Iklan

Iklan

,

Iklan

Nasab Sebagian Keturunan Walisongo Lebih Shahih dari Sebagian Ba'alawi (8)

6 Jun 2023, 18:29 WIB Ter-Updated 2024-09-04T14:52:36Z
Download Ngaji Gus Baha
nasab walisongo lebih tertata dan lebih lengkap
Ilustrasi. Foto: istimewa.


Esai ini adalah lanjutan dari esai ketujuh, yang berjudul: Pernahkah Rabithah Alawiyah Silaturrahim ke Dzuriyah Walisongo? (7).


Oleh KH. Ali Badri Masyhuri


Dutaislam.or.id - Sejak kesepakatan di rumah Habib Taufiq Assegaf itu, saya sudah tidak peduli lagi dengan cacian oknum anggota Rabithah Alawiyah, apalagi di internal keluarga Walisongo sendiri banyak terjadi masalah. Saya susah mengendalikan sebagian mereka yang bertindak tidak sesuai dengan tujuan pendirian Majlis Dzurriyat Walisongo. Lembaga ini saya vakumkan pada tahun 2011. 


Sejak saat itu, bermunculan lembaga-lembaga mengatas-namakan keluarga Walisongo, baik rumpun besar maupun rumpun kecil. Tapi saya tidak berhubungan dengan mereka dan memang tidak mengenal mereka, kecuali NAAT, karena pendirinya adalah Kiai Madura, dan kenal baik dengan saya.


Baca: Akibat Ba'alawi Tidak Adil Kepada Dzurriyah Walisongo (1)


Sejak dulu, pendustaan nasab keluarga Walisongo yang dilakukan oleh oknum Baalwi itu sifatnya tidak terbuka, setidaknya tidak dilakukan oleh tokoh dan diliput media. Sehingga keributan hanya terjadi di kalangan tertentu. Sampai akhirnya terjadilah keributan antara Gus Fuad dengan habaib, khususnya Habib Bahar, dimana kemudian dengan nada dan mimik nyelekit, Habib Bahar mengatakan bahwa Walisongo tidak memiliki keturunan dari garis laki-laki.


Saya sangat terkejut ketika Habib Bahar mengatakan itu. Saya sudah menduga ini akan menjadi masalah besar. Statemen Habib Bahar itu akan mengobarkan kemarahan keluarga Walisongo yang selama ini ditahan. Selama ini, saya sudah mengalah demi menjaga nama baik habaib dan agar tidak menyulitkan Ash-Shofwah (lembaga Alumni Sayyid Muhammad Al-Maliki) yang dari awal berusaha mendamaikan kami. 


Kalau mau, sejak dulu saya bisa saja bicara di media mendesak Rabithah Alawiyah untuk debat terbuka. Kalau itu saya lakukan, niscaya sejak lama konflik itu menjadi keributan nasional seperti saat ini. Bahkan ketika banyak oknum habaib mendustakan nasab keluarga Walisongo, sayapun berkata: "Kalian mendustakan nasab kami ke Walisongo hanya karena kalian tidak tahu saja, sama halnya dengan nasab kalian yang didustakan oleh asyraf Yordania dan lain-lain karena mereka tidak tahu saja". 


Hal itu saya singgung dalam buku saya berjudul "Tashawwuf dan Mempribumi, Kunci Sukses Dakwah Walisongo" yang terbit pada tahun 2012. Jadi, apa yang dipermasalahkan dalam kajian KH. Imaduddin Al-Bantani tentang nasab Baalawi itu sudah lama saya ketahui. InsyaAllah nanti akan saya bicarakan lebih detail tentang itu.


Baca: Menjual Nasab Adalah Pecundang! (2)


Kini saya bukan lagi ketua paguyuban keluarga Walisongo. Paguyuban saya sudah bubar. Saya hanya mau mengamati saja dan tidak mau terlibat dengan pertikaian ini. Namun banyak pihak yang meminta saya agar turun tangan untuk mendinginkan suasana, maka saya pun menulis serial "Menyikapi Konflik Habaib & Keluarga Walisongo" ini, agar rakyat Indonesaia tahu sebab musabab dan kronologi konflik ini, kemudian bersama-sama mencari solusi untuk menyelesaikannya. Dua kelompok yang bertikai itu sedang panas, hanya kekuatan sosial yang bisa menghentikan keangkuhan mereka.


