Non sayyid menikahi syarifah. Foto: istimewa. |
Oleh KH. Ali Badri Masyhuri
Esai ini adalah sambungan dari esai ke-12 berjudul: Doktrin Sesat Kafa'ah Nikah Ba'alawi di Indonesia.
Dutaislam.or.id - Sebelum saya lanjutkan pada pemahaman kedua, perlu saya jelaskan bahwa semua dalil yang dibuat untuk mendukung paham mereka itu terkesan dipaksakan. Mereka menjadikan istidlal yang lemah untuk bahan doktrinisasi.
Saya siap melumpuhkan setiap istidlal mereka dengan semua dalil itu. Sejak tahun 2007, saya sudah mengajak Rabithah Alawiyah untuk diskusi terbuka membahas fatwa Habib Utsman bin Yahya terkait kafa'ah.
Baca: Awal Mula Konflik Habaib dan Dzuriyah Walisongo (3)
Saya sudah bertoleransi dengan mengatakan bahwa itu masalah khilafiyah. Silakan dipakai dengan tanpa menghina orang lain yang tidak sependapat, tapi mereka bersikeras menganggap itu sebagai pendapat yang disepakati oleh semua ulama' Baalawi.
Jadi, para pendukung Rabithah Alawiyah terkait bab kafaah ini, baik habaib maupun muhibbin, tidak usah membawa dalil di hadapan saya. Kalau mau silakan ketua Rabithah Alawiyah sendiri yang menghadapi saya, saya menunggu mereka sejak 16 tahun yang lalu.
Pemahaman Kedua, non sayyid yang menikahi syarifah berarti tidak beradab pada Rasulullah SAW, bahkan pernikahan itu tergolong maksiat, maka tidak boleh dihadiri akad nikahnya.
Sebenarnya ini berasal dari pemahaman bahwa istri adalah pelayan suaminya. Ketika saya masih muda dan belum menikah, ada seorang habib yang sudah agak tua menasehati saya. Beliau berkata begini:
"Kalau ente menikah nanti, lakukan ini di hari pertama, ente suruh istri ente untuk mengambil air minum. Kalau dia bawa segelas air minum tanpa alas lepek maka bentaklah dia dan suruh kembali ke dapur untuk membawa gelas dengan alas lepek. Kalau sudah pakai lepek tapi gelasnya tidak ditutup maka bentak lagi dan suruh kembali ke dapur untuk membawa gelas tertutup. Kalau dia kembali dengan gelas tertutup maka ente minum sekidit kemudian bentak dia. Ente bilang saja airnya bau, suruh dia mengambil air lagi. Intinya, buat dia takut sama ente sejak hari pertama".
Tentu saja ini bukan ajaran semua habaib, namun setidaknya kita bisa memahami bagaimana sebagian mereka memperlakukan istri. Yang pasti, sejak zaman jahiliyah, sudah mentradisi di kalangan orang Arab bahwa kaum perempuan adalah mangsa, bahasa arabnya disebut farisah (فريسة), sedangkan kaum laki-laki adalah pemangsanya.
Baca: Konflik Imigran Yaman Membuat Umat Islam Pribumi Terganggu
Itu sebabnya, dalam tradisi itu, perempuan harus menikah minimal dengan yang sederajat, karena perempuan adalah pihak yang dimangsa. Perempuan tidak boleh "dimangsa" oleh laki-laki yang dibawah derajat keluarganya, karena hal itu akan menjadi aib ('ar) bagi keluarga.
Ulama' fiqih kemudian mempertimbangkan tradisi itu untuk menjaga keharmonisan masyarakat, yaitu dengan menyarankan pernikahan perempuan dengan yang sederajat (sekufu'), baik dalam segi nasab, ekonomi dan sebagainya. Bahkan ulama fiqih melarang seorang ayah menikahkan anak gadisnya dengan lelaki yang tidak sekufu tanpa persetujuan anak gadisnya.
Ketika saya menikah lagi dan istri saya merajuk minta pulang, saya pun berusaha meyakinkannya bahwa sedikit pun perasaan saya tidak berubah padanya; saya tetap menyanginya dan bahkan semakin menyayanginya, saya pun selalu meminta maaf padanya. Sedangkan salah seorang habib teman saya bercerita, bahwa ketika dia menikah lagi dan istri pertamanya minta pulang maka ia pun berkata: "Ya pulang sendiri sana, aku tidak mau mengantar, kan kamu sendiri yang mau pulang!".
