Iklan

Iklan

,

Iklan

Ba'alawi Sering Menyepelekan Riwayat Nasab (9)

7 Jun 2023, 04:12 WIB Ter-Updated 2024-09-04T14:52:41Z
Download Ngaji Gus Baha
akibat seringnya ba alawi menyepelekan riwayat nasab
Kronologi penamaan Imam Ubaidillah bin Ahmad. Foto: istimewa.


Oleh KH. Ali Badri Masyhuri


Esai ini adalah sambungan dari esai ke-8 berjudul: Nasab Sebagian Keturunan Walisongo Lebih Shahih dari Sebagian Ba'alawi.


dutaislam.or.id - Seperti yang telah saya katakan sebelum ini, bahwa saya telah lama mengetahui soal penolakan sebagian asyraf Yordania dan lain-lain soal nasab Sayyid Ubaidillah, maka sejak awal saya hanya melihat bahwa ini adalah bukti bahwa nasab Ba'alawi bukanlah yang paling shahih seperti yang mereka klaim selama ini. Berikut tulisan saya dalam buku berjudul "Sebuah Mimpi Untuk Dzurriyat Wallisongo" yang diterbitkan pada tahun 2011:


"Kini Naqabat Alil-bait di berbagai negara telah menjadi perhimpunan keluarga yang mandiri dan lebih banyak bergerak dalam bidang koordinasi antar keluarga. Di tiap negara yang terdapat Ahlul-bait, maka disitu dibentuk perkumpulan untuk menjalin silaturrahim. Seiring dengan waktu, perkumpulan Ahlul-bait kemudian banyak yang menyempit menjadi hanya mencakup keturunan Al-Hasan dan Al-Husain (Hasaniyyin dan Husainiyyin). 


Baca: Akibat Ba'alawi Tidak Adil Kepada Dzurriyah Walisongo (1)


Bahkan dari Hasaniyyin dan Husainiyyin ini pun ada juga yang membuat perkumpulan sendiri berdasarkan marga. Penyempitan cakupan itu umumnya disebabkan oleh keterbatasan kemampuan koordinasi. Karena masing-masing marga memiliki anggota yang besar. Untuk memudahkan koordinasi maka dibuatlah perhimpunan kecil. Ini adalah suatu hal yang wajar. 


Namun minimnya komunikasi antar perhimpunan itu terkadang membuat sebagian anggota sebuah perhimpunan menganggap perhimpunannya lebih sah dari yang lain, seperti sebagian Asyraf Yordania yang pernah mengingkari keabsahan keluarga Ba'alawi Yaman. Hal ini juga wajar, karena mereka juga manusia biasa sehingga tentu saja banyak orang awamnya juga".


Rabithah Alawiyah sendiri hanyalah sebuah perhimpunan keluarga kecil dari ahlulbait, yaitu keluarga Baalawi. Saya sering mendengar bahwa rumpun Baalawi adalah yang terbanyak diantara rumpun-rumpun ahlulbait di dunia. Menurut saya itu tidak benar. Mereka terlihat banyak hanya karena semua Baalawi memperkenalkan diri ke publik sebagai ahlulbait, sementara kebanyakan ahlubait yang lain menyembunyikan nasab didepan publik.


Di Arab banyak marga ahlulbait yang tidak dikenal oleh publik. Hanya dikenal oleh internal keluarga saja. Kalau semua ahlulbait di dunia mengikuti tradisi Baalawi dengan mengaku ahlulbait pada setiap orang yang ditemui, niscaya jumlah Baalawi akan terlihat sedikit sekali. 


Di keluarga Syaikh Jumadil Kubro sendiri, banyak sekali ulama besar yang tidak dikenal sebagai ahlulbyat, bahkan tidak dikenal sebagai orang Arab. Misalnya ulama' Makkah asal Banten yang bernama Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, beliau bernasab pada Sultan Maulana Hasanuddin Banten. 


Demikian juga ulama' Makkah asal Fathani (Thailand) yang bernama Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathani, pengarang kitab nahwu "Tashil Nailil Amani". Nasab beliau bersambung pada paman Sunan Gunug Jati yang bernama Wan Muhammad Shalih Al-Laqihi bin Ali Nurul Alam bin Syaikh Jumadil Kubro, nenek beliau adalah keponakan Sunan Ampel, yaitu Wan Maryam binti Wan Husain bin Maulana Ibrahim As-Samarqandi bin Syaikh Jumadil Kubro.


Adapun kasus nasab Sayyid Ubaidillah, selama ini saya melihat itu sebagai akibat dari terputusnya informasi saja. Dalam banyak catatan nasab memang sering ada nama yang hanya diketahui oleh keturunannya saja dan tidak diketahui oleh keturunan saudaranya. 


Baca: Menjual Nasab Adalah Pecundang! (2)


Hal itu bisa terjadi dengan berbagai sebab, misalnya nama itu adalah anak dari istri yang tidak tinggal di kampung halaman ayahnya. Maka selama tidak ada tanda-tanda kebohongan dan sekedar untuk silaturrahim, kita tidak boleh menuduh palsu terhadab sebuah nasab hanya karena tidak tercatat oleh keturunan yang masyhur. Untuk kasus seperti ini kita gunakan kaidah:


الإثبات مقدم على النفي لزيادة العلم


Artinya:

"Yang menyatakan ada itu lebih diunggulkan daripada yang menyatakan tidak ada, karena (yang menyatakan ada) itu memiliki pengetahuan lebih".


Artinya, yang mengatakan tidak ada itu bisa jadi karena tidak tahu saja. Bahkan kitab-kitab lama Baalawi menyebutkan bahwa putra Sayyid Alawi Ammil Faqih yang bernama Abdullah itu tidak memiliki keturunan, namun kitab nasab yang terbaru menyebutkan bahwa Sayyid Abdullah memiliki keturunan berdasarkan catatan nasab raja-raja Sulu Filipina yang bernasab pada beliau.


Yang pasti, dalam kitab-kitab nasab yang lama, nama Abdullah sebagai putra Sayyid Ahmad bin Isa Ar-Rumi memang tidak terkenal seperti tiga nama putra beliau yang lain, Yaitu Husain, Ali dan Muhammad. 


Bahkan sebagian kitab menggunakan kalimat "qila" ketika menambahkan nama Abdullah. Dalam istilah kita, "qila" itu sama dengan "konon katanya". Hal itu menunjukkan bahwa nama Abdullah tidak muncul dalam semua riwayat, tidak seperti nama Husain, Ali dan Muhammad. Dengan kata lain, nama Abdullah sebagai putra Ahmad tidak seshahih tiga nama yang lain. Namun, tidak seshahih lainnya itu bukan berarti ditolak.


Terlepas dari pembahasan yang "dianggap" belum tuntas dalam diskusi KH. Imamdudin, sampai saat ini saya sebagaimana yang lain hanya husnudzon saja. Keluarga Baalawi mengaku bahwa nasab itu mereka terima secara turun temurun. Setidaknya, nasab itu dikutip oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar As-Sakran dalam kitab Al-Burqah Al-Musyiqah. Beliau adalah orang yang dikenal shaleh bahkan waliyullah. Maka secara sosial, pengakuan ini tentu saja bisa diterima. 


Mendustakan nasab orang itu adalah masalah serius karena bisa menyakiti perasaan dan menyebabkan fitnah. Itu sebabnya semua madzhab fiqih sepakat memasukkan pendustaan nasab dalam bab qadzaf, sama dengan qadzaf zina yang hukumannya adalah dicambuk 80 kali.


Adapun kajian KH. Imamduddin, saya melihatnya hanya sebagai kajian ilmiah dengan standar ilmu riwayat, bukan standar penerimaan nasab secara sosial. KH. Imaduddin hanya menakar kadar keshahihan nasab Sayyid Ubaidillah dengan standar ilmu riwayat. Dari itu, saya pun sudah mengakatan bahwa nama Abdullah tidak seshahih tiga nama yang lain daripada anak-anak Sayyid Ahmad bin Isa, namun tidak seshahih lainnya itu bukan berarti ditolak.


Baca: Awal Mula Konflik Habaib dan Dzuriyah Walisongo (3)


Hanya saja, saya memiliki beberapa catatan yang menyimpulkan bahwa keluarga Ba'alawi sering tasahul (menyepelekan) dalam hal riwayat, yaitu ketika menyanjung leluhur atau kelompoknya. Hal itu terkadang menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Berikut beberapa catatan saya itu:


Pertama, tentang nama Abdullah menjadi Ubaidillah. Mereka menceritakan bahwa Sayyid Abdullah itu orangnya sangat tawadhu'. Saking tawadu'nya, beliau merasa masih belum pantas menyandang nama "Abdullah" (hamba Allah). Beliau pun mengubah sendiri nama itu menjadi "Ubaidillah" (hamba kecil Allah).


Cerita itu diriwayatkan sebagai fakta, padahal cerita itu hanya asumsi dari Sayyid Ali As-Sakran. Beginilah kronologinya. Sayyid Ali As-Sakran dalam kitab Al-Burqah menyebutkan bahwa nama leluhur Baalawi yang masyhur di Hadramaut itu bernama Ubaid bin Ahmad bin Isa, bukan Ubadillah dan bukan pula Abdullah. Beliau berkata:


وهكذا هو هنا عبيد المعروف عند أهل حضرموت ..


Kemudian beliau melihat catatan nasab keluarga Jadid dalam kitab Al-Janadi yang bersambung pada nama Abdullah bin Ahmad bin Isa. Beliau pun menganggap Abdullah itu adalah orang yang sama dengan Ubaid. Rupanya beliau sendiri baru tahu bahwa di tempat lain ada catatan nama Abdullah bin Ahmad dan beliau menganggap itu sebagai Ubaid bin Ahmad, sehingga beliau pun berkata:


وقد فهمت مما تقدم أولا منقولا من تاريخ الجندي .. أنه عبد الله بن أحمد بن عيسى


Kemudian beliau mencoba mencari alasan kenapa nama Abdullah itu di Hadramaut berubah menjadi Ubaid. Beliau pun menduga-duga, mungkin karena saking tawadhu'nya maka Sayyid Abdullah pun merubah nama pemberian sang ayah itu menjadi "Ubaid". As-Sakran menjelaskan dugaan itu dengan berkata:


والذي يظهر عندي أن الشيخ عبد الله .. من عظيم تواضعه .. ويستحسن تصغير اسمه ..


Jadi jelas cerita penyebab perubahan nama itu adalah asumsi atau karangan berdasarkan dugaan Sayyid Ali As-Sakran. Dan bukan fakta sejarah yang beliau dengar dari orang lain.


Nah, menyajikan cerita asumsi sebagai cerita fakta itu jelas suatu kesalahan serius dalam ilmu riwayat. Itu berarti merubah status dugaan menjadi status fakta. Perawi harus berterus terang bahwa itu adalah dugaan Sayyid Ali As-Sakran!


Baca: Sejarah Majlis Dzurriyat Walisongo Diserang Habaib (5)


Kedua, banyak keluarga Baalawi yang mengatakan bahwa leluhur mereka mulai Faqih Muqaddam hingga Sayyid Ahmad Al-Muhajir semuanya adalah ulama' besar dengan level Mujtahid Mutlaq, namun mereka tawadhu' sehingga tetap bermadzhab.


Cerita itu bertentangan dengan fakta sejarah, bahkan bisa jadi bumerang bagi status keabsahan nasab mereka sendiri. Mari kita bahas lebih luas. Bersambung...[dutaislam.or.id/ab]


Keterangan:

Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Masyhuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (9) yang dimuat pada 16 Mei 2023.  


Iklan