Sekarang kita kembali pada pernyataan pendukung Gus Fuad, bahwa beliau adalah keturunan Sunan Ampel. Ada yang bertanya kepada saya, benarkah Gus Fuad itu keturunan Sunan Ampel? Maka saya jawab, "saya tidak tahu". 


Perlu diketahui oleh saudara-saudara sekalian, bahwa sampai saat ini, catatan nasab keturunan Walisongo atau Syekh Jumadil Kubro itu lebih banyak disimpan oleh keluarga besar masing-masing. Catatan nasab itu mulai didata dan dihimpun secara umum sejak saya mendirikan Majlis Dzurriyat Walisongo pada tahun 2005. Waktu itu saya sendiri yang memimpin lembaga penelitian nasab. 


Hingga tahun 2011, kami mendapatkan ribuan catatan dan riwayat yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand dan Makkah Al-Mukarramah, dan sekitar 200 keluarga saja yang telah kami nyatakan nasabnya bisa diterima. Selebihnya masih dalam proses penelitian. 


Baca: Awal Mula Konflik Habaib dan Dzuriyah Walisongo (3)


Saya keliling ke mancanegara itu tidak ada yang membiayai. Saya pun saat itu tidak memiliki uang cukup untuk keliling Asia Tenggara. Maka ketahuilah bahwa pencarian catatan dan riwayat nasab sampai ke mancanagara itu sebenarnya adalah kegiatan sampingan saya. Saya lakukan itu di sela-sela waktu ketika saya diundang ceramah atau safari dakwah ke tempat-tempat itu, saya sering diundang untuk berceramah di berbagai daerah di Indonesia, baik di Jawa maupun luar Jawa, seperti Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Sumatera dan Aceh. 


Dulu saya juga sering ke Malaysia, Singapura dan Thailand, bahkan pernah ke Kerajaan Sulu di Filipina. Adapun di Makkah dan Jiddah saya keliling di sela-sela saya mengurus jamaah haji atau umroh, karena waktu itu saya menjadi pembimbing salah satu trevel haji dan umroh.


Suatu ketika saya mendapat undangan sebuah acara di Shah Alam Malaysia. Acara itu mengundang ratusan ulama' sufi dan dihadiri oleh puluhan ribu pengamal thoriqoh se Asia Tenggara. Setiap negara ada yang diundang khusus untuk berceramah, saya termasuk penceramah yang dari Indonesia, juga Dr. KH. M. Dhiyauddin Surabaya dan Dr. Syekh Rohimuddin Nawawi Al-Bantani. 


Ketika itu saya meminta tambahan tiket dan kamar hotel kepada panitia. Saya katakan bahwa saya ingin membawa rombongan ulama' dan tokoh keturunan Walisongo, ketika panitia menanyakan jumlahnya, saya sebutkan angka 20 dengan agak pesimis dan hanya coba-coba, namun ternyata mereka bersedia tanpa menawar. 


Saperti kata pepatah "dikasi hati minta rempela", saya pun mencoba meminta tambahan lagi, yaitu meminta disediakan bus untuk keliling Malaysia dan Thailad, ternyata mereka mengabulkan juga. Akhirnya saya bisa membawa rombongan ulama' dan tokoh keturunan Walsiongo ke Malaysia. Total rombongan 23 orang, diantara 20 orang yang saya bawa dengan fasilitas dari panitia itu adalah KH. Hasan Abu Bakar Sholeh (ulama' sepuh Pesantren Bendakerep Cirebon), KH. Ahmad bin Hasan Bendakerep, Sultan Saladin (Keraton Kanoman Cirebon), Gus Arifin (Surabaya), KH Mas'udi Busyiri (Pesantren An-Nur Bululawang Malang), dll. 


