Habib Ustman bin Yahya Mufti Betawi. Foto: istimewa. |
Oleh KH. Ali Badri Masyhuri
Esai ini adalah sambungan dari esai kelima berjudul: Sejarah Majelis Dzurriyat Walisongo Diserang Habaib.
dutaislam.or.id - Tibalah waktu yang saya tunggu-tunggu itu. Saya dipertemukan dengan Habib Abdullah Maulakhelah yang mewakili RA (Rabithah Alawiyah). Beliau juga pengurus pusat di Ah-Shofwah. Kalau tidak salah ketika itu beliau juga pimpinan redaksi majalah Mafahim yang diterbitkan oleh Ash-Shofwah. Di gelanggang diskusi itu, telah siap Kiai Ihya' sebagai pengamat dan Kiai Lutfi sebagai moderator.
Habib Abdullah Maulakhelah adalah seorang habib yang ramah dan cerdas, entah tahun berapa beliau mondok di Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki, yang jelas beliau adalah senior saya, yakni mondok di Makkah sebelum saya (1995). Diskusi pun berjalan dengan baik dan tidak terlalu tegang. Bahkan tidak ada perdebatan karena beliau tidak menyanggah apapun yang saya sampaikan. Saya ceritakan dialog kami dengan singkat saja.
Pertama, Habib Abdullah menyampaikan keluhan habaib yang menganggap saya telah membuat keributan dengan membuat lembaga dan mengesahkan nasab keturunan Walisongo. Saya pun menjelaskan kronologi seperti yang saya ceritakan di awal, bahwa saya sudah mencoba untuk menghubungi RA namun ada yang menjegal.
Baca: Gus Fuad Pleret Salah Karena Komentarnya Bernada Marah
Yang menjegal itu adalah sorang habib terkenal, sehingga saya pun berpikir bahwa yang alim saja sikapnya seperti itu, apalagi pengurus RA saat itu yang menurut saya bukanlah ulama'. Saya meminta agar Habib Abdullah memaklumi saya, yang kemudian merasa pesimis untuk melanjutkan.
Cerita ini sekaligus untuk meluruskan pernyataan Habib Riziq Syihab bahwa Rabithah Azmatkhan didirikan oleh orang yang kecewa, jelas itu bermaksud saya. Saya dianggap mendirikan lembaga sendiri karena kecewa. Katanya saya mengajukan nasab ke RA lalu RA menolak karena nasab saya dari garis perempuan. Ini adalah fitnah yang nyata!
Saya husnudzon pada Habib Riziq karena saya yakin beliau orang baik. Saya selalu bela beliau ketika musuh-musuh beliau menfitnah beliau dengan chat mesum, saya bela beliau ketika teman-teman Cebong saya menuduh beliau mencari keuntungan dengan mengkritik pemerintah. Saya selalu bela beliau dengan mengatakan bahwa saya meyakini ketulusan beliau di dalam memperjuangkan apa yang beliau yakini benar. Saya selalu bela beliau walaupun beliau telah menyakiti hati saya dan keluarga saya.
Saya memang pendiri lembaga Azmatkhan, tapi ketua pertamanya adalah paman sepupu saya, KH. Ali Ridho Shinhaji (Pamekasan Madura), dimana keluarga besar KH. Ali Ridho sampai sekarang adalah yang paling banyak berkontribusi di Madura dalam mendukung perjuangan Habib Riziq, karena mereka mempercayai ketulusan beliau.
Kami diajarkan dan sudah terlatih untuk memisahkan antara masalah pribadi dan kekompakan untuk perjuangan. Kami melupakan kesalahan orang, apalagi tidak sengaja, bahkan kami tetap membela siapapun yang kami yakini benar, walaupun secara personal orang itu pernah menyakiti kami, sengaja ataupun tidak.
Makanya, ketika saya menyimak statemen Habib Riziq tentang lembaga Azmatkhan yang saya dirikan, walaupun saya kesal tapi saya tetap yakin bahwa beliau tidak mungkin sengaja mebuat fitnah, pasti beliau hanya menerima laporan dari RA atau yang lain.
Saya maafkan beliau, bahkan saya maafkan juga siapapun yang menyakiti hati saya, walaupun mereka bukan keturunan Rasulullah SAW. Saya tidak mau Rasulullah SAW bersedih karena ada umat beliau yang masih tersangkut dengan dosa menyakiti orang.
Kedua, Habib Abdullah (mewakili RA) mengatakan bahwa nasab Walisongo ke bawah itu masih meragukan. Saya pun berkata: Bagaimana bisa antum mengatakan nasab ke bawah Walisongo meragukan? Apakah RA pernah meneliti ribuan manuskrip dan riwayat nasab keturunan Walisongo? Ribuan manuskrip dan riwayat itu tersebar di pulau Jawa, Madura, Malaysia dan Thailand.
