Konflik Imigran Yaman membuat Muslim Pribumi terganggu. Foto: istimewa. |
Oleh KH. Ali Badri Masyhuri
Esai ini adalah sambungan dari esai ke-10 berjudul: Menyoal Klaim Sanad dan Ilmu Thariqah Ba'alawi.
dutaislam.or.id - Banyak habib yang mengatakan bahwa semua leluhur habaib (Baalawi) Indonesia itu datang ke Indonesia untuk berdakwah, bahkan Habib Taufiq Assegaf lebih tegas lagi berkata: "Datuk kami datang ke negeri ini untuk mencetak Kiai..".
Saya akui bahwa sebagian habib (ulama' Baalawi) datang ke Indonesia memang untuk berdakwah, walaupun perlu dikaji lagi siapa sasaran dakwah mereka pada awalnya. Namun kalau dikatakan bahwa semua leluhur Baalawi Indonesia datang ke negeri ini untuk berdakwah, maka ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah.
Baca: Pernahkah Rabithah Alawiyah Silaturrahim ke Dzuriyah Walisongo? (7)
Untuk itu, saya akan jelaskan sejarah eksodus keluarga Baalawi ke Indonesia di masa kolonial Belanda, supaya saudara-saudara bisa menilai sendiri benarkah klaim bahwa semua luluhur Baalawi Indonesia datang ke negeri ini untuk berdakwah. Berikut adalah fakta-fakta sejarah kedatangan keluarga Baalawi ke Indonesia, khususnya Jawa.
Fakta Pertama, kebanyakan mereka datang ke negeri ini dan negeri-negeri lain adalah untuk mencari nafkah, sama seperti imigran Yaman yang lain. Habib Ali bin Muhsin Assegaf berkata dalam kitab Al-Istizadah halaman 75:
أما عوامل الهجرة فأهمها ضيق معيشة حضرموت وتكاثر العلويين بها ، وقد بلغ من كثافة هذه الهجرة أن زادت أعداد المهاجرين من العلويين بالمهجر أضعاف عدد العلويين الباقين بحضرموت
Terjemah:
"Adapun hal-hal yang menyebabkan imigrasi, maka yang paling utama adalah susahnya mencari penghidupan di Hadramaut dan tingginya peningkatan populasi keluarga Baalawi di sana. Saking banyaknya yang berimigrasi, sampai-sampai jumlah keluarga Baalawi yang berimigrasi berkali lipat dari jumlah keluarga Baalawi yang menetap di Hadramaut" (Baca Al-Istizadah, hlm. 75).
Sebagian kecil dari mereka datang untuk berdagang, selebihnya menjadi buruh, baik bekerja di pabrik maupun di perkebunan. Ada juga yang berkerja di rumah orang Belanda sebagai satpam atau tukang bersih-bersih. Namun diantara para pekerja itu ada juga yang menabung kemudian mulai berdagang kecil-kecilan hingga menjadi kaya.
Adapun lapangan kerja saat itu umumnya dimiliki oleh orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Merekalah yang memiliki perkebunan tebu dan pabrik gulanya, perkebunan teh, pabrik kain, pabrik baja, pabrik tegel dan sebagainya. Sedangkan pedagang Arab jumlahnya tidak banyak, dan tidak memiliki lapangan kerja yang banyak. Mereka hanya perlu karyawan untuk membantu di pasar atau menjaga toko. Jadi majikan hampir semua imigran Yaman itu adalah orang-orang kafir Eropa.
Dulu ada seorang syarifah Baalawi yang sering datang ke rumah ayah saya untuk meminta doa. Ayah saya memang terkenal manjur doanya. Beliau sering dimintai doa oleh orang sakit atau orang bermasalah, semua orang di daerah saya tahu itu.
