Iklan

Iklan

,

Iklan

Menghadapi Gejolak dalam Naqabah Keluarga Azmatkhan Nusantara (19)

9 Jun 2023, 01:50 WIB Ter-Updated 2024-09-04T14:53:37Z
Download Ngaji Gus Baha
kiai ali badri berfoto bersama mursyid thariqah
Selfie bersama. Foto: istimewa.


Oleh KH. Ali Badri Masyhuri


Esai ini adalah sambungan dari esai ke-18 berjudul: Kala Marga Al-Qadri Dianggap Kurang Berhasil Mendakwahi Orang Dayak


dutaislam.or.id - Seperti yang saya katakan sebelumnya (Baca: Kala Marga Al-Qadri Dianggap Kurang Berhasil Mendakwahi Orang Dayak), bahwa saya belum mengenal ahli organisasi yang saya percaya untuk menjalankan lembaga ini sesuai visi dan misinya. Maka didalam memilih pengurus aktif, saya pun lebih nyaman terhadap orang yang saya kenal memiliki semangat khidmah dan dakwah. 


Bersama KH. Ahmad Hasan Bendakerep Cirebon (Bendahara Pertama), dengan kemampuan menajemen yang pas-pasan, saya berupaya menggerakkan lembaga ini. Awalnya bahkan banyak yang pesimis bahwa lembaga ini akan hidup dan diakui oleh Asyraf yang lain. Dengan tertatih-tatih kami berjalan, mengorbankan waktu dan tenaga. 


Baca: Menyoal Klaim Imigran Yaman Sebagai Keturunan Pejuang (17)


Minimnya dana membuat kami harus bersabar mengalami banyak ujian. Saya dan KH. Ahmad Hasan yang hidup pas-pasan harus mengirit fasilitas setiap menjalankan tugas sosialisasi, ketika harus makan di jalan kami berusaha mencari warung yang paling murah, makan berdua tidak lebih dari Rp. 15.000. Ketika harus menginap di jalan kami memilih penginapan seharga Rp. 60.000, bahkan terkadang harus tidur di mobil tua yang kami gunakan.


Selama saya menjadi Sekjen, manejemen kesekretariatan memang lemah, namun alhamdulillah, kami tidak pernah menerima -apalagi mencari- dana syubhat untuk menggerakkan lembaga ini. Bahkan pesimis yang pernah dirasakan banyak orang kemudian bisa kami hapus dengan terjalinnya hubungan keluarga Walisongo dengan tokoh-tokoh Asyraf di luar negeri. 


Keluarga Walisongo Nusantara mulai dikenal oleh sebagian Asyraf Mesir, Siria, Libanon, Yordan, Iraq dan sebagainya. Beberapa situs internet di Yaman mulai menjadikan kitab saya yang berjudul "Ad-Du'atu Wal Fusan Min Al Azhmat Khan" sebagai rujukan ketika membahas keluarga Azmatkhan Nusantara. 


Bahkan sedikitnya ada tiga tokoh Asyraf luar negeri yang pernah datang untuk memberi support dan menghadiri acara Lembaga ini, yaitu Syaikh Syarif Yusuf Bakhur Al-Hasani (ulama' dan Mursyid Thariqah Syadziliyah dari Libanon), Syaikh Syarif Muhammad Fadhil Al-Jailani (ulama' dan Mursyid Thriqah Qadiriyah dari Turki) dan Syaikh Mahmud Ghurab Al-Husaini (ulama' sufi dan akademisi dari Siria).


Namun begitu, ada saja orang yang membesar-besarkan kelemahan dalam bidang aturan menejemen, seolah-olah itu adalah kesalahan besar. Dalam banyak hal, saya sering memutuskan tanpa rapat. Saya hanya menyebarkan SMS pada pengurus sebelum melangkah. 


Setelah lembaga ini mulai kuat, ada juga orang yang mempermasalahkan keputusan tanpa rapat itu. Keputusan itu dianggap tidak sah karena diambil bukan dengan rapat, padahal orang itu bukan pengurus harian, dan semua tahu bahwa setiap sekretariat membuat undangan rapat, hampir semua yang diundang tidak hadir, karena para pengurus memang orang-orang yang sudah memiliki banyak kesibukan.


Baca: Akibat Ba'alawi Tidak Adil Kepada Dzurriyah Walisongo (1)


Selama ini saya dan KH. Ahmad Hasan mengalah untuk bekerja sendiri, karena tidak ada lagi yang bisa bekerja dan mau mengalah untuk meninggalkan tugas lainnya. Kami tidak menuntut yang lain bekerja. Kami memaklumi kesibukan mereka. Kami pun memberi kabar gembira pada yang lain ketika kami berhasil melakukan sesuatu untuk lembaga dan keluarga besar ini. Namun, masih ada saja orang yang sama sekali tidak menghargai usaha kami.