Baca: Gus Fuad Pleret Salah Karena Komentarnya Bernada Marah (4)


Setelah acara yang digelar dua hari di Masjid Shah besar Alam itu, kami pun keliling Malaysia dan Tailand Selatan (Fathani), khususnya silaturrahim pada ulama sesama keturunan Syekh Jumadil Kubro. Sambutan ulama' Malaysia dan Fathani sungguh luar biasa, mereka yang masih sesama keturunan Syekh Jumadil Kubro benar-benar menerima kami sebagai keluarga, termasuk Menteri Besar Kelantan yang menerima kami di rumah pribadi beliau, bukan di rumah dinas, bahkan beberapa kali saya dan kiai-kiai lainnya ditawari menikah di Malaysia dan di Fathani. Namun hanya satu saja dari kami yang kemudian benar-benar menikah dengan putri ulama' Malaysia. (jangan tanya kiai yang mana ya.. hehe).


Saya juga pernah ke Kerajaan Sulu Filipina. Bersama saya, ada beberapa ulama' dan tokoh keturunan Walisongo. Kami bersama rombongan ulama' dan tokoh Malaysia datang ke Kerajaan Sulu atas undangan Raja Baginda Sulu, dimana nenek beliau atau ibu Syarif Hasyim adalah cucu Maulana Ibrahim As-Samarkandi (ayah Sunan Ampel), Syarif Hasyim adalah raja pertama Kerajaan Sulu dari dinasti Asyraf, menggantikan kakek dari ibunya sebagai dinasti Sulu asli. Maulana Ibrahim As-Samarqandi di Sulu terkenal dengan julukan Syarif Auliya'.


Kerajaan Sulu itu dikuasai oleh Raja Baginda, namun Raja Baginda tidak mengelola kerajaan, melainkan diserahkan pada para pemimpin wilayah yang disebut Sultan. Jadi Sultan-sultan Sulu itu adalah bawahan Raja Baginda yang beliau tunjuk atau beliau setujui, namun semua Sultan adalah keturunan dari Syarif Hasyim yang berarti masih kerabat Raja Baginda sendiri. 


Singkat cerita, saat itu Kerajaan Sulu sedang mendapat angin segar dari salah satu lembaga politik internasional yang berkantor di Eropa, sehingga kalau Kerajaan Sulu mendapatkan hak otonom dan status Raja Baginda telah resmi secara internasional, maka Kerajaan Sulu akan mendadak menjadi kaya raya, setara dengan Kerajaan Brunei Darussalam. 


Saat itu, Raja Baginda mau menyerahkan urusan keagamaan pada kami, Ulama' Malaysia dan Indonesia yang tergabung dalam rombongan itu. Dalam acara yang diselenggarakan oleh Raja Baginda, saya memberi orasi yang cukup menggemparkan, termasuk dengan gelak tawa. Saya berorasi dalam bahasa Melayu dan diterjemahkan ke dalam bahasa Tagalok (bahasa Filipina), diantara yang membuat gerr adalah ketika saya menjelaskan bahwa saya masih keturunan Syarif Aliya' dan kemudian saya berkata:


"Maka, saya datang ke negeri ini bukan sebagai tamu, tapi saya datang untuk pulang kampung, karena ini adalah kampung halaman kakek saya juga, dan sebagai mana dulu Syarif Auliya' datang ke sini dan menikah di sini hingga memiliki anak, sayapun mau menikah di sini kalau ada yang mau..". Tepuk tangan dan tawapun riuh bergemuruh di gedung acara itu. 


Ternyata canda saya itu kemudian menjadi serius. Raja Baginda mau menjodohkan saya dengan keponakan beliau yang sedang menyelesaikan S2 di Johor Malaysia, seorang Syarifah dan putri bangsawan! Saat itu saya menolak dengan alasan terlalu jauh jarak antara Pasuruan dan Sulu, dari Surabaya terbang ke Kuala Lumpur, kemudian terbang ke Manila, kemudian terbang ke Zamboanga, kemudian naik kapal 8 jam. 


Baca: Sejarah Majlis Dzurriyat Walisongo Diserang Habaib (5)


Namun kata mereka, kalau Kerajaan Sulu sudah mendapat hak otonom maka Kerajaan akan membuat bandara internasional, sehingga Surabaya-Sulu lebih dekat dari Surabaya-Singapura. Dengan dukungan tim kami, Raja Baginda menginginkan saya menjadi bagian dari keluarga kerajaan, agar saya bisa membantu beliau dalam mengembangkan pendidikan agama di Kerajaan Sulu. 


