Ilustrasi shalat wajib. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Dalam Kitab Sulukul Jadah yang ditulis Syaikh Nawawi Al-Jawi, syarat wajib Shalat Jumatan ada tujuh (sesuai madzhab Syafi'i). Yakni:
- Islam,
- Baligh,
- Berakal,
- Laki-laki,
- Merdeka (bukan budak), dan
- Iqamah (menetap di suatu lokasi, walau hanya 4 hari, dan tidak terhitung bagian dari 40 orang yang menggugurkan Jumatan). Termasuk dalam kategori ini ialah santri mukim di pesantren, mahasiswa kos di sebelah kampus, karyawan perusahaan dan lainnya.
Adapun syarat sahnya Shalat Jumat adalah:
- Masuk waktu Dhuhur (tidak sah bila Dhuhur belum masuk, dan tidak ada mekanisme qodlo' shalat Jumat setelah selesai).
- Khutbah dua kali (sebelum Jumatan didirikan). Termasuk di dalamnya ialah rukun khutbah, yakni: a. Mengucap Alhamdulillah, b. Membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Saw, c. Wasiat taqwa, d. membaca ayat Al-Qur'an yang bisa dimengerti di salah satu kedua khutbah, dan terakhir, e. Mendoakan orang-orang Islam.
- Dilaksanakan di sebuah desa atau kota. Orang berkemah tidak ber-Jumatan, walau dia statusnya mustauthin (menetap sebagai pribumi setempat), kecuali dekat dengan masjid.
- Tidak boleh didahului atau berbarengan dengan Jumatan di desa yang sama, kecuali atas alasan banyaknya jama'ah, jauhnya jarak, atau sulit dikumpulkan dalam satu masjid akibat perang atau permusuhan. Saat inilah, ta'addud (ganda) shalat Jumat dalam satu desa, diperolehkan meski tidak nash shorih (jelas) dari Imam Syafi'i.
- Harus dilakukan berjama'ah. Minimal di rakaat pertama Shalat Jumat (bukan di raka'at kedua). Dan semuanya harus mun'akid (memiliki syarat mengikat gugurnya kewajiban shalat Jumat). Santri mukim di pesantren misalnya, meski dia wajib Jumatan, statusnya tidaklah mun'aqid.
- Jumlah minimal jama'ah Jumat harus ada 40 orang (sesuai qaul jadid Imam Syafi'i), termasuk imam. Jumlah ini harus sudah ada di rakaat pertama hingga salam selesai. Bila di tengah shalat ada satu orang yang batal, batal lah semua jama'ah Jum'at. Bila di tengah shalat imam kok batal, maka, shalat Jumat tetap sah ditunaikan secara munfarid dengan syarat: jumlah jama'ahnya melebihi 40 batas minimal jama'ah. Bila kurang, shalat Jumatannya tidak sah.
- Para makmum harus pandai (mengetahui syarat rukun shalat). Bila Jumatan hanya dihadiri 40 orang, dan salah satu diantaranya ada yang bodoh (ummi), maka, Jumatan tidak sah dilakukan. Tidak sah pula bila khutbah dari khatib tidak dipahami oleh seluruh jamaah. Cukup satu orang yang paham khutbah, Jumatan jadi sah, sebagaimana keterangan di Kitab Nahjul Qowim.
Terdapat empat rincian kondisi yang menyebabkan sah atau batalnya jamaah Jumatan bersama 40 orang yang memenuhi syarat sempurna (mukallaf, baligh, akil, laki-laki, merdeka, dan iqamah):
- Sah: Bila mereka semua mampu membaca Fatihah dengan baik.
- Sah: Bila seluruhnya bodoh (ummi), alias tidak mampu membaca Surat Al-Fatihah dengan baik. Hukum sah ini berlaku bila mereka semua sudah belajar tapi belum mampu secara fashih membaca Fatihah. Bila tidak semua Jama'ah 40 orang itu tidak berstatus ummi, artinya, salah satu diantaranya ada yang fasih, maka, Jumatan tidak sah.
- Tidak sah [menurut qaul mu'tamad]: Bila ada seorang ummi yang mau belajar (غير تقصير) namun belum mampu membaca fasih.
- Tidak sah [tanpa khilaf]: Bila satu orang diantaranya ada yang ummi (tidak fasih ber-Fatihah) karena tidak mau belajar (تقصير). Bila si ummi menjadi bodoh karena tidak menemukan tempat belajar ngaji, baginya, Jumatan tetap dihukumi sah. Dalilnya: سيروا الى الله عرجا ومكاسير (berangkatlah kamu sekalian menuju Allah walaupun dengan kondisi tertatih-tatih)
Agar bacaan Surat Al-Fatihah dalam Jumatan dihukumi sah, berikut ini rinciannya:
- Mengucapkan seluruh huruf Al-Fatihah (bila mampu). Jumlahnya, beserta seluruh 14 tasydidnya, ada 155 huruf. Basmalah bagian dari Al-Fatihah.
- Tidak mengganti huruf Al-Fatihah dengan huruf lain yang bisa mengubah makna ayat atau mengosongkan maknanya. Bila melakukan tabdil (mengganti) huruf atas unsur kesengajaan (متعمد), tahu itu salah (عالم), dan mampu mengucapkannya (قادر), shalatnya batal. Baik ibdalnya itu menyebabkan makna ayat berubah ataupun tidak.
- Tidak melenggokkan huruf dengan mengubah harokahnya atau sukunnya, seperti mengubah huruf "ذ" dalam kata "الذين" menjadi huruf "ز" sehingga menjadi al-lazina. Jika sengaja, shalatnya batal. Jika tidak tahu hukumnya haram, bacaannya lah yang batal, dan harus mengulang bacaan itu sampai benar. Jika ucapan itu dilafalkan karena ketidakmampuan, shalatnya tetap sah, bacaaanya pun dihukumi sah, status imamnya -untuk sesama yang tidak mampu- juga sah, tapi harus wajib belajar.
- Tidak menjeda bacaan. Bacaan harus dibaca berturut-turut antar kalimat Surat Al-Fatihah. Bila dijeda karena nafas tesengal misalnya, tetap sah. Bila bacaan berhenti karena mengucap hamdalah orang lain yang bersin, maka, caranya adalah dengan mengulang bacaan yang terjeda itu, dan shalatnya tetap dihukumi sah.
- Tertib membaca ayat. Artinya, tidak mendahulukan bacaan yang akhirkan, dan sebaliknya.
Bila cara bacanya tidak mengubah makna, seperti huruf "ain" dalam robbul alamin diganti menjadi "nga" (robbil ngalamin), sebagaimana orang awam di Jawa, maka, shalat Jumatnya tetap sah. Dia tetap terhitung dalam 40 orang yang dihukumi mun'aqid bila memenuhi syarat. [dutaislam.or.id/ab]