Kalau RA belum pernah melihat dan meniliti ribuan manuskrip yang ada itu, maka RA tidak boleh membuat statemen bahwa nasab ke bawah Walisongo meragukan, itu namanya khiyanah ilmiah (berkhianat dalam keilmuan). Paling banter antum atau RA hanya boleh bilang "tidak tahu".
Ketiga, Habib Abdullah mempertanyakan lembaga saya yang juga mencatat keturunan garis perempuan. Kata beliau, ini melanggar aturan. Garis perempuan itu putus nasab.
Saya pun menjawab: "Kita ini hidup di negeri orang, kalau kita mengaku orang Arab berarti kita numpang di negeri ini, jadi kita harus menghormati budaya orang Indonesia. Orang Indonesia tidak membeda-bedakan keluarga dari garis laki dan perempuan. Semua adalah keturunan kakek buyut yang sama dan saling menganggap keluarga. Coba begini, ibu antum syarifah juga? Dari marga apa?"
Habib Abdullah menjawab: "Ibu saya dari marga Bin Yahya".
Saya pun berkata: "Baik, kalau ada pertemuan keluarga Bin Yahya dan antum tidak diundang, maka antum tidak akan sakit hati, karena budaya antum memang begitu, antum tidak merasa keluarga Bin Yahya walaupun antum juga cucu Habib Yahya dari garis ibu. Tapi kalau orang Indonesia, misalnya ada pertemuan keluarga Bani fulan kemudian yang keturunan garis perempuan tidak diundang maka mereka akan marah-marah, mereka akan bilang "aku juga cucu mbah fulan, kok aku tidak diundang?!"
Baca: Awal Mula Konflik Habaib dan Dzuriyah Walisongo
Jadi saya juga mencatat keturunan Walisongo dari garis perempuan itu karena hal tersebut. Lagi pula, Rasulullah SAW mewajibkan kita untuk mempelajari nasab dengan tujuan silaturrahim. Dalam Islam, rahim itu keluarga, tidak ada bedanya antara garis laki maupun garis perempuan, semua harus disambung silaturrahim.
Nah, salah satu cara silaturrahim adalah mencatat, maka pentingnya mencatat keluarga itu sama antara mencatat keluarga yang garis laki dan garis perempuan. Dengan demikian berarti budaya kami didalam mencatat keluarga itu memiliki kelebihan dibandingan budaya antum yang dibawa dari Arab, yang hanya mencatat garis laki-laki.
Keempat, Habib Abdullah bertanya: Kalau begitu yang garis perempuan juga antum jadikan ahlul-bayt? Saya pun menjawab: Pendataan keluarga ini bukan untuk memberikan mereka status ahlulbait, bahkan yang garis laki-laki pun selalu kami larang untuk mengaku habib, karena tujuan perhimpunan ini untuk silaturrahim, bukan untuk mengubah status menjadi habib.
Sampai sekarang saya tidak suka penggunaan gelar ahlulbait oleh keturunan Walisongo, misalnya Sayyid, Syarif apalagi Habib. Bagi saya, itu berarti tidak menghormati pilihan leluhur, Walisongo dan generasi-generasi berikutnya sengaja meninggalkan semua yang berbau asing agar dianggap keluarga oleh pribumi.
Penggunaan gelar itu bisa dianggap perlu kalau untuk kepentingan hubungan dengan Asyraf di Arab, kalau di Indonesia sebaiknya biasa saja. Kalau sejak dulu biasa dipanggil semisal Pak fulan, Mas fulan, Kang fulan, tidak usahlah kemudian minta dipanggil Sayyid fulan Syarif fulan apalagi Habib fulan. Itu menurut saya, jadi silakan saja kalau ada berbeda pandangan dengan saya dan tetap mau meninggalkan pilihan leluhur.
Kemudian saya berkata pada Habib Abdullah dengan nada bercanda: Lagi pula, anak syarifah yang ayahnya orang biasa itu, kan, statusnya masih ada ikhtilaf di kalangan ulama', apakah dia sayyid atau bukan. Seandainya saya bilang dia sayyid dan antum bilang bukan sayyid, kemudian kita berdebat, belum tentu juga antum menang debat dengan saya.
Habib Abdullah pun tertawa mendengar canda saya itu. Ada yang berkata pada saya, bahwa mungkin ucapan saya inilah yang menyebabkan sebagian habaib kemudian mengira bahwa keturunan Walisongo yang ada saat ini dari garis perempuan semua. Maka saya katakan "tidak", karena isu ini sudah lama saya dengar, jauh sebelum diskusi itu sudah banyak oknum habaib yang menyebarkan fitnah bahwa keturunan Walisongo yang ada sekarang semuanya dari garis perempuan.
