Iklan

Iklan

,

Iklan

Iqdul Jid Dahlawi (PDF Drive) - Kitab Pedoman Bertaqlid Bagi Orang Awam

12 Des 2023, 14:07 WIB Ter-Updated 2024-08-06T21:05:14Z
Download Ngaji Gus Baha
kitab iqdul jid di ahkam taqlid
Kitab Iqdul Jid. Foto: dutaislam.or.id.


Dutaislam.or.id - Seorang mujtahid memiliki risiko atas pendapatnya: benar atau salah. Bila benar, dia mendapatkan pahala dan bila salah, tidak berdosa. Alasannya, sebelum dia ber-ijtihad, mereka sudah melewati proses pencarian dalil. Demikian menurut pendapat Imam Syafi'i dan qaul dhahir dalam madzhab Syafi'i. Mujtahid yang salah dihukumi tidak berdosa meskipun salah karena seorang mereka tidaklah bermaksud membatalkan hukum (المبطل). Hanya salah saja menghasilkan ijtihadnya saja.


Demikian penjelasan Syah Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim Ad-Dahlawi dalam Kitabnya, Iqdul Jid fi Ahkamil Ijtihad wat Taqlid di halaman 6 PDF. Kitab setebal 35 halaman (minus halaman 7) ini membincang khusus terkait hukum ber-ijtihad, berfatwa dan bertaqlid kepada imam madzhab. 


Baca: Flashdisk Kitab Kuning PDF 32 GB


Menurut penulis, khilaf yang terjadi dalam hukum fiqih biasanya karena ada unsur lokalitas. Dalam perselisihan hasil ijtihad, kedua pihak pihak harusnya menggunakan metode penyelidikan dan hati yang tenang agar tidak berujung cekcok. Dalam hadits, Nabi Muhammad Saw pernah menyerahkan beberapa keputusan hukum sesuai karakter dan lokalitas umatnya. Misalnya, Beliau Saw pernah bersabda, 


اَلصَّوْمُ يَوْمُ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ


Artinya:

"Puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan".


Tentang hadits di atas, Al-Khotobi berkata: hadits shahih di atas, bila terjadi kesalahan pada praktik di lapangan, yang salah bukan haditsnya, tapi manusianya. Artinya, bila di masing-masing negara memulai berpuasa, idul fitri dan idul qurban, tapi ternyata tidak sesuai kenyataan di lapangan (salah tanggal karena ketidaksengajaan, misalnya), maka, tidak ada yang perlu diqodlo'. Ini merupakan takhfif (keringanan hukum) dari Allah dalam usaha manusia untuk taat kepadaNya, meski keputusan akhirnya berbeda-beda. 


Contoh lain. Dua orang sahabat senior Rasulullah Saw pernah berijtihad atas pemahaman ayat Al-Qur'an dalam bab tayamum. Menurut Umar bin Al-Ash, tayammum untuk junub dibolehkan dengan alasan takut kedinginan air. Dalilnya: وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ. Umar bin Khatab berbeda pendapat dengannya. 


Menurut Umar bin Khatab, tayamum tidak bisa digunakan untuk thoharoh junub. Sebab, junub tidak disebutkan dalam ayat dibolehkannya tayamum (اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا). Umar bin Khatab berpendapat, makna لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ bukanlah jima' yang menyebabkan junub, namun hanya menyentuh saja. Karena itulah, tayamum tidak sah dijadikan sebagai cara bersuci dari hadats besar junub. 


Keputusan Rasulullah Saw terbukti membenarkan ijtihad Umar bin Ash ataupun Umar bin Khottob. Buktinya, dalam sebuah hadits, Nabi Saw tercatat pernah membenarkan seorang sahabat yang menunda shalat karena junub. Suatu kali pula, Nabi Saw juga membenarkan sahabatnya yang junub, bertayammum dan shalat dengan tayamumnya. Semuanya benar. Nabi Saw memang menyerahkan keputusan masing-masing sahabatnya dalam beberapa masalah tanpa harus memperdebatkan lebih dalam tentang kebenaran hakiki keputusan tersebut. 


Hasil Ijtihad yang Rusak

Sebagaimana para sahabat Rasulullah Saw, semua ulama' mujtahid (baik mujtahid mutlak, mujtahid muntasib, mujtahid madzhab, atau mujtahid fatwa) memiliki ujung berdalil syariat dan sampai kepada sabda-sabda Rasulullah Saw. Bila ada orang yang ber-ijtihad, yang hasil ijtihadnya merusak hasil ijtihad para mujtahid, maka, ijtihad mereka juga rusak (hlm. 12). 


