Cover Kitab Syaroful Asbath. Foto: istimewa. |
Oleh KH. Ali Badri Masyhuri
Esai ini adalah sambungan dari esai ke-13 berjudul: Apakah Menikahi Syarifah Menghina Rasulullah Saw?
dutaislam.or.id - Pemahaman Ketiga, pernikahan syarifah dengan non sayyid itu memutus nasab keturunan syarifah dari Rasulullah SAW, maka ini adalah tindakan kejahatan terhadap anak-anak syarifah. Kata seorang habib, syarifah yang menikah dengan non sayyid berarti jahat pada anak-anaknya, dia lebih mempedulikan nafsunya sendiri sehingga mengorbankan nasab anak-anaknya.
Nah, pemahaman ini sangat erat hubunganya dengan pemahaman mereka bahwa anak syarifah dengan non sayyid itu tidak termasuk ahlulbait bahkan tidak termasuk dzurriyat Nabi SAW. Dan ingat, pemahaman-pemahaman yang saya sebutkan ini hanya ada di Indonesia. Baalawi Indonesia tidak mewakili Baalawi sedunia, apalagi ahlulbait sedunia. Bahkan sejak awal Baalawi Indonesia yang tergabung dalam Rabithah Alawiyah memang menentang pendapat habaib Hadramaut, yaitu terkait masalah kafaah pada zaman konflik dengan Al-Irsyad. (Baca esai ke-12 dan esai ke-13)
Status anak syarifah itu ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Arab. Banyak ulama' yang menukil pernyataan ulama muhaqqiqin bahwa anak itu tetap syarif, artinya itu adalah pendapat yang benar atau yang lebih kuat.
Baca: Kebohongan dan Fitnah Robitoh Alawiyah Terkait Keturunan Walisongo (6)
Hal ini disebutkan didalam kitab "'Allimuu Aulaadakum Mahabbata Aali Rasulillah" karya Syekh Muhammad Abduh Yamani, seorang ulama' teman dekat Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Sebelum itu juga telah banyak ulama' yang menulis bab ini secara khusus hingga menjadi sebuah kitab, diantaranya adalah kitab "Syaraful Asbath" karya Sayyid Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi --salah seorang keturunan Imam Dasuqi Al-Husaini dari garis perempuan. Ulama' Mesir tetap menyebut beliau "sayyidi syarif" walaupun beliau dari garis perempuan. Dalam muqaddimah kitab itu, beliau berkata:
"Dan tidaklah samar bahwa sesungguhnya kemuliaan nasab nabawi itu dapat diwarisi melalui ayah (syarif) dan ibu (syarifah). Maka keturunan dari garis laki-kali dan garis perempuan sama-sama mendapatan keutamaan dan keistimewaan. Dan ketika sebagian orang menganggap hanya garis laki-laki saja yang mendapatkan itu, sedangkan yang garis perempuan tidak, maka bergegaslah para ulama besar untuk menolak anggapanan itu, mereka pun berfatwa dengan kesamaan antara syarif dan syarifah dalam kemuliaan ini, anak dan keturuan syarifah juga mendapat kemuliaan itu dari ibu atau nenek mereka. Para ulama besar itu menulis banyak kitab dengan menyertakan dalil-dalil yang kuat".
Kalau saudara-saudara sekalian membaca kitab-kitab atau mendengar pandangan ulama di Arab, baik dari kalangan asyraf maupun kalangan non asyraf, maka pendapat Baalawi Indonesia ini akan terlihat sebagai pendapat yang lemah sekali, apalagi mereka berpendapat kalau syarifah yang menikah dengan non sayyid sebagai ibu yang jahat karena memutus nasab anak-anaknya, ditambah lagi dengan pendapat bahwa pernikahan syarifah dengan non sayyid adalah suatu dosa.
Seandainya paham-paham Baalawi Indonesia ini dilaporkan pada ulama asyraf di Arab, saya yakin 100 % Baalawi Indonesia akan dimarahi oleh ulama asyraf sedunia. Saya berani bertaruh!