Baca: Kebohongan dan Fitnah Robitoh Alawiyah Terkait Keturunan Walisongo (6)
Saya pernah sekali ke rumah syarifah itu di Ampel, dekat dengan Rumah Sakit Al-Irsyad, saya pun bertemu dengan ayah beliau yang sudah tua. Beliau sangat fashih berbahasa Arab (fush-ha). Saya takjub dengan kefasihan beliau, bahasa Arab yang fasih dan lancar, seolah-olah membaca teks yang sudah dihafal.
Namun yang lebih menakjubkan lagim beliau mengaku tidak bisa membaca dan menulis Arab. Beliau belajar bahasa Arab hanya dengan praktek layaknya di zaman Nabi. Beliau juga fasih berbahasa Belanda dan bahasa Jerman. Katanya, di saat muda beliau lama bekerja sebagai supir orang Jerman, beliau pun menunjukkan foto-foto zaman dulu ketika beliau berpose dengan mobil majikannya.
Saya juga mengenal seorang Baalawi yang kakeknya berkerja pada orang Belanda sebagai tukang kebun. Setelah majikannya kembali ke Belanda, ia pun dibawa ke Belanda. Dia terus bekerja pada majikannya itu di Belanda hingga menikah dengan orang Belanda dan memiliki anak campuran bule; berkulit putih.
Ada juga seorang habib terkenal saat ini yang ayahnya pernah bekerja pada Belanda sebagai kurir obat-obatan. Beliau sering mencuri obat untuk dibagikan pada pribumi miskin yang sedang sakit, hingga akhirnya beliau ketahuan dan ditembak oleh majikannya (Belanda), namun tidak sampai meninggal dunia. Cerita ini sudah masyhur karena sang habib sendiri pernah menceritakan kisah heroik sang ayah itu.
Pada abad 19 dan 20, Nusantara, khususnya Jawa, adalah tempat yang sangat menggiurkan bagi orang-orang Hadramaut untuk bekerja mencari nafkah. Sampai-sampai ada syair terkenal di masa itu yang ditulis oleh Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, syair itu berbunyi:
من ترعرع و شب قالوا له اعزم لجاوه
هات دنيا نعرس لك ونلقي حراوه
Terjemah:
"Barangsiapa yang telah tumbuh dewasa maka katakan padanya: Pergilah ke Jawa, bawakan kami dunia, kujadikan kau pengantin dan kami pun akan mendapat kehidupan yang baik".
Baca: Sejarah Majlis Dzurriyat Walisongo Diserang Habaib (5)
Fakta Kedua. Setelah keluarga Baalawi bersama imigran Yaman lainnya berbondong-bondong datang ke Indonesia, sesepuh Habaib di Yaman marah dan melarang keluarga Baalawi untuk meninggalkan Hadramaut, karena rata-rata yang datang ke Indonesia kemudian menikah dan tidak kembali ke Hadramaut. Habaib sepuh menasehati mereka agar bertahan di negeri leluhur walaupun hidup miskin. Termasuk yang paling banyak menasehati mereka adalah Habib Muhsin bin Alwi Assegaf (1.177-1.257 H.). Beliau menasehati orang Siwun yang banyak meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di Jawa (Baca Al-Istizadah, hlm. 172).
Namun himbauan dan kemarahan sesepuh Habaib itu tidak digubris oleh para Baalawi yang telah bersemangat untuk bekerja di Jawa. Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri merasa heran karena banyak Baalawi yang sama sekali tidak mau mendengar nasehat Habaib. Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith juga heran karena tokoh-tokoh Baalawi tidak serius menghalangi kepergian para Baalawi yang membanjir untuk bekerja ke Jawa. Mereka pun tetap pergi ke Indonesia sehingga lebih dari setengah keluarga Baalawi meninggalkan kampung halamannya. Jadi, jumlah Baalawi yang hijrah ke Indonesia itu lebih banyak dari jumlah Baalawi yang bertahan di Hadhramaut (Baca Al-Istizadah, hlm. 75-76).
Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf menyebutkan bahwa Habib Abdullah Al-Haddad pernah berbicara tentang harta Baalawi yang diperoleh di Jawa, bahwa harta mereka itu cepat habis (tidak berkah), mungkin karena mereka mendapatkannya dengan kerakusan, atau karena tidak wara' dan mungkin juga karena tidak pernah dizakati. (Baca Al-Istizadah, hlm. 571).