Jadi, ya.. memang beda tradisi! Maka beda pula hukumnya.
Nah, masyarakat atau komunitas apapun yang menjalankan tradisi seperti itu, baik di Arab maupun di luar Arab, yakni menganggap bahwa perempuan adalah mangsa, tentu saja mereka akan beranggapan bahwa non sayyid yang menikahi syarifah itu tidak beradab pada Rasulullah SAW, karena mereka membayangkan syarifah itu akan menjadi pelayan bagi suaminya.
Itulah sebabnya ada seorang habib yang mengibaratkan non sayyid yang menikah dengan syrifah itu seperti orang shalat yang hanya memakai celana kolor di bawah lutut, tidak pakai baju, shalatnya sah tapi tidak beradab.
Beliau pun melarang menghadiri pernikahan syarifah dengan non sayyid. Saya tidak yakin itu adalah pemahaman yang diajarkan oleh kekek beliau yang datang dari Hadramaut sebagai ulama'. Saya yakin habib itu hanya terpengaruh dengan paham Rabithah Alawiyah yang sejak awal memang menentang faham mayoritas habaib Hadramaut.
Maka menvonis non sayyid yang menikah dengan syarifah sebagai orang yang tidak beradab pada Rasulullah SAW, sebenarnya itu hanya suudzon saja. Mereka pikir semua orang sama seperti mereka didalam memperlakukan istrinya. Namun kalau suudzon ini dijadikan dasar untuk menghukumi setiap non sayyid yang menikahi syarifah, maka jelas ini adalah pemahaman sesat.
Baca: Kebohongan dan Fitnah Robitoh Alawiyah Terkait Keturunan Walisongo (6)
Ini bertentangan dengan fakta bahwa leluhur ahlulbait sendiri yang pernah menikahkan putri-putri mereka dengan non ahlulbait. Setidaknya saya tulis 10 nama ini saja sebagai bukti:
- Ruqayyah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Utsman bin Affan.
- Ummu Kultsum binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Utsman bin Affan.
- Zainab binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Abul ‘Ash.
- Ummu Kultsum binti Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Umar bin Al-Khatthab.
- Sukainah binti Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Zaid bin Umar bin Utsman bin Affan.
- Fathimah binti Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan.
- Fathimah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.
- 'Idah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.
- Fathimah binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.
- Ummul Qasim binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.
Terkait pernikahan Sayyidina Utsman dengan dua putri Rasululullah SAW, habaib Indonesia biasanya berkata: "Itu adalah khushushiyah, Rasulullah SAW bisa menikahkan siapapun dengan siapapun. Selain itu, wanita Ahlulbait tidak boleh menikah dengan pria non ahlulbait".
Dengan demikian berarti, menurut mereka, Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah durhaka karena menikahkan seorang putrinya dengan Sayyidina Umar bin Al-Khatthab. Keluarga Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husain juga telah durhaka empat kali karena menikahkan dua orang putrinya dan dua orang saudarinya dengan non ahlulbait. Demikian juga keluarga Sayyidina Hasan Al-Mutsanna telah durhaka dua kali karena menikahkan dua orang putrinya dengan non ahlulbait.
Baca: Menyoal Klaim Sanad dan Ilmu Thariqah Ba'alawi (10)
Baiklah, saya akan membawa saudara-saudara sekalian pada kisah Sayyidina Umar, seoarang sahabat yang shaleh dan pejuang non ahlulbait. Ketika beliau melamar seorang syarifah cucu langsung Rasulullah SAW, yaitu Sayyidah Ummu Kultsum binti Fathimah binti Rasulullah SAW, Sayyidina Umar mau menikahi Sayyidah Ummu Kultus hanya untuk mendapatkan kehormatan dan hubungan sabab dengan Rasulullah SAW, yakni menjadi menantu cucu Rasulullah SAW. Karena beliau pernah bersabda:
كل سببٍ ونسبٍ منقطعٌ يوم القيامة إلا سببي ونسبي
Terjemah:
"Semua hubungan sabab dan nasab itu terputus pada hari kiamat, kecuali sababku dan nasabku".
Yang dimaksud hubungan sabab adalah hubungan pernikahan. Maka semua orang yang menikahi keturunan Rasulullah SAW berarti memiliki hubungan sabab dengan beliau. Itulah "sabab" menurut pemahaman Sayyidina Umar dan para sahabat lainnya, sehingga mereka pun mengusulkan agar Sayyidina Umar menikahi Sayyidah Ummu Kultsum.