Ini justru tidak masuk akal, keluarga Walisongo di masa-masa awal itu banyak yang menjadi Sultan atau penguasa wilayah di tanah Jawa dan Melayu. Rata-rata mereka poligami sehingga anak-anak mereka pun banyak yang tercatat rapi di masa kesultanan saja anak-anak mereka banyak sekali laki-lakinya.
Salah satu kakek dari ibu saya bernama Syekh Muzakki dan dikenal dengan julukan Kiai Batukolong, beliau memiliki nasab pancer (garis laki-laki) ke Sunan Giri, beliau memiliki lebih 70 putra-putri dan masing-masing memiliki keturunan serta tercatat sampai sekarang.
Baca: Menjual Nasab Adalah Pecundang!
Jadi, orang yang mengatakan bahwa keturunan Walisongo sekarang ini dari garis perempuan semua, perkataan itu adalah salah satu dari dua kemungkinan, mungkin itu fitnah yang disengaja atau serupa kebohongan. Yang saya maksud serupa kebohongan adalah menyebarkan informasi salah dan menyesatkan tanpa menyelidiki kebenarannya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع
Artinya:
"Cukuplah bagi seseorang untuk disebut bohong, ketika ia menceritakan semua yang ia dengar." (HR. Muslim)
Kelima, Habib Abdullah mempermasalahkan saya karena saya pernah membahas soal kafaah nasab dalam pernikahan. Saya mengkritik fatwa Habib Utsman Bin Yahya yang mengatakan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang syarifah dengan non sayyid, berarti mereka berzina selamanya.
Saya menjawab: Saya hanya mengkritik fatwa Habaib yang berlebihan terkait kafaah, yaitu yang mengharamkan dan bahkan tidak mengesahkan syarifah menikah dengan orang biasa, apalagi fatwa itu disebar di internet. Saya hawatir itu memicu kesalahfahaman dari non muslim, nanti mereka berfikir bahwa dalam Islam ada pembedaan kasta tak ubahnya dalam agama hindu.
Walisongo diterima baik oleh pribumi diantaranya karena berhasil menghapus kasta-kasta itu. Maksud saya, kalau habaib tidak mau menikahkan putrinya dengan semisal orang Jawa, janganlah menggunakan alasan kaafah itu, karena khawatir ada yang salah paham atau sakit hati karena merasa direndahkan. Bilang saja putrinya itu sudah dijodohkan dengan orang lain. Lagi pula ini kan masalah khilafiyah, siapapun berhak mengkritisi.
Baca: Akibat Ba'alawi Tidak Adil Kepada Dzurriyah Walisongo
Kenapa saya meminta agar Fatwa Habib Utsman itu tidak dipublikasikan dan cukup diamalkan saja oleh habaib? Karena menurut saya, publikasi fatwa Habib Utsman itu bisa merusak nama baik habaib di mata pribumi, karena Habib Utsman adalah seorang mufti Betawi di bawah departmen pemerintah kolonial Belanda, sedangkan Belanda saat itu membuat peraturan bahwa imigran Arab tidak boleh menikah dengan pribumi.
Belanda khawatir imigran Yaman itu kemudian membela pribumi karena sudah menikah atau berbesanan dengan pribumi, bahkan Belanda melarang imigran Arab untuk berpakaian ala pribumi. Saya hawatir fatwa Habib Ustman ini dikait-kaitkan dengan peraturan Belanda itu, yakni dianggap ada main dengan Belanda.
Kenapa Belanda begitu takutnya imigran Arab menikah dengan pribumi? Karena pernikahan itu bisa melahirkan emosional, siapapun pasti tidak akan terima keluarga istrinya atau besannya dijajajah orang, ditambah lagi dengan fakta ada sebagian habib yang menikah dengan pribumi kemudian membela pribumi, misalnya kakek istri saya, Habib Awadh Bin Yahya.
Habib Awadh menikah dengan putri Adipati Semarang, keturunan beliau kemudian banyak yang menggunakan gelar Raden (bukan habib) dan pro pribumi, misalnya pelukis legendaris Raden Saleh Boestaman.
Raden Saleh yang awalnya sangat dekat dengan Belanda karena profesinya sebagai pelukis internasional, pada akhirnya beliau juga dicurigai dan dikejar-kejar oleh intelejen Belanda. Bahkan kakek istri saya yang bernama Habib Hasan (ayah mertua saya) menyembunyikan diri di desa Leuwimunding, Majalengka.
Saat itu, yang mengetahui bahwa beliau habib hanyalah Kiai Abdul Halim (salah satu pendiri NU) yang betetangga dengan Habib Hasan. Habib Hasan meminta Kiai Abdul Halim agar tidak mempublikasikan jati diri beliau sebagai habib. Bersambung... [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Masyhuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (6) yang dimuat pada 12 Mei 2023.