Bagi Habaib Yaman, Jawa seperti memiliki kekuatan aneh, karena rata-rata orang Yaman yang datang ke Jawa tidak mau pulang. Bahkan banyak orang alim kalau sudah datang ke Jawa kemudian melupakan ilmu dan kampung halamannya, padahal di kampung halamannya sudah memiliki kedudukan sebagai ulama', misalnya Sayyid Muhammad Karisan Assegaf. Beliau adalah seorang faqih yang cerdas dan sudah menjadi qadhi di Siwun, namun setelah datang ke Jawa beliau pun meninggalkan keilmuannya (tidak menjadi ulama' lagi) sampai meninggal dunia. (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.405)
Dari itu, Habib Abdullah bin Abu Bakar Aidid menyebut Jawa seperti memiliki kekuatan sihir, beliau berkata dalam dua bait syairnya tentang Jawa:
ومن عاداتها الإنسان ينسى # بها وطنا وأولادا وأهلا
كأنما بمائها نفثات سحر # تصيره على الآذان قفلا
Terjemah:
"Biasanya Jawa itu membuat orang lupa pada kampung halaman, anak-anak dan keluarganya, seolah-olah didalam air Jawa itu terdapat hembusan sihir yang menggembok telinga" (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.406).
Baca: Gus Fuad Pleret Salah Karena Komentarnya Bernada Marah (4)
Kesimpulannya, keluarga Baalawi yang datang ke Jawa untuk bekerja itu sebenarnya tidak mendapat ridho dari para habaib sepuh di Hadramaut. Habib Abdullah Al-Haddad termasuk yang tidak suka mereka meninggalkan Hadramaut untuk berkerja.
Fakta Ketiga. Seperti yang saya jelaskan singkat di awal, keluarga Baalawi Indonesia kemudian bertikai hebat dengan sesama imigran Yaman yang non Baalawi. Awalnya Semua imigran Yaman bernaung di bawah satu paguyuban, yaitu Rabithah Alawiyah. Setelah terjadi keributan itu kemudian yang non Baalawi bersatu di Al-Irsyad.
Pertikaian berlanjut antara Baalawi di bawah bendera Rabithah Alawiyah dan non Baalawi dibawah bendera Al-Irsyad. Pertikaian terjadi sangat heboh, hingga mengguncang pemberitaan di negara-negara Arab. Kedua belah pihak saling "serang" opini dan menghabiskan biaya banyak, termasuk untuk perang opini; Rabithah Alawiyah menyerang Al-Irsyad melalui majalah Rabithah, sedangkan Al-Irsyad "menyewa" majalah Al-Manar milik Rasyid Ridha (Mesir) untuk menyerang Rabithah Alawiyah.
Banyak pihak yang berusaha mendamaikan kedua kelompok ini, termasuk Kerajaan saudi dan Kerajaan Al-Katsiri (Yaman), namun semuanya gagal. Banyak juga habaib Yaman yang berusaha mendamaikan, namun semuanya juga gagal. Diantara mereka adalah Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf. Beliau adalah yang paling lama dan paling serius berusaha untuk mendamaikan dan akhirnya gagal juga.
Habib Ali bin Muhsin Assegaf, dalam Kitab Al-Istizadah halaman 1.383, menjelaskan bahwa Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf datang ke Jawa pada tahun 1336 H. atau 1916 M. Saat itu Rabithah Alawiyah sudah lama berdiri. Lalu kenapa Rabithah Alawiyah sekarang menulis sejarah berdirinya tahun 1928? Sedangkan Al-Irsyad sebagai lembaga terbaru berdiri tahun 1914.
