Dialog antara Robithoh Alawiyah dan Kiai Ali Badri. Foto: istimewa. |
Esai ini adalah lanjutan dari esai keenam berjudul: Kebohongan dan Fitnah Robitoh Alawiyah Terkait Keturunan Walisongo.
Oleh KH. Ali Badri Masyhuri
Dutaislam.or.id - Setelah Habib Abdullah yang mewakili Rabithah Alawiyah itu tidak ada lagi yang mau diajukan, maka giliran saya yang mengajukan pertanyaan. Saya pun bertanya: Kapan Rabithah Alawiyah berdiri?
Habib Abdullah menjawab: Sekitar tahun 30an. Baca: Akibat Ba'alawi Tidak Adil Kepada Dzurriyah Walisongo.
Saya berkata: Perdikan Drajat (sebuah wilayah kekuasaan sejak Sunan Drajat) itu berakhir pada tahun 40-an, Perdikan Drajat dimpimpin oleh Sunan Drajat dan keturunannya secara turun temurun, semua penguasa Perdikan Drajat adalah putra mahkota atau anak pertama dari ayahnya hingga Sunan Drajat bin Sunan Ampel.
Makam-makam mereka berkumpul di lokasi pemakaman Drajat. Nama-nama anak beranak hingga Sunan Drajat itu tertulis di batu nisan di satu lokasi pemakaman. Jadi nasab para penguasa Perdikan Drajat hingga tahun 40-an itu, tentu saja, lebih shahih daripada nasab yang dicatat dalam buku yang diterbitkan lembaga apapun.
Kemudian, Keraton Cirebon sampai sekarang juga masih ada, sehingga keluarga keturunan Sunan Gunung Jati mudah ditemukan di sekitar Keraton, Kesultanan Banten berakhir sekitar satu abad sebelum Rabithah Alawiyah berdiri, keturunan Sultan Hasanuddin juga bisa dikenali dengan panggilan Tubagus sebagai gelar kebangsawanan, sehingga tidak sulit juga untuk mencari keturunan Sultan Hasanuddin.
Pertanyaannya, pernahkah para pendiri Rabithah Alawiyah sebagai pendatang baru itu silaturruharim pada keluarga Drajat, Keraton Cirebon dan keluarga kesultanan Banten sebagai keluaraga yang datang lebih awal?
Habib Abdullah diam saja.
Saya melanjutkan: Sebagai pendatang baru, mestinya mereka datang menemui keluaraga Drajat, Keraton Cirebon dan Banten, ajak atau tawarkan mereka barangkali mau bergabung, atau minimal permisi lah. Pendatang baru tiba-tiba bikin perkumpulan keluarga tanpa permisi dengan keluarga yang datang lebih dulu. Apa namanya ini?!
Habib Abdullah diam saja.
Baca: Awal Mula Konflik Habaib dan Dzuriyah Walisongo
Saat itu saya belum tahu bahwa Rabithah Alawiyah itu pada awalnya didirikan bukan khusus untuk keluarga Baalawi, tapi untuk semua imigran Yaman yang umumnya datang ke negeri ini untuk bekerja, pengurusnya juga bukan hanya dari Baalawi, tapi juga dari imigran non Baalawi.
Sebagai paguyuban imigran Yaman, sebenarnya banyak tokoh habaib (ulama' Baalawi) di Yaman yang keberatan dengan nama Rabithah Alawiyah, nama itu dianggap monopoli dan tidak mencerminkan ukhuwah Islamiyah, paguyuban untuk semua imigran Yaman mestinya jangan menggunakan kalimat Alawiyah. Rabithah Alawiyah baru menjadi milik Baalawi saja setelah semua non Baalwi keluar akibat pertengkaran sengit gara-gara kafaah nasab.
Ceritanya, di Singapura ada seorang Syarifah menikah dengan orang India, kalangan Baalawi Singapura tidak terima dengan pernikahan ini, bahkan seorang ulama Baalawi Singapura memberikan fatwa bahwa pernikahan itu tidak sah. Imigran Yaman yang non Baalawi mulai berkomentar tidak setuju dengan fatwa itu, hingga keributanpun terjadi di Singapura dan Malaysia, bahkan kemudian terjadi juga di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Untuk mengatasi keributan itu, seorang raja bisnis Singapura dari keluarga Assegaf mengutus orang untuk meminta fatwa pada ulama' Yaman, maka didapatlah fatwa seorang ulama dari keluarga Assegaf yang menjadi Qadhi di kota Siwun, Hadramaut, menyusul kemudian fatwa seorang ulama dari keluarga Assegaf juga yang menjadi mufti provinsi Hadramaut, keduanya mengesahkan pernikahan itu.