Ketika Sayyidina Umar sang Khalifah melamar Sayyidah Ummu Kultsum pada Sayyidina Ali, Sayyidina Ali langsung menolak. Apa apalasannya? Apakah karena Sayyidina Umar bukan Bani Hasyim dan tidak sekufu' nasabnya dengan Sayyidah Ummu Kultsum? Tidak. Sama sekali tidak!
Alasan beliau hanya dua saja, pertama karena Sayyidah Ummu Kultsum masih terlalu muda untuk menikah, kedua, karena Sayyidina Ali sudah berniat untuk menikahkan Sayyidah Ummu Kultsum dengan anak saudaranya, yakni putra Sayyidina Aqil bin Abi Thalib.
Baca: Sejarah Majlis Dzurriyat Walisongo Diserang Habaib (5)
Namun Sayyidina Umar memohon-mohon agar Sayyidina Ali menerima lamaran itu. Beliau menjelaskan alasan kenapa beliau sangat berharap dapat menikahi Sayyidah Ummu Kultsum, yaitu untuk mendapatkan hubungan sabab sebagaimana Hadits Nabi tadi. Sayyidina Umar kemudian meyakinkan Sayyidina Ali dengan berkata:
زوِّجْنيها يا أبا الحسن، فإني أرصد من كرامتها ما لا يرصده أحد، هي عندي مكرمةٌ أشد التكريم
Terjemah:
"Nikahkan aku dengannya, wahai Abul Hasan, sesungguhnya aku akan menjaga kemuliaannya dimana tidak ada orang lain yang dapat menjaganya melebihi aku, bersamaku dia akan sangat dimuliakan".
Melihat ketulusan Sayyidina Umar itu, akhirnya Sayyidina Ali menikahkan beliau dengan Sayyidah Ummu Kultsum.
Saya jadi teringat beberapa minggu lalu ada tayangan di Youtube, seorang kiai pengasuh Pesantren di Rembang Pasuruan mengeluhkan apa yang terjadi pada beliau. Beliau menikahi syarifah kemudian dimusuhi oleh habaib, padahal ceritanya begini:
Syarifah itu sejak kecil ditelantarkan oleh ayahnya. Akhirnya, syarifah itu diasuh oleh kiai sepuh desa Rembang, namanya Kiai Yazid, dan beliau sudah wafat. Saya kenal baik dengan beliau dan beliau pernah ke rumah saya. Kiai Yazid mengasuh dan mendidik syarifah itu dengan baik layaknya putri sendiri, hingga syarifah itu tumbuh dewasa dan menjadi ustadzah.
Kiai Yazid yang sudah menganggap syarifah itu sebagai putri sendiri kemudian menjadikannya menantu, dinikahkan dengan salah satu putra beliau yang kini telah menjadi kiyai. Syarifah itupun bertambah gelarnya dengan menjadi "Bu Nyai", hidup terhormat sebagai istri pengasuh pesantren dan mengajar bahkan berdakwah.
Baca: Nasab Sebagian Keturunan Walisongo Lebih Shahih dari Sebagian Ba'alawi (8)
Saudara-saudara sekalin silakan beri penilaian, apakah Kiai Rembang itu merendahkan sang syarifah? Bukankah justru mengangkat derajat syarifah itu yang sewaktu kecil terlantar? Itulah yang beliau maksud dengan perkataan beliau di Youtube, bahwa beliau telah memperlakukan syarifah istri beliau itu layaknya permata yang beliau ambil dari lumpur kemudian beliau letakkan didalam lemari kaca. Demi Allah, katakan di hati yang paling dalam, apakah itu menghina Rasulullah SWA?
Pemahaman Ketiga, pernikahan syarifah dengan non sayyid itu memutus nasab keturunan si syarifah dari Rasulullah SAW, maka ini adalah tindakan kejahatan terhadap anak-anak Syarifah. Kata seorang habib, syarifah yang menikah dengan non sayyid berarti jahat pada anak-anaknya, dia lebih mempedulikan nafsunya sendiri sehingga mengorbankan nasab anak-anaknya.
Baca: Akibat Ba'alawi Tidak Adil Kepada Dzurriyah Walisongo (1)
Nah, pemahaman ini sangat erat hubunganya dengan pemahaman mereka bahwa anak syarifah dengan non sayyid itu tidak termasuk ahlubait, bahkan tidak termasuk dzurriyat Rasulullah SAW. Mari kita bahas lebih rinci. Bersambung...[dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Masyhuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (13) yang dimuat pada 22 Mei 2023.