KH. Ma'mun Ma'shum, Brebes. |
Dutaislam.or.id - KH. Ma’mun Ma’shum, yang lebih dikenal sebagai Mbah Ma’mun, lahir pada 5 Oktober 1918, dari pasangan H. Ma’shum dan Hj. Mu’minah. Beliau tumbuh di keluarga sederhana, dan sejak kecil telah mendapatkan didikan langsung dari ayahnya.
Pada usia enam tahun, beliau bersama kakaknya diajak berkunjung oleh ayahnya ke rumah seorang ulama bernama Mohammad Arif di Asem, Cirebon. Dalam kunjungan tersebut, mulut mereka diludahi oleh sang kiai. Mbah Ma’mun menelan ludah itu, sedangkan kakaknya memuntahkannya. Setelah itu, Mbah Ma’mun diperintahkan untuk menghafal berbagai nadzam, termasuk Tuhfatul Ahbab, Amriti, dan Alfiyyah. Di usia sembilan tahun, beliau sudah mampu menghafal nadzam Alfiyyah yang berjumlah 1.002 bait, yang menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa.
Setelah kitab Alfiyyah dikhatamkan, beliau nyantri kepada seorang kyai ahli alat yang bernama Kiai Zakaria guru Kiai Sanusi Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Baca: Biografi Singkat KH Ahmad Qusyairi Shiddiq, Penulis Kitab Tanwirul Hija.
Menuntut Ilmu dari Pesantren ke Pesantren
Masa remaja Mbah Ma’mun dihabiskan untuk menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Semangatnya dalam belajar begitu besar sehingga pada usia 17 tahun, beliau memutuskan untuk menimba ilmu di Kadu Gede, Kabupaten Kuningan, di bawah bimbingan Kiai Anwar selama empat bulan. Setelah itu, beliau pulang dan melanjutkan pengajian bersama ayