Iklan

Iklan

,

Iklan

Kala Marga Al-Qadri Dianggap Kurang Berhasil Mendakwahi Orang Dayak (18)

9 Jun 2023, 01:26 WIB Ter-Updated 2024-09-04T14:53:32Z
Download Ngaji Gus Baha
menara kudus bukti perjuangan walisongo
Menara Kudus bukti perjuangan Walisongo. Foto: istimewa.


Oleh KH. Ali Badri Masyhuri


Esai ini adalah sambungan dari esai ke-17 berjudul: Menyoal Klaim Imigran Yaman Sebagai Keturunan Pejuang (17)


dutaislam.or.id - Selain konsep menghargai tokoh dan budaya setempat, Walisongo juga memiliki konsep bahwa menonjolkan kelompok bisa menyebabkan kegagalan dalam perjuangan. 


Selain keluarga Syaikh Jumadil Kubro memang ada orang Arab yang berhasil menjadi penguasa dengan tetap memperkenalkan kesayyidannya, seperti keluarga Al-Qadri dan keluarga Al-Idrus di Kalimantan Barat. Namun, tanpa mengurangi penghormatan atas jasa mereka, pengaruh mereka tidak sebesar pengaruh keluarga Syaikh Jumadil Kubro yang menggunakan konsep mempribumi. 


Ketika keluarga Al-Qadri berhasil menjadi Raja di Pontianak, penduduk Pontianak yang mayoritas suku Melayu sudah tidak asing dengan Islam. Bahkan hampir semua orang Melayu di tempat lain sudah memeluk Islam. Maka mendakwahkan Islam kepada orang Melayu tidaklah terlalu berat. 


Baca: Menyoal Klaim Sanad dan Ilmu Thariqah Ba'alawi (10)


Tapi ketika berhadapan dengan suku Dayak, kehadiran keluarga Al-Qadri dengan kesultanannya hampir tidak berpengaruh. Mereka tidak berhasil membuat orang Dayak mau menerima Islam (sebagaimana orang Jawa misalnya). 


Menurut saya, hal itu tidak lain karena keluarga Al-Qadri kurang sepenuhnya membaur dengan masyarakat. Khususnya masyarakat Dayak yang mereka dakwahi. Mereka masih seperti minyak di antara air, karena masih membawa-bawa kesayyidan. Mereka menggunakan gelar "Syarif". Bahkan istana mereka pun diberi nama "Istana Al-Qadriyah", sehingga mereka dianggap orang asing oleh pribumi Dayak. 


Kita bandingkan saja dengan Sunan Ampel yang bergelar Raden Rahmat dan menamakan markas dakwahnya dengan "Ampel Dento", Sunan Giri yang bergelar "Prabu Satmoto" dan menamakan kerajaannya dengan "Giri Kedaton", Sunan Gunung Jati yang menamakan istananya dengan "Istana Pakungwati" dan sebagainya. 


Saya sangat obyektif dalam kajian terkait keluarga kesultanan Al-Qadri ini. Tidak mungkin saya membuka kajian ini karena tidak suka pada keluarga kesultanan Al-Qadriyah, karena nenek ibu saya adalah cicit Syarif Abu Bakar bin Syarif Husain bin Syarif Abdurrahman Pendiri Kesultanan Al-Qadriyah. 


Artinya saya masih keturunan Syarif Abdurrahman, beliau kakek saya juga. Putri-putri dan istri-istri saya tidak batal wudhu' dengan beliau. Dalam kajian ilmiah, kita tidak boleh membela siapapun karena masih keluarga sendiri. Yang penting tetap dalam ranah ilmiah dan disampaikan dengan santun. 


Sekali lagi, ini hanya kritik untuk pembelajaran. Saya sangat menghomati jasa para Sultan Al-Qadriyah, apalagi saya masih keturunan pendiri Kesultanan Al-Qadriyah. Baca: Konflik Imigran Yaman Membuat Umat Islam Pribumi Terganggu (11)


Sejak saya menulis serial esai ini, banyak juga yang menanyakan sejarah pendirian Majlis Dzurriyat Walisongo yang telah lama vakum. Maka saya rasa perlu juga diketahui oleh saudara-saudara sekalian. Karena ini sudah menjadi bagian sejarah keluarga Walisongo. Karena rupanya banyak orang yang salah paham setelah mendengar dari orang lain yang tidak suka dengan kemunculan keturunan Walisongo, bahkan sebagian yang salah paham itu adalah sesama keluarga sendiri.


Walisongo atau keluarga besar Syaikh Jumadil Kubro itu adalah keluarga pejuang. Mereka hidup untuk umat manusia, bukan hidup untuk keluarganya sendiri, apalagi untuk dirinya sendiri. Mereka berjuang dan mengorbankan diri serta keluarganya untuk orang lain. 


Namun semangat juang itu ternyata tidak mengalir bersama setiap darah yang mengalir pada anak cucu mereka, karena ternyata banyak dari keturunan mereka saat ini yang bahkan kurang peduli pada keluarganya, apalagi pada orang lain.


Terputusnya regenarasi itu ditengarai akibat terputusnya jalinan silaturrahim. Berawal dengan tidak mengenal keluarga, wajar bila mereka tidak mengenal atau tidak mengenang leluhur. Dari situ kemudian mereka tidak mengenal, dan apalagi mewarisi karakter leluhur. 


Baca: Doktrin Sesat Kafa'ah Nikah Ba'alawi di Indonesia (12)


Untuk itu maka saya berinisiatif untuk mendirikan sebuah Lembaga Riset dan Perhimpunan untuk keluarga besar ini. Inisiatif itu pun melalui proses yang diawali pada tahun 2003, sebagaimana yang saya tulis di awal. (Baca: Akibat Ba'alawi Tidak Adil Kepada Dzurriyah Walisongo).


Pada tahun 2005, saya bertekad untuk membuat sebuah lembaga sebagai bendera untuk riset dan sosialisasi. Mengingat usia saya yang waktu itu masih terlalu muda (30 tahun), saya merasa canggung untuk memimpin sendiri lembaga ini, maka saya mengajak paman sepupu saya, KH. Ali Ridho bin Shihaji Jazuli (Tattangoh Pamekasan, Madura) untuk membantu pendirian lembaga ini. Saya pun menjadikan beliau sebagai ketua, dan saya sebagai wakilnya.


Waktu itu, lembaga ini bernama kecil "Majlis Dzurriyat Walisongo" atau dalam nama Arabnya: Rabithah Al-Azmatkhan. Dengan bendera Majlis Dzuriyat Walisongo, saya semakin fokus utk melakukan riset dan sosialisasi, sehingga dua tahun kemudian bergabunglah sekitar 200 kiai dari berbagai wilayah di Jawa, Jakarta dan Banten. 


Pada tahun 2007, atas usulan dan fasilitas dari KH. Mutawakkil Alallah, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo (Jawa Timur), lembaga ini mengadakan pertemuan dan silaturrahim nasional di Pesantren Genggong. Saya pun mengundang sekitar 200 kiai yang telah bergabung itu. 


Baca: Apakah Menikahi Syarifah Menghina Rasulullah Saw? (13)


Dalam petemuan itu, dikukuhkanlah pendirian lembaga ini dan dibuat kepengurusan baru. Atas usulan saya, KH. Ali Ridho dipilih sebagai Ketua Umum. Sedangkan saya dipilih menjadi Sekjen atas usulan KH. Mutawakkil Alallah.


Pada tahun 2008, saya bersama KH. Dr. Muhammad Dhiyauddin mulai menjalin hubungan dengan keluarga keturunan Syaikh Jumadil Kubro di Malaysia dan Thailand. Pada tahun 2010 mulai ada komunikasi dan saling siraturrahim antara keluarga Indonesia, Malaysia, Thailand, dan bahkan mulai bersilaturrahim dengan ahlulbait di Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika dan Eropa.


Perhimpunan ini mengalami proses pengukuhan nama. Mulai dari Rabithah Al-Azmatkhan ditejemahkan menjadi “Ikatan Keluarga Azmatkhan” (disingkat IKAZI), kemudian ditambah “Al-Husaini” (disingkat menjadi IKAZHI). Kemudian, terjemahan dalam Bahasa Indonesia menjadi "Perhimpunan Keluarga Azmatkhan Al-Husaini" untuk adaptasi bahasa dengan Malaysia (Melayu). Kemudian bahasa Arab-nya menjadi “Naqabat Ali Azmatkhan Al-Husaini”. Namun untuk di Indonesia bisa disebut “Majelis Dzurriyat Walisongo”. 


Nama Azmatkhan ini merujuk pada kitab Nasab Baalawi, khususnya ta'liq kitab Syamsu Zhahirah. Sejak muncul versi lain nasab Walisongo, maka saya abstain dari diskusi nasab Walisongo. Saya hanya menjadi pemerhati saja, apalagi Majlis Dzurriyat Walisongo memang sudah lama saya tutup rapat sejak 2011 dan kemudian saya vakumkan. Jadi, untuk saat ini saya tidak mau berkomentar tentang perbedaan versi nasab ke atas Walisongo.


Majlis Dzurriyat Walisongo didirikan untuk tujuan-tujuan penting sebagai berikut:

 

1. Mengamalkan sabda Rasulullah SAW:


ليس الواصل بالمكافئ ولكن الواصل إذا انقطع رحمه وصله


Bukanlah orang menyambung keluarga itu yang saling membalas, melainkah orang yang apabila ada keluarga yang terputus maka ia pun menyambung keluarga itu”.


2. Memanfaatkan hubungan keluarga untuk mempererat hubungan para ulama' dan tokoh keturunan Syaikh Jumadil Kubro. Harapannya, kebersatuan mereka akan membawa kebaikan untuk umat.


3. Mendata seluruh keluarga keturunan Syaikh Jumadil Kubro untuk diketahui kondisi agama dan ekonominya, agar kemudian diadakan pembinaan pada keluarga yang kurang pengetahuan agamanya dan lemah ekonominya, karena tidak sedikit keluarga yang menyimpan silsilah dengan rapi tapi kondisi agamanya memperihatinkan.'


4. Mensosialisasikan ajaran dan manhaj leluhur, khususnya kepada generasi muda keluarga keturunan Syaikh Jumadil Kubro.


Sejak lembaga ini dikukuhkan di Genggong Probolinggo, saya merasa lebih nyaman dalam menggerakkan roda lembaga ini, namun justru jalan yang akan ditempuh semakin berliku-liku.


Baca: Menggugat Dosa Non Sayyid Menikahi Syarifah (14)


Walaupun lembaga ini banyak yang mendukung, namun ada juga beberapa orang dan kelompok yang mengganggu lembaga ini. Saya pribadi sebagai penggagas dan motor dari lembaga ini menjadi sasaran oknum Baalawi dan muhibbin mereka yang tidak suka dengan berdirinya lembaga ini. 


Entah kerugian apa yang mereka khawatirkan dengan berdirinya lembaga ini. Anggapan miring, penghinaan bahkan fitnah sering ditujukan pada saya. Ketika saya belum sedewasa ini, saya pernah tidak tahan dengan perlakuan mereka hingga sempat melawan dan terjadi konflik serius namun tidak diekspose ke publik seperti konflik sekarang ini. 


Dari awal, saya memang sengaja memilih ketua yang tidak bisa aktif di lembaga ini, agar saya bisa menyetir sendiri lembaga ini. Alasan saya adalah karena saya belum mengenal figur yang mengerti organisasi serta bisa dipercaya untuk menjalankan lembaga ini sesuai visi dan misi yang saya buat. Saya khawatir lembaga ini dibawa pada kepentingan-kepentingan selain khidmah dan dakwah.

 

Sejak dikukuhkannya di Genggong, ekspose lembaga ini semakin meluas. Hal itu menjadikan banyak keluarga -dengan berbagai karakter dan latar belakang- segera bergabung. 


Benarlah apa yang saya khawatirkan. Pada musim pilpres 2009, banyak tokoh keluarga yang mengajak saya mendukung calon mereka dengan membawa bendera lembaga ini. Mereka mengiming-imingi saya dengan dana ratusan juta sampai miliaran rupiah. 


Repotnya, bagi saya, rata-rata usia mereka jauh lebih tua dari saya. Dengan halus saya selalu menolak ajakan itu. Bahkan ketika saya mau mengadakan rapat pengurus, ada yang menawarkan kamar dan ruang rapat di Hilton Hotel Jakarta. 


Setelah saya tanya dari mana dananya, orang itu tidak menjelaskan, seperti menyembunyikan sesuatu. Maka ketika itu saya katakan: “Ya akhi, kita ini santri tulen, kita sudah biasa tidur beralas tikar. Kita tidak harus rapat di Hotel mewah. Kalau dananya tidak jelas mending rapat di pesantren saja. Bahkan kalau pun dananya halal, saya rasa masih banyak kepentingan yang lebih memerlukan dana daripada untuk bermanja-manja rapat di Hilton”. Akhirnya, rapat dilaksanakan di Aula Makam Maulana Sultan Yusuf Banten.


Baca: Menyebut Anak Syarifah Bukan Dzurriyah Nabi, Bersiaplah! (15)


Saya melihat banyak orang yang mencari dana syubhat untuk membesarkan lembaga atau organisasinya. Itulah yang membuat saya selama ini sangat selektif menerima anggota. Namun begitu saya masih sering kecolongan dengan bergabungnya orang-orang yang sama sekali tidak memiliki semangat dakwah, sehingga ketika ia berbicara tidak pernah mengarah pada dakwah, melainkan hanya pada sekitar kebesaran nama Walisongo dan kebesaran organisasi sebagai kebanggaan. Bahkan ada orang yang sudah terbiasa dengan intrik politik sehingga sering membuat provokasi untuk mendapat jabatan.

 

Ada hal penting yang tidak mereka pahami, yaitu bahwa kami mau membesarkan Islam dengan lembaga ini bukan mau membesarkan lembaga ini. Kami mau menggerakkan semangat juang keluarga Walisongo, bukan mau membesar-besarkan keluarga Walisongo. 


Ketika ada keluarga yang belum memahami ini kemudian melakukan tindakan tidak baik, maka saya lah yang menjadi sasaran dipersalahkan, karena memang saya yang pertama kali mendirikan lembaga ini sehingga banyak orang yang mengidentikkan lembaga ini dengan saya. Saya akui, hal itu terjadi karena saya kurang berhasil mensosialisasikan visi dan misi lembaga ini, akibat keterbatasan tenaga dan fasilitas. Bersambung...[dutaislam.or.id/ab]


Keterangan:

Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Masyhuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (18) yang dimuat pada 27 Mei 2023. 


Iklan