Sejak dari kakek saya, kami adalah kiai-kiai yang sudah biasa disalami "amplop", baik oleh tamu atau ketika kami bertamu. Namun ketika saya bertamu untuk sosialisasi lembaga ini, semua amplop saya masukkan ke dalam kas lembaga, walaupun yang menyalami saya tidak bilang bahwa amplop itu untuk lembaga. 


Ada salah seorang yang tiga kali bertemu saya dalam acara yang diselenggarakan oleh lembaga ini. Dalam tiap bertemu itu dia menyalami saya amplop, dia tidak bilang bahwa itu untuk kas. Namun karena bertemu dalam acara yang diselenggarakan oleh lembaga, maka amplop-amplop itupun saya masukkan kedalam kas. 


Setelah orang itu membaca laporan keuangan dan ternyata amplop yang pernah ia salamkan pada saya itu masuk dalam catatan uang masuk kas, ketika bertemu lagi, ia pun mengamplopi saya sambil berkata: "Yai, ini untuk panjenengan, bukan untuk kas".  


Baca: Menyoal Klaim Sanad dan Ilmu Thariqah Ba'alawi (10)


Saya juga pernah disalami amplop yang cukup besar oleh seorang kiai. Isinya lima juta rupiah. Ketika menerima amplop itu, saya bilang terima kasih atas sumbangannya untuk lembaga ini, namun beliau berkata: "Bukan, kiai, bukan untuk kas, ini untuk panjenengan, untuk kas lain kali saja". 


Demi Allah, ketika itu saya punya hutang pribadi hampir lima juta rupiah yang sudah dekat jatuh tempo. Saya berhutang untuk kebutuhan keluarga, karena saya tidak sempat untuk mencari nafkah akibat terlalu fokus dengan lembaga ini.


Suatu ketika saya mau naik haji, saya berangkat sebagai pembimbing jamaah haji sebuah travel. Ketika itu saya bermaksud untuk menghajikan Siti Fathimah Az-Zahra’, namun tiba-tiba lembaga ini perlu dana, maka saya pun menerima tawaran dari KH. Maksum Tirmidzi Bondowoso untuk melaksanakan badal haji dengan upah tujuh juta rupiah, yang lima juta saya sumbangakan pada lembaga. Ketika itu saya berpikir, pasti siti Fathimah lebih gembira saya menghajikan orang lain karena upahnya saya buat untuk ngurusin anak cucu beliau.


Itulah pengorbanan saya dan KH. Ahmad Hasan selama ini. Namun setelah Lembaga ini hidup dan mulai dikenal di mana-mana, ada saja orang yang mempermasalahkan keuangan lembaga, seolah-olah kami tidak amanah dengan keuangan. Bahkan ada yang memfitnah bahwa saya mendapat sumbangan ratusan juta dan tidak dilaporkan dalam laporan keuangan. Coba sebutkan saja, siapa yang menyumbang ratusan juta itu. Mencari penyumbang ratusan ribu saja susahnya bukan main, apalagi ratusan juta. 


Baca: Konflik Imigran Yaman Membuat Umat Islam Pribumi Terganggu (11)


Bahkan ada orang yang terang-terangan di depan orang lain menghalangi orang yang mau menyumbang kas lembaga ini dengan alasan laporan keuangan tidak jelas. Padahal setiap tahun kami menerbitkan laporan hasil kerja sekaligus laporan keuangan.


Rupanya ada orang yang tidak bersenyawa dengan visi dan misi yang saya buat. Mereka menginginkan lembaga ini menjadi organisasi “semi politik” yang bisa dijual. Bahkan ada pihak yang tidak saya mengerti maksudnya, ia berusaha menjatuhkan saya yang tidak sepaham dengannya. Ia pernah mengundang beberapa “pembesar” lembaga ini tanpa saya, bahkan dalam undangan ada pesan untuk tidak diberitahukan pada siapapun, termasuk saya. 


Tidak banyak yang hadir dalam pertemuan itu. Yang hadir kebanyakan orang baru yang belum mengenal saya. Naif sekali orang itu, ia sangat tidak peka dengan mengajak beberapa “pembesar” lembaga ini untuk “mengkudeta” saya. Ia tidak berpikir bahwa orang-orang yang diajak itu adalah orang-orang yang dari awal mengikuti perkembangan lembaga ini, mereka tahu persis perjuangan dan pengorbanan saya untuk lembaga ini. 


Mereka pun melaporkan tindak tanduk pihak ini pada saya, termasuk menunjukkan isi SMS undangan rahasia itu. Bahkan ada yang mengaku didatangi ke rumahnya dan diminta tanda tangan daftar hadir dalam pertemuan itu. Ia menolak dan berkata: “Saya tidak hadir, kok, disuruh tanda tangan daftar hadir?” Ini adalah salah satu “intrik politik” kotor yang pernah terjadi dalam lembaga ini hingga tahun 2011. Saya pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi. Saya tidak mau ribut dengan orang dalam, apalagi mereka lebih tua dari saya.