Misalnya, mengambil pendapat tentang: bolehnya mendengarkan alat malahi, nikah mut'ah, jima' perempuan lewat belakang, menjama' dua shalat tanpa udzur (menurut Ahli Hijaz), bolehnya minum anggur memabukkan, mengakhirkan Ashar hingga petang, Jumatan hanya boleh di tujuh tempat, makan setelah Fajar di bulan Ramadhan (menurut Ahli Iraq), semuanya itu tidak diperbolehkan dengan alasan menyelisihi ijma' ulama'. Imam Ibnu Hajar menyebut para pengikut pendapat ini sebagai seburuk-buruknya hamba Allah (hlm. 25). 


Mengambil pendapat dari kalangan Khawarij (yang keluar dari ijma'), Qadariyah (yang berdalil dengan hadits Ahad), atau Syi'ah (yang menggunakan Qiyas), juga tidak dibolehkan (hlm. 34). Pendapat yang menyelisihi ijma' ulama' imam madzhab masyhur dihukumi rusak. 


Fatwa Untuk Orang Awam

Bagi seorang mufti, mengambil pendapat yang sudah lama ditinggalkan (مهجورة) untuk menarik manfaat tetap tidak dibolehkan. Alasannya, hal itu dianggap lebih membahayakan, baik dunia maupun akhirat. Cara yang ditempuh mufti untuk mengambil manfaat besar terhadap keputusan hukum adalah dengan mengambil pendapat para masyayikh unggul, diakui, dan mencocokkan dengan kehidupan yang berlaku di kalangan ulama salaf. (hlm. 29). Selain itu, seorang mufti sebaiknya memilih keputusan hukum yang lebih meringankan orang awam, memudahkannya. 


Bagi orang awam, fatwa para mufti itulah madzhabnya. Sebab, pada hakikatnya, orang awam tidak memiliki madzhab. Artinya, bila dia meminta fatwa hukum ke kiai bermadzhab Syafi'i, dia boleh mengamalkan fatwa kiai itu. Begitu pula ketika dia meminta fatwa ke kiai madzhab Hanafi, dia boleh mengamalkannya. Ketika sudah mendapatkan fatwa, orang awam tidak boleh merujuk ke fatwa madzhab lain yang berbeda. (hlm. 30-31, 34). Atas itulah, Syaikh Dahlawi mewanti-wanti agar umat Islam tidak meninggalkan cara bermadhzab yang mengandung banyak maslahat. 


Baca: Flashdisk Ebook Terjemah Kitab Kuning


Menurut Syaikh Dahlawi, bila ada seorang yang bermadhzab Syafi'i (dalam shalat), lalu dalam batalnya wudlu' dia mengikuti madhzab Hanafi (yang menghukumi tidak batalnya wudlu' setelah menyentuh kemaluan atau kulit perempuan), maka, taqlidnya dihukumi boleh (جاز). Alasannya: 1). Tujuannya agar tidak mudah batal wudlu'nya, dan 2). Pendapat kedua imam madzhab tersebut sudah dibukukan dan diakui. (hlm. 28). 


Bila alasan memilih pendapat ulama mujtahid madzhab hanya untuk mencari keringanan saja, orang awam itu dihukumi fasiq, sebagaimana diungkap oleh Abu Ishaq (hlm. 34). Meski begitu, menurut Dahlawi, sikap menolak pilihan ringan orang awam tidak sesuai akal dan nash syariat (an-naql).  


Jikaada orang bermadhzab Syafi'i melihat orang bermadzhab Syafi'i minum arak atau menikah tanpa wali lalu menjimak perempuannya itu, maka, dia wajib mencegahnya dengan alasan: bertentangan dengan keputusan imam madzhabnya (hlm. 28).


Ini berbeda ketika ada penganut Syafi'i melihat seorang penganut Maliki menyembelih hewan tanpa basmalah (yang tetap sah menurut Imam Hanafi), maka, ketika penganut Syafi'i menegurnya, yang menganut Hanafi boleh berkata: kau boleh menganut Imam Syafi'i (yang mengharamkan sembelihan tanpa membaca basmalah), tapi kau juga boleh meninggalkannya. Silakan pilih. 


Demikian catatan dari kitab yang sulit dicari cetakan kertasnya ini. Bila Anda ingin membacanya, silakan mendownloadnya via Drive (DSR) link di bawah ini: 



Terimakasih. Semofa tulisan redaksi bermanfaat buat Anda. [dutaislam.or.id/ab]


Iklan