Rabithah Alawiyah tidak terima dengan fatwa dari habaib Yaman, bahkan tidak mau lagi berguru pada habaib Yaman. Rabithah Alawiyah kemudian mencari ulama ke Makkah Al-Mukarramah untuk dijadikan guru besar paguyuban dan lembaga pendidikan mereka (Jamiat Kher), sehingga bertemulah dengan Syaikh Surkati yang berasal dari Sudan.
Syaikh Surkati dibawa ke Indonesia dan dijadikan guru besar imigran Yaman. Tak lama kemudian Syaikh Surkati mendirikan Al-Irsyad karena banyak anak-anak imigran non Baalawi yang tidak mau sekolah di Jamiat Kher, sehingga beliaupun menjadi guru besar di dua lembaga imigran Yaman, yaitu Jamiat Khair dan Al-Irsyad.
Tak lama kemudian, ketika mengisi majelis di Solo, Syaikh Surkati mendapat pertanyaan tentang syarifah yang menikah dengan non sayyid, beliau pun menjawab sah. Kalangan Baalawi kecewa berat dengan jawaban beliau, beliau pun dicaci maki dan hal itu menyulut kemarahan non Baalawi, khususnya pengurus dan wali murid Al-Irsyad.
Setelah Syaikh Surkati meninggal dunia, keributan antara Baalawi dan kalangan Al-Irsyad semakin panas, sehingga akhirnya imigran non Baalawi keluar semua dari Rabithah Alawiyah dan bersatu di Al-Irsyad. Sejak saat itulah Rabithah Alawiyah menjadi milik Baalawi saja.
Dua kelompok itu terus bertikai dengan dahsyatnya, bahkan dahsyat sekali hingga membuat malu bangsa Arab di negara-negara Arab, Kerajaan Al-Katsiri Yaman dan Kerajaan Saudi sampai turun tangan tapi gagal mendamaikan kedua belah pihak itu, bahkan banyak ulama habaib Yaman yang juga datang ke Jawa untuk melerai pertikaian dua kelompok ini, termasuk mufti Hadramaut yang mengeluarkan fatwa sahnya sarifah menikah dengan non sayyid tadi. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca Kitab Al-Istizadah Min Akhbaris Sadah karya Habib Ali bin Muhsin Assegaf (cucu sang mufti).
Setelah tahu sejarah awal pendirian Rabithah Alawiyah, maka saya memaklumi kalau para pendirinya tidak menemui keluaraga keturunan Walisongo, karena Rabithah Alawiyah memang didirikan hanya sebagai paguyuban imigran Yaman. Namun, walhasil berikutnya Rabithah Alawiyah kemudian menjadi paguyuban khusus keluarga Baalawi, dengan Maktab Daimi sebagai lembaga pencatatan nasab.
Kembali pada cerita diskusi, saya kemudian berkata pada Habib Abdullah Maukhelah: Rabithah Alawiyah kan menghimpun semua keluarga Baalawi, Rabithah Alawiyah juga mengakui kalau Walisongo itu Baalawi. Itu berarti Rabithah Alawiyah memiliki kewajiban yang amat berat, yaitu mencari keturunan Walisongo di seluruh Nusantara, harus keliling ke daerah-daerah untuk mendata dan meneliti catatan-catatan nasab yang dipegang oleh keluarga Walisongo.
Baca: Gus Fuad Pleret Salah Karena Komentarnya Bernada Marah
Tentu saja itu adalah kewajiban yang amat berat. Nah, sekarang saya membuat lembaga khusus keluarga Walisongo, artinya saya telah menggugurkan kewajiban Rabithah Alawiyah untuk mencari keturunan Walisongo, ibaratnya ada beban amat berat yang harus dipikul oleh Rabithah Alawiyah dan beban itu sudah saya pikul, mestinya Rabithah Alawiyah berterima kasih pada saya yang telah meringankan bebannya, tapi bukannya beterima kasih malah kesal pada saya!