Perbandingan tahun berdirinya Robitah Alawiyah dan Al-Irsyad. Foto: istimewa. |
Rabithah Alawiyah seperti mau mengubur sejarah sebelum tahun 1928 itu, bahwa Rabithah Alawiyah awalanya hanya sebuah paguyuban imigran saja dan milik bersama non Baalawi juga. Jadi, menurut saya, ini bukan hanya sekedar tasahul dalam hal periwayatan sejarah.
Baca: Awal Mula Konflik Habaib dan Dzuriyah Walisongo (3)
Menurut Habib Abdurrahman, kalangan Baalawi atau Rabithah Alawiyah sangat susah diajak damai, beliau selalu sembunyi-sembunyi ketika menemui tokoh-tokoh Al-Irsyad, dengan harapan agar Baalawi tidak jengkel dan lebih mudah untuk diajak berdamai.
Menurut beliau, tokoh-tokoh Al-Irsyad sangat baik dan sopan santun. Bahkan mereka siap berdamai dengan tiga kesepakatan yang telah dipersiapkan oleh Habib Abdurrahman. Kesepakatan pertama agar menjauhi caci maki, kedua, agar kembali pada madzhab di kampung halaman, yaitu madzhab Syafi'i, dan ketiga, agar saling memenuhi kewajiban dan hak sebagai muslim (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.382-1.383).
Habib Abdurrahman jauh-jauh datang dari Yaman dan berjuang untuk mendamaikan konflik yang memalukan itu, namun kalangan Baalawi justru mencaci maki beliau. (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.383)
Begitulah kondisi akhlaq mayoritas Baalawi Indonesia saat itu, khususnya pengurus Rabithah Alawiyah. Pertikaian berlangsung mulai 1906 hingga 1942. Maka Habib siapa pun yang datang ke Indonesia dalam kurun waktu itu pasti niat kedatangannya untuk mendamaikan keluarganya sendiri yang sedang bertikai di negeri orang.
Kakek Habib Taufiq sendiri, yaitu Habib Ja'far bin Syaikhan Assegaf, datang ke Jawa pada tahun 1918. Habib Sholeh Al-Hamid Tanggul datang ke Jawa pada tahun 1921. Mana mungkin mereka datang ke Jawa dengan tujuan untuk mendakwahi pribumi dan langsung menemui pribumi. Justru saya yakin mereka merasa malu ketika pertama kali bertemu kiai-kiai, karena mereka tidak bisa mendamaikan keluarganya sendiri yang sedang bertikai itu.
Baca: Menjual Nasab Adalah Pecundang! (2)
Saya yakin ulama' habaib yang datang ke Jawa pada masa itu tujuan mereka adalah untuk mendamaikan keluarga mereka yang sedang bertikai itu, namun mereka gagal dalam misi itu. Sebagian mereka pulang ke Yaman dengan tangan hampa, sebagian yang lain menetap dan berteman dengan para kiai.
Para kiai pun memberi mereka kesempatan untuk mengajar dan berdakwah pada pribumi, bahkan anak-anak kiai pun belajar pada mereka. Kalau kiai-kiai tidak menerima habaib yang gagal mendamaikan keluarganya itu, niscaya mereka juga akan pulang ke Yaman seperti yang lain.
Saat itu umat Islam pribumi sedang fokus untuk perjuangan kemerdekaan dipimpin oleh para kiai, agama dan keilmuan pribumi sedang baik-baik saja dan tidak memerlukan ulama dari Yaman. Justru saat itu konflik imigran Yaman membuat ummt Islam pribumi terganggu.
Saya bukan menafikan jasa ulama habaib itu, umat Islam pribumi juga mendapatkan keberkahan ilmu dari mereka. Namun saya tidak setuju kalau dikatakan mereka sengaja datang ke negeri ini untuk mencetak kiai, seolah-olah di Nusantara saat itu kekurangan ulama'. Baca: Akibat Ba'alawi Tidak Adil Kepada Dzurriyah Walisongo.
Apalagi dinarasikan seolah ulama' pribumi berhutang budi pada mereka. Justru merekalah yang berhutang budi pada para kiai. Bersambung...[dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Masyhuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (11) yang dimuat pada 19 Mei 2023.