Iklan

Iklan

,

Iklan

Ketidakpantasan dalam Peletakan Batu Pertama RS(N)U Jepara

29 Jul 2023, 16:07 WIB Ter-Updated 2024-08-18T12:46:17Z
Download Ngaji Gus Baha
peletakan batu pertama rumah sakit nu jepara masalah
Peletakan Batu Pertama RS(N)U Jepara pada 1 Juli 2023. Foto: istimewa.


Dutaislam.or.id - Perbincangan seputar rumah sakit (bukan) NU di Jepara, menyisakan banyak residu atau ampas persoalan. Setidaknya itu yang teramati dan dirasakan sebagian kader-kader NU yang selama ini berada di barisan pengkaderan. Barisan "elit" yang pernah menjalani proses kaderisasi berjenjang dari IPNU, GP Ansor, dan kader penggerak. Sekali lagi, kader penggerak bukan kader penderek.


Ujian bagi kader penggerak dalam menyambut acara groundbreaking atau masyarakat umum mengenal dengan peletakan batu pertama, mengapa bukan Ketua Umum PBNU dan ketua PWNU yang dihadirkan atau dipromosikan untuk hadir?


Sebagai kader penggerak, penghormatan atas garis komando dan hierarki organisasi adalah hal terpenting, selama dalam jalur peraturan organisasi. Sayangnya, kegiatan groundbreaking RS (bukan) NU itu secara kasat mata atau secara blak-blakan mempertontonkan ketidakpantasan.


Sebagian kader penggerak yang mayoritas tidak memegang kuasa pucuk pimpinan ranting atau MWCNU, mulai memperbandingkan antara lebih penting mana kehadiran ketua PBNU dan Rais 'Am PBNU dengan Habib Luthfi bin Yahya. Atau setidaknya, lebih penting mana kehadiran Gubernur Jateng dengan ketua PWNU Jateng. Kendati mestinya, semua itu tidak perlu dibanding-bandingkan.


Sebuah organisasi yang berjenjang tingkat kepengurusan, sudah seharusnya memperhatikan soal hierarki itu. Ini menjadi penting karena siapa lagi yang menghormati hubungan kerja organisasi kalau bukan anggota organisasi itu sendiri. Inilah break pertama, atau broken heart alias kepatah hatian yang dialami sejumlah kader penggerak.


Mesti dipahami bahwa di tubuh NU melalui PBNU dan kepengurusan di bawahnya, sesungguhnya sudah ada lembaga khusus di bidang kesehatan, yaitu Lembaga Kesehatan NU. LKNU Jawa Timur misalnya, pada 2015 atau sudah sewindu yang lalu menginisiasi dan mendeklarasikan Asosiasi Rumah Sakit Islam NU (Arsinu). Pada 2020 saat menghadapi pandemi covid-19, sebanyak 25 rumah sakit NU di bawah Arsinu pusat, telah berjibaku menjadi rumah sakit utama penanganan pasien suspect di masing-mading daerahnya. 


Keberadaan Arsinu dan peran yang sudah dilakukan puluhan RSNU, mempertegas bahwa banyak lokus yang bisa menjadi guru atau sekadar studi tiru tentang RSNU. Artinya, warga Nahdliyin Jepara bukan yang pertama kali untuk punya RS yang benar-benar mempromosikan nama besar NU di bidang kesehatan. Sayangnya, menggunakan huruf NU atau berlogo NU dalam identitas RSNU pun tak sudi, berdalih "suara langit" menyarankan tidak perlu NU NU-an. 


Persoalannya, indikasi mengarah pada tidak bergabungnya RS (bukan) NU Jepara sebagai bagian dari Arsinu itu sangat kuat. Tidak ada flyer undangan untuk komunitas Arsinu adalah langkah blak-blakan di depan mata. Ini sama saja dalam pendirian sekolahan, mengatasnamakan NU tapi tidak bergabung dalam asosiasi LP Ma'arif. Bullshit, yang hanya menyisakan broken heart kedua.


Rasa jumawa dan merasa semua pihak pengambil kebijakan di Pemerintah Daerah adalah "orangku", menjadi tontonan nyata. 


Pertama, groundbreaking harus dilakukan di lahan yang sudah pasti status kepemilikannya. Persoalannya, sudahkah lahan yang masih proses patungan berdalih wakaf itu jelas sertifikat atas nama siapa? LKNU PCNU Jepara ataukah Yayasan yang terpisah dari PCNU, ataukah justru nama perseorangan? SHM, Akta ikrar wakaf, atau SHGB, atau yang seperti apa? Tapi, itu tak penting diketahui bagi kemin soplo kere-kere kayak telo, seperti penulis ini.


Kedua, groundbreaking mempersyaratkan pengajuan jelas atasnama badan hukum. Sudah clear-kah badan hukum yang diajukan serta yang mengajukan ijin groundbreaking itu berupa yayasan atau induk organisasi NU? Padahal, perdebatan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga "yayasan" (bukan NU) Anugerah Sehat belum berujung, untuk memastikan posisi NU atas kepemilikan yayasan dan RS (bukan) NU itu. Tapi untuk soplo kemin kere-kere tak ada keharusan untuk dikasih tahu.


Ketiga, groundbreaking jelas ada potensi keramaian dan kegiatan berkelanjutan yang membutuhkan ijin lingkungan. Semoga untuk yang ini, semua ada ijin yang baik karena memanfaatkan jalan kampung yang akan memakan banyak space lahan jalanan desa itu sendiri. Terlebih semua adalah "orangku", yang tanpa mengajukan ini dan itu sudah ada ijinnya. Bisa jadi, tanpa ada RS-nya saja mungkin sudah terbit ijin RSnya.


Terakhir, sebagai kemin soplo kere-kere yang bukan kader penderek, memang tak ada keharusan untuk tahu atau dikasih tahu tentang perencanaan dan pelaksanaan groundbreaking. Ini sama halnya, tak ada keharusan untuk menyukseskan pelunasan pembebasan lahan berdalih wakaf untuk RS (bukan) NU, apalagi sekadar hadir dalam groundbreaking. Kemin soplo kere kere itu bukan "orangku". Break. [dutaislam.or.id/ab]


Ditulis di Jepara, 25 Juni 2023 | Penulis: Kemin Soplo Kere Kere


Iklan