Rapat anggota PCNU Jepara. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Hiruk pikuk pro dan kontra menyangkut program NU Jepara membangun rumah sakit, masih terasakan di sebagian warga NU Jepara. Terdapat sejumlah ranting atau kepengurusan NU tingkat desa, termasuk para aktivis NU di berbagai tingkatan yang menyampaikan perasaan tidak puas. Manakala riak-riak itu tidak direspon secara bijaksana, niscaya riak itu bisa menjadi episentrum penolakan yang masif.
Pertama, penamaan rumah sakit yang mengaburkan identitas NU. Kesediaan warga nahdliyin mengorbankan sebagian harta untuk niat wakaf ke RSNU Jepara, justru dibalas dengan penggunaan nama RSU Anugerah Sehat. Tak hanya itu, nama yayasan sebagai dalih legalitas pemilik tanah wakaf pun tak menyebutkan NU sama sekali.
Yayasan Anugerah Sehat, yang berdalih hanya karena pemberian Habib Luthfi bin Yahya. Sosok yang dianggap "haram" dibantah karena suara dari langit, sehingga struktur yayasan pun seolah menerima mandat dari langit, meski pengurusan legalitas yayasan berbadan hukum pun belum jelas bagi masyarakat umum.
Kedua, perbedaan ikrar wakaf dan pengelola wakafnya. Warga NU Jepara yang bergotong-royong untuk membebaskan lahan wakaf, sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa wakafnya hanya untuk RSNU Jepara dan diterimakan ke PCNU Jepara. Manakala peruntukan dan penerimanya sudah berubah nama serta kewenangan penanggung jawabnya seolah berubah, muncul di sebagian warga tentang batalnya wakaf atau penetapan hukum wakafnya itu sendiri. Syak wasyangka dan keraguan untuk mendukung pun bermunculan, karena ada gejala yang ditangkap sebagian warga NU bahwa pihak tertentu tersingkirkan oleh pihak yang memegang kuasa.
Ketiga, proses pembangunan RS (tidak) NU yang berjalan seolah tidak punya grand desain atau roadmap (peta jalan). Sebagian warga NU merasa hanya bagian "sapi perah", yang dianggap tidak faham atau tidak perlu tahu tahap demi tahap pembangunan, desain pembangunan, strategi pemanfaatan bagi warga NU, termasuk prosedur legalitas. Kesemuanya seolah hanya bisa dikonsumsi orang dan pihak tertentu.
Masyarakat tertutup untuk mendapatkan akses informasi dan publikasi. Pengumpulan uang milyaran dari banyak pihak, tidak bisa diakses jumlah peruntukan dan pendapatannya secara umum. Masyarakat pun tidak tahu kemana dan lewat jalur apa yang memudahkan bisa mengakses informasi progres pembangunan RS (bukan) NU tersebut. Sebetulnya, maunya RS tipe apa, spesialis apa, dan bagaimana quick win pencapaian tiap tahapannya.
Keempat, groundreaking dan peletakan batu pertama adalah tanda permulaan pembangunan. Ironisnya, tidak ada informasi mengenai Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Demikian juga belum ada studi kelayakan bahwa lahan yang sedang dibebaskan atas dalih wakaf itu memenuhi atau tidak terkait kelayakan lingkungan. Kalayakan itu seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dokumen pengelolaan lingkungan yang berkaitan limbah RS, master plan, dan status atas nama sertifikat lahan itu sendiri.
Jelas merupakan maladministrasi manakala Bupati, kepala dinas terkait perijinan atau terkait bidang kesehatan, bahkan instansi yang mengurusi kelayakan lingkungan dan ijin operasional, turut meresmikan tahap awal. Konsekuensi dari maladministrasi adalah adanya tindakan yang patut diduga menyalahi prosedur perijinan semestinya.
Bangunan untuk publik yang belum mengantongi IMB, merupakan bangunan ilegal yang patut dihentikan. Manakala ada aparat pemerintah mengabaikan aspek prosedural tersebut, maka secara hierarki dapat dilaporkan melalui inspektorat daerah dan secara berjenjang bisa disebut penyelewengan kewenangan. Suatu perbuatan baik yang diawali dari ketidakbaikan, maka imbasnya adalah pelanggaran-pelanggaran yang terbudayakan.
Kelima, turunnya trust atau kepercayaan atas PCNU dipengaruhi kegagalan sejumlah program sebelumnya. Sebagian warga NU Jepara masih mengingat bagaimana penyelewengan kewenangan yang terjadi atas sejumlah aset yang semula dianggap milik NU. Sebagai sebuah organisasi, NU jelas memiliki hierarki kepengurusan yang menjaga garis komando. Yaptinu-UNISNU misalnya, langsung memilih garis komando langsung pada PBNU daripada sekadar ke PCNU.
Kerentanan konflik aset lahan dan aset lembaga itu pun muncul seperti klinik kesehatan Masyithoh, RSI Ngasirah - Sultan Hadirin, atau SMAI Jepara. Masih terlalu segar ingatan warga NU tentang Kartu Anggota NU (KartaNU) yang dimintakan iuran untuk "asuransi" gaya NU, namun sampai kini tidak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab.
Bukankah ada asosiasi rumah sakit NU di level nasional? Bukankah ada lembaga kesehatan NU yang berjenjang di setiap level kepengurusan? Memilih untuk tidak satu garis komando PBNU, tentu memunculkan kecurigaan dan potensi konflik di kemudiaan hari.
Lagi-lagi, masyarakat tahunya adalah sales dan marketing dari sekian program termasuk RS (bukan) NU adalah pengurus ranting dan jajaran anak ranting. Sayangnya, garda paling depan itu selama ini seolah-olah dianggap tak penting dan tak perlu tahu tentang pelaksanaan program.
Ujungnya, masyarakat hanya tahu bahwa NU adalah "Narik Urunan" dan pengurusnya selalu memanfaatkan umat daripada memberikan manfaat kepada umat. Masih teruskah itu dipelihara? Semoga tidak muncul bayangan bahwa RS (bukan) NU nantinya, lebih mahal biayanya daripada RS PKU Muhammadiyah yang lebih berani dengan nama organisasi persarikatannya. Wallahu a'lam. [dutaislam.or.id/ab]
Ditulis di Jepara, 24 Juni 2023 | Penulis: Soplo Kemin Telo Ndeso Kere Kere