Baca: Pernahkah Rabithah Alawiyah Silaturrahim ke Dzuriyah Walisongo? (7)
Lalu kenapa Baalawi Indonesia sangat bersikeras dengan pendapat bahwa anak syarifah bukan syarif? Kenapa mereka tidak bisa ditawar dalam hal ini? Ini ada hubungannya dengan kafaah nasab yang mereka pertahankan juga. Keduanya saling berkaitan.
Mereka menakut-nakuti para syarifah dan ayahnya agar tidak menikah dengan pribumi, bahwa kalau menikah dengan pribumi berarti anak-anak syarifah itu putus nasab dan tidak menjadi cucu Nabi. Nah, pemahaman bahwa syarifah nikah dengan non sayyid itu tidak sah atau tidak boleh, kemudian anak hasil dari pernikahan itu bukan cucu Nabi, yang berarti syarifah itu jahat kepada anak-anaknya, semua ini menjadi satu paket doktrinisasi yang di dicekokin oleh Rabithah Alawiyah pada anggotanya sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang.
Saya mencurigai Snouck Hurgronje terlibat dalam doktrinisasi ini untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda, yaitu peraturan orang Arab tidak boleh menikah dengan pribumi.
Saya pernah ditanya oleh seorang syaikh dari Mesir, benarkah Baalawi Indonesia mengatakan bahwa kalau syarifah menikah dengan non sayyid maka Siti Fathimah menangis? Saya jawab "ya", karena saya memang sering mendengar habaib bilang begitu. Syaikh dari Mesir itupun tertawa, kemudian beliau bertanya: "Dari mana mereka mendapatkan itu? Apa mungkin dari Syi'ah?". Saya hanya menjawab "tidak tahu".
Kesimpulanya, syarifah tidak sah menikah dengan non sayyid. Pernikahan itu berarti su'ul adab pada Nabi. Pernikahan itu maksiat yang tidak boleh dihadiri akad nikahnya. Anaknya jadi putus nasab dalam arti bukan keturunan Nabi. Syarifah itu jahat pada anak-anaknya karena memutus nasab mereka. Pernikahan itu membuat Siti Fathimah menangis. Kalau beliau menangis, maka Nabi Marah.
Sepertinya semua itu adalah akal-akalan Rabithah Alawiyah yang sejak awal menentang habaib Hadramaut, khususnya pada saat konflik dengan Al-Irsyad. Semua itu dijadikan doktrin sampai sekarang. Sayangnya, ulama Baalawi Indonesa sampai saat ini banyak terpengaruh dengan doktrin turun temurun sejak zaman Belanda itu. Saya yakin Rabithah Alawiyah tidak akan berani diskusi terbuka tentang masalah ini. Apalagi kalau melibatkan habaib sepuh Hadramaut dan ulama asyraf yang lain, karena habaib sepuh hadramaut dan ulama asyraf yang lain pasti akan memarahi Rabithah Alawiyah!
Baiklah, sekarang kita akan membahas masalah ini lebih ilmiah. Kita mulai dengan pertanyaan, siapakah yang pertama kali mengatakan bahwa anak-anak dari anak perempuan itu bukan keturunan dari ayah si perempuan?
Inilah rekaman yang paling lama dari "madzhab" Rabithah Alawiyah itu:
بنونا بنو أبنائنا وبناتنا
بنوهن أبناء الرجال الأباعد
Terjemah:
"Anak keturunanku adalah anak-anak dari putra-putraku, adapun anak-anak dari putri-putriku adalah anak keturunan orang jauh."
Saya mencari nama penggubah syair ini tapi tidak mendapatkannya. Saya hanya mendapatkan bahwa ini adalah syair jahiliyah, yakni sudah ada sejak sebelum Islam.
Lalu bagaimana statemen Islam tentang anak perempuan dan anak-anaknya?