Itulah masalah-masalah menejemen pengurus lama ketika berhadapan dengan karakter yang tidak tulus bergabung. Sebagai manusia biasa, kami terkadang down menghadapi masalah-masalah itu. Namun panggilan hati nurani untuk menyenangkan leluhur selalu memenangkan gejolak dalam hati kami, sehingga lembaga ini eksis sampai tahun 2011.


Baca: Doktrin Sesat Kafa'ah Nikah Ba'alawi di Indonesia (12)


Banyak organisasi Islam yang mengadopsi cara Barat. Saya tidak suka itu! Dari awal, sebagai pendiri lembaga ini, saya punya komitmen agar lembaga ini betul-betul Islami. Dari itu, ketika membuat rancangan AD/ART, saya berusaha mendekatkan lembaga ini pada syariat Islam. Hal yang saya anggap sangat penting dan sangat saya perjuangkan adalah sistem kepemimpinan yang tidak dibatasi dengan waktu, sebagaimana Khilafah Islamiyah, kepemimpinan dalam Lembaga ini adalah “pemimpin seumur hidup”. 


Pemimpin baru diberhentikan oleh Dewan Pembina kalau dia mengundurkan diri atau melakukan hal-hal yang merugikan lembaga. Itulah sebabnya selama ini saya sangat selektif memilih calon pemimpin lembaga ini. Saya menunggu mendapat figur yang bersenyawa dengan visi misi lembaga ini dan tahu banyak tentang latar belakang perjuangan Walisongo serta memiliki semangat dakwah dan khidmah yang tinggi. 


Setelah banyak keluarga bergabung, saya menilai KH. Dr. Dhiyauddin (Surabaya) dapat dipercaya untuk memimpin lembaga ini. Maka dalam rapat pengukuhan AD/ART dan pembentukan pengurus baru pada tanggal 27 April 2011, saya pun mengusulkan beliau untuk menjadi Ketua Umum Pengurus Harian dan disetujui oleh Forum. 


Dalam rapat itu juga dibahas draft AD/ART hingga mencapai suatu keputusan yang ditandatangani bersama, termasuk saya sebagai Ketua Dewan Pendiri. Sedangkan Lembaga Peneliti Sejarah & Nasab terpisah dari AD/ART Lembaga Organisasi. Maka, dalam kelembagaan, kami memiliki dua lembaga, yaitu lembaga organisasi yang masuk dalam AD/ART dan lembaga peneliti nasab yang dari awal memang saya yang memimpin.


Sampai tahun 2011, kami memang belum bisa membersihkan lembaga organisasi ini dari “karakter politik”, sehingga sampai saat itu masih ada pihak yang ingin mengubah hasil keputusan rapat AD/ART. Pihak itu masih keberatan dengan sistem kepemimpinan Islami (seumur hidup). 


Baca: Apakah Menikahi Syarifah Menghina Rasulullah Saw? (13)


Mereka lebih condong dengan sistem Barat. Padahal saya sudah menjelaskan dengan gamblang, bahwa sistem pemilihan ketua lima tahun sekali akan berakibat sangat buruk. Saya sudah memberikan contoh dengan sebuah Organisasi Ulama' yang menggelar pemilihan ketua dengan cara tak ubahnya pilpres dan pilkada yang dipenuhi dengan intrik dan money politic yang hina. 


Ketika kelak -siapa tahu- lembaga ini memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat, maka sistem demokrasi ala Barat dan pemilihan ketua lima tahun sekali akan membuka lebar peluang untuk berebut kekuasaan. Tentu hal itu akan sangat menjijikkan untuk sebuah lembaga dakwah yang dibuat untuk melanjutkan estafet perjuangan Walisongo. Itulah yang saya hawatirkan saat itu.


Pada tahun 2010, saya menggaet ulama'-ulama' dan mursyid thariqah, khususnya dari Timur Tengah. Saya ingin semua pengurus dan anggota lembaga ini dekat dengan tashawwuf, karena hanya itulah yang sejak zaman Walisongo terbukti berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin yang tulus berjuang demi ummat. 


Saya tidak mau pengurus dan anggota lembaga ini banyak yang terinfeksi dengan pemikiran Barat, baik dalam bergaul maupun berorganisasi. Baca: Menggugat Dosa Non Sayyid Menikahi Syarifah (14)


Sebelum itu, saya selalu merasa tidak nyaman untuk bersikap tegas, karena diantara para Pengurus Pusat, saya adalah yang termuda. Namun setelah itu saya mulai bersikap tegas demi keselamatan lembaga ini. Saya pun mulai menegur tegas ketika ada pelanggaran, walaupun pelakunya adalah kiai yang jauh lebih tua dari saya.  Bersambung...[dutaislam.or.id/ab]


Keterangan:

Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Masyhuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (19) yang dimuat pada 27 Mei 2023. 


Iklan