Saya pun mencoba merayu istri saya agar mau dimadu (hehe), karena tidak mungkin saya menikah dengan keluarga Raja secara sembunyi-sembunyi. Sayapun meminta tolong pada ibu saya, agar beliau membantu saya menjelaskan pada istri saya, namun istri saya hanya menjawab dengan tangis, selama tiga bulan dia selalu menangis sehingga saya pun tidak melanjutkan rencana dengan Raja Baginda itu. (gagal deh yang mau dapat gelar Tuanku Pangeran hehe).


Cerita-cerita diatas bisa memberi gambaran kepada saudara-saudara sekalian, bahwa keluarga Walisongo saat itu memiliki perhimpunan yang solid dan diperhitungkan, walaupun keanggotaannya masih kecil karena memang baru berdiri. Saya sengaja tidak ekspos ke media karena tujuan pendirian Majlis Dzurriyat Walisongo hanya untuk silaturrahim. Saat itu kami sudah memiliki kekuatan yang sangat cukup untuk melawan hinaan oknum-oknum pembenci keturunan Walisongo, namun saya memilih untuk mengalah demi menjaga nama baik mereka.


Pada tahun 2007, sejak Majlis Dzuriyat Walisongo membuat acara di Pesantren Genggong Probolinggo, banyak sekali keluarga yang mendaftar untuk diteliti nasabnya. Keterbatasan tim dan fasilitas membuat kami bekerja lambat, sehingga banyak permintaan keluarga yang belum bisa kami penuhi. 


Dan anehnya, dari sekitar 200 keluarga besar yang nasabnya sudah kami nyatakan bisa diterima itu, dimana jumlah total dari tiap keluarga mencapai puluhan ribu orang, ternyata, hingga 2011, yang meminta kartu dan piagam nasab tidak sampai 200 orang saja! 


Baca: Kebohongan dan Fitnah Robitoh Alawiyah Terkait Keturunan Walisongo (6)


Saya sebut aneh karena mengikuti anggapan kebanyakan orang saja, namun sebenarnya ini tidak aneh, karena kebanyakan kiai-kiai keturunan Walisongo memang tidak biasa menampakkan apalagi membanggakan nasab, mereka hanya menitip catatan nasab mereka saja di database kami. 


Saya justru sering dibuat pusing oleh keluarga Walisongo yang bukan anak kiai, sebagian mereka malah mau disahkan nasabnya supaya bisa dipanggil "sayyid", sementara prinsip saya membuat lembaga ini hanya untuk silaturrahim, bukan untuk menjadi sayyid atau syarif, apalagi habib!


Ketika kemudian banyak muncul di media bahwa si fulan adalah keturunan Sunan fulan, kebanyakan dari mereka tidak saya kenal, karena lembaga saya hanya aktif 6 tahun saja. Namun dengan tidak mengenal bukan berarti saya meragukan, justru saya senang sekali setiap kali mendengar info bahwa kiai fulan memiliki catatan nasab pada Sunan fulan, termasuk Gus Fuad, karena hal itu menguatkan prediksi saya bahwa semua atau hampir semua kiyai Jawa-Madura memiliki hubungan darah dengan Syekh Jumadil Kubro, walaupun sebagian mereka adalah keturunan beliau dari garis perempuan.


Baca: Pernahkah Rabithah Alawiyah Silaturrahim ke Dzuriyah Walisongo? (7)


Ketika sebagian oknum Baalawi mengatakan bahwa nasab keturunan Walisongo tidak bisa disahkan karena nasab mereka baru diangkat setelah 500 tahun lebih dari masa Walisongo, sebenarnya ini sama persis dengan "nasib" status nasab Baalwi yang sekarang sedang diributkan itu. 


Bahkan dalam beberapa hal, nasab sebagian keturunan Walisongo hingga ke Walisongo, menurut saya, lebih shahih daripada nasab sebagian Baalawi sekarang hingga ke Sayyid Ubaidillah. Nanti saya akan jelaskan dengan detail. Bersambung...[dutaislam.or.id/ab]


Keterangan:

Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Masyhuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (8) yang dimuat pada 15 Mei 2023.  

Iklan