Habib Abdullah diam saja.
Kemudian saya menjelaskan cara dan prosedur saya didalam meneliti nasab, termasuk menjelaskan bagaimana trik saya ketiga mencurigai adanya pemalsuan sebuah nasab, termasuk tingkatan keabsahan nasab yang saya buat berdasarkan seberapa kuat data-datanya. Saya juga menceritakan banyak pengalaman saya di dalam meneliti nasab ke berbagai daerah.
Habib Abdullah senang mendengarkan penjelasan dan cerita saya itu. Hingga kemudian beliau berkata: "Andai dari awal antum ketemu saya mungkin tidak sampai kisruh begini. Ya sudah, kalau begitu Azmatkhan layak hidup." Kalimat "Azmatkhan layak hidup" itu sangat saya ingat sampai sekarang, tidak kurang dan tidak lebih.
Setelah itu Habib Abdullah bercanda dengan berkata: "Wah, sekarang Habaib berhadapan dengan orang Madura...". Maksud beliau, saya ini keturunan Madura dan orang Madura terkenal pemberani. Maka Saya pun membalas canda itu dengan kerkata: "Loh, justru yang paling takut sama Habaib itu Kiai Madura, bib. Kalau saya ikut-ikutan seperti Kiai Madura, maka saya tidak akan berani berhadapan begini sama antum.
Semua tertawa di akhir pertemuan itu dan masalah dianggap selesai. Habib Abdullah Maulakhelah dan saya sepakat untuk menyudahi masalah ini, disaksikan oleh KH. Ihya' Ulumiddin dan KH. Luthfi Bashori.
Seminggu kemudian Habib Abdullah menelpon saya, katanya beliau mendapatkan buku karangan saya yang berjudul "Tragedi Horor dalam Analisa Islami", beliau meminta izin pada saya untuk memuat ringkasan buku itu di majalah Mafahim terbitan Ash-Shofwah, sehingga terbitlah Mafahim edisi setelah itu dengan memuat ringkasan buku saya tersebut. Barangkali ada yang mengkoleksi majalah Mafahim, coba cek semua edisi tahun 2007.
Itulah hasil pertemuan saya dengan Rabithah Alawiyah yang diwakili oleh Habib Abdullah Maulakhelah. Semoga Allah SWT merahmati almarhum Habib Abdullah Maulakhelah.
Namun, hasil kesepakatan antara saya dan Rabithah Alawiyah yang diwakili oleh Habib Abdullah Maulakhelah itu tidak diumumkan oleh Rabithah Alawiyah pada anggotanya, sehingga masih banyak oknum Baalawi yang mencaci saya, saya sempat berang dan konflik sempat memanas, sehingga Ash-Shofwah kembali memediasi kami sampai terjadi kesepakatan kedua, kali ini tanpa ada pertemuan secara langsung karena pihak RA tidak mau menerima tantangan saya untuk debat terbuka, saya sampai dua kali menantang mereka.
Baca: Sejarah Majlis Dzurriyat Walisongo Diserang Habaib
Kesepakatan itu dimediasi oleh KH. Abdul Muiz Tirmidzi Bondowoso (penasehat Ash-Shofwah), dibuat dalam dua kali pertemuan habaib, yang pertama di pesantren Dalwa Pasuruan, dan yang kedua di rumah Habib Taufiq Assegaf Pasuruan (ketua Rabithah Alawiyah sekarang).
Sekali lagi, hasil kesepakatan tidak diumumkan dan saya tetap dimaki-maki oleh banyak oknum Baalawi dan muhibbinnya, saya masih menyimpan screenshot cacian-cacian mereka, bahkan rekaman audio salah satu kesepakatan dengan pihak mereka, untuk jaga-jaga barangkali ada yang menyangkal.
Dan sekali lagi, dengan berbagai masalah yang saya hadapi, saya berusaha menjalin hubungan baik dengan habaib, saya tetap mecintai habaib, diantara habaib banyak orang baik, banyak yang berjuang dan berdakwah, Saya pun sering sepanggung dengan habaib, baik di daerah saya maupun di luar daerah dan di luar Jawa. Yang mencaci maki itu hanyalah oknum. Bersambung...[dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Tulisan ini adalah serial esai KH. Ali Badri Masyhuri berjudul "Menyikapi Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" (7) yang dimuat pada 13 Mei 2023.