarang saya tidak membenci Baalawi apalagi yang ulama' (habaib), saya menyayangi mereka lebih dari sekedar saudara sedarah, karena saya juga melihat mereka sebagai saudara sesama anak ruhani Baginda Nabi; saya ingin beliau tersenyum melihat kami hidup rukun, apalagi saling bahu membahu mendakwahkan ajaran kasih sayang beliau, Nabi Muhammad Saw.
Kedua, istri pertama saya adalah dari keluaraga Bin Yahya Baalawi, ayah mertua saya bernama Habib Shaleh bin Hasan bin Aburrahman Bin Yahya, saya melihat sendiri nama beliau tercatat di buku induk Baalawi ketika saya bersilaturrahim ke kantor Naqabatul Asyraf Jakarta bersama kakak ipar saya.
Beliau tinggal di Majalengka, Habib Lutfi bin Yahya memanggil beliau "ammi" (paman) walaupun beliau lebih muda, karena urutan nasab beliau lebih tinggi dari nasab Habib Lutfi, bahkan Habib Lutfi sering singgah ke rumah beliau ketika sedang ada acara di Majalengka.
Ketika ayah mertua saya didatangi oleh beberapa orang pengurus RA dan mereka menyalahkan beliau karena menerima saya jadi menantu, beliau hanya berkata singkat: "Kalau kalian keberatan, hapus saja namaku dari buku Rabitha Alawiyah!" Beliau adalah keturunan Habib Awadh bin Yahya yang menikah dengan putri Adipati Semarang. Habib Awadh datang ke Jawa sebagai intelektual dan dekat dengan pribumi.
Beliau dari keluarga elit Hadramaut yang datang ke Jawa kemudian menikah dengan bangsawan pribumi dan berbudaya pribumi, banyak diantara keturunan beliau yang lebih memilih gelar "Raden" daripada gelar "Habib", diantara mereka adalah pelukis legendaris Raden Saleh Boestaman, Boestaman adalah nama kakek beliau dari pihak ibu; dengan bangganya beliau sematkan nama itu di belakang nama beliau, karena beliau sangat mencintai dan menghormati keluarga ibu yang masih keturunan Walisongo dan telah mempribumi.
Ketika sekarang keluarga Walisongo ribut dengan kelompok RA dan saya mengajak mereka untuk berdamai, sayapun sering diledekin dengan sindiran bahwa saya membela kelompok habib karena mertua saya habib. Saya mengajak damai bukan karena mau melindungi keluarga istri saya, saya bukan seorang pengecut yang tidak berani berkata tegas hanya karena mau melindungi keluarga, saya adalah pengikut orang yang berkata "seandainya anakku Fathimah mencuri nisacaya aku sendiri yang akan memotong tangannya"!
Dan kalaupun hubungan keluarga itu ada gunanya, saya hanya akan memanfaatkannya untuk memaafkan orang, saya sering bilang pada anak-anak saya ketika mereka mendengar ada anggota RA mencaci saya: "Nak, buya sudah memaafkan mereka, lagi pula mereka adalah keluarga ibumu, berati mereka masih kelurgamu juga, jadi kalian jangan membenci mereka".
Bahkan kalau ada habib datang ke rumah saya, sayapun selalu memberi hadiah, terkadang saya meminjam uang ke istri saya dan ketika dia bertanya buat apa maka sayapun berkata, "mau ngasi keluarga umi..", diapun tersenyum dan mengerti kalau di luar ada tamu habib. Bersambung ke judul: Menjual Nasab Adalah Pecundang! [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Mayshuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (1) yang dimuat pada 7 Mei 2023.