Al-Qur'an telah menceritakan anggapan orang Arab Jahiliyah bahwa anak perempuan itu aib, diantaranya karena tidak bisa melanjutkan keturunan sebagaimana syair di atas. Allah SWT berfirman:
وإذا بشر أحدهم بالأنثى ظل وجهه مسودا وهو كظيم
Terjemah:
"Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan maka wajahnya menjadi hitam dan sangat jengkel." (QS. An-Nahl: 58)
Baca: Nasab Sebagian Keturunan Walisongo Lebih Shahih dari Sebagian Ba'alawi (8)
Lalu bagaimana Rasulullah SAW memandang keturunan garis ibu? Apakah beliau melarang kita mengaku keturunan kakek dari ibu? Tidak, justru beliau dengan bangganya mengaku anak dari nenek-nenek beliau. Ath-Thabrani dan Ibnu 'Asakir meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW berteriak dalam perang Hunain dengan berkata:
أنا ابن العواتك من سليم
Terjemah:
"Aku adalah anak 'Awatik dari keluarga Sulaim."
Yang dimaksud 'Awatik adalah jama' dari 'Atikah", nama dari tiga nenek beliau yang bernama 'Atikah.
Yang pertama adalah 'Atikah binti Hilal bin Falij bin Dzakwan. Nasab Rasulullah SAW pada beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Addul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin 'Atikah binti Hilal bin Falij bin Dzakwan
Yang kedua adalah 'Atikah binti Murrah bin Hilal bin Falij bin Dzakwan, Nasab Rasulullah SAW pada beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin 'Atikah binti Murrah bin Hilal bin Falij bin Dzakwan
Yang ketiga adalah 'Atikah binti Awqash bin Murrah bin Hilal bin Falij bin Dzakwan. Nasab Rasulullah SAW pada beliau adalah Muhammad bin Aminah binti Wahb bin 'Atikah binti Awqash bin Murrah bin Hilal bin Falij bin Dzakwan.
Betapa Rasulullah SAW membanggakan leluhur dari ibu beliau. Bahkan kalimat itu beliau teriakkan saat perang. Beliau banggakan leluhur dari ibu beliau sama persis sebagaimana beliau banggakan leluhur dari ayah, yaitu ketika beliau juga meneriakkan:
أنا النبي لا كذب .. أنا ابن عبد المطلب
Terjemah:
"Aku adalah Nabi yang tiada dusta, aku adalah anak Abdul Mutthalib."
Kalimat Nabi SAW "Aku adalah anak 'Atikah" mengingatkan saya pada sang pelukis legendaris, yaitu Sayyid Shaleh bin Husain bin Alwi bin Awadl bin Yahya, dimana nama beliau dikenal dengan "Raden Saleh Bustaman". Bustaman adalah nama kakek dari ibu beliau.
Baca: Ba'alawi Sering Menyepelekan Riwayat Nasab (9)
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW memanggil orang-orang Anshar, setelah mereka berkumpul kemudian beliau bertanya:
هلْ فِيكُمْ أحَدٌ مِن غيرِكُمْ
Terjemah:
"Apakah diantara kalian ada orang yang bukan dari kalian?"
Mereka menjawab:
لا، إلَّا ابنُ أُخْتٍ لَنا
Terjemah:
"Tidak, kecuali anak dari saudari kami."
Maka Rasulullah SAW bersabda:
ابنُ أُخْتِ القَوْمِ منهمْ
Terjemah:
"Anak saudari suatu kaum adalah termasuk dari mereka." (HR. Bukhari)
Ketika Rasululla SAW bertanya apakah yang berkumpul itu satu keluarga dan tidak ada yang dari keluarga lain? Para Sahabat anshar menjawab "tidak", namun sepertinya mereka ragu, karena diantara mereka ada orang yang nasabnya bersambung pada keluarga mereka melaui ibunya, sedangkan ayahnya adalah orang luar. Tradisi di Arab menyebut keturunan putri atau saudari yang ayahnya orang luar itu sebagai orang luar juga, makanya mereka melanjutkan dengan berkata "kecuali anak saudari kami". Rasulullah pun membuang keraguan mereka dengan berkata tegas bahwa anak saudari suatu kaum itu termasuk dari mereka, yakni masih keluarga juga.
Nah, berdasarkan Hadits ini, maka "membuang" syarifah dan anak-anaknya dari daftar keluarga karena menikah dengan non sayyid, jelas bertentangan dengan ajaran Rasulullah SAW.
Baca: Menyoal Klaim Sanad dan Ilmu Thariqah Ba'alawi (10)
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW memangku Sayyidina Hasan kemudian beliau bersabda:
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ
Terjemah:
"Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid."
Rasulullah SAW menyebut Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib dengan "anakku", sedangkan Sayyidina Hasan adalah cucu beliau dari putri beliau, yaitu Siti Fathimah. Itu menunjukkan bahwa sabda beliau ابنُ أُخْتِ القَوْمِ منهمْ itu berlaku untuk semua, termasuk untuk keturunan beliau.
Kemudian, ada satu hadits yang selalu dijadikan dalil oleh habaib Indonesia bahwa garis perempuan itu hanya boleh digunakan untuk Siti Fathimah, perempuan lain tidak boleh menjadi sambungan keturunan bagi anak-anaknya, yaitu Hadits:
كل بني آدم ينتمون إلى عصبة إلا ولد فاطمة فأنا وليّهم وأنا عصبتهم
Terjemah:
"Semua anak Adam itu bernisbat pada kelompok mereka, kecuali anak Fathimah maka akulah wali mereka dan akulah kelompok mereka."
Yang dimaksud 'ushbah atau kelompok itu adalah tradisi Arab dalam membuat kelompok keluarga berdasarkan garis ayah.
Mari kita bahas Hadits ini lebih mendetail. Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Tabrani dan Al-Khathib, namun Imam Haitsami menyebut Hadits ini dha'if sekali sehingga tidak boleh dijadikan hujjah.
Hadits seperti ini justru banyak dimuat dan dishahihkan dalam kitab-kitab kaum Syi'ah, seperti kitab Tafsir Ash-Shafi, Kanzul Fawaid, 'Awalimul 'Ulum Wal Ahwal, Kasyful Ghummah, Bisyaratul Mushtafa, Biharul Anwar dan lain-lain. Redaksi kitab yang terakhir itu begini:
كُلُّ بَنِي أُمٍّ يَنْتَمُونَ إِلَى عَصَبَتِهِمْ إِلاَّ وُلْدَ فَاطِمَةَ فَإِنِّي أَنَا أَبُوهُمْ وَ عَصَبَتُهُمْ
Terjemah:
"Semua keturunan seorang ibu itu bernisbat pada kelompok mereka, kecuali anak Fathimah maka akulah ayah mereka dan akulah kelompok mereka."
Kesimpulannya, yang menganggap Hadits ini shahih hanya kalangan ulama' Syi'ah. Status hadits yang saya sebutkan hanya terkait dengan sanad, belum berbicara soal matan atau konten. Secara sanad sudah jelas bermasalah, lalu bagaimana dengan matannya?
Baca: Awal Mula Konflik Habaib dan Dzuriyah Walisongo (3)
Kalau kita mengamati Hadits-hadits sebelumnya, jelas hadits ini bertentangan dengan hadit-hadits sebelumnya itu. Dalam kaidah ilmu hadits, hadits shahih sekalipun akan menjadi dha'if apabila matannya bertentangan dengan matan hadits yang lebih lebih shahih.
Baiklah, anggap saja hadits ini shahih, lalu apa betul maksud Hadits ini seperti yang mereka fahami? Bersambung.... [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Masyhuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (14) yang dimuat pada 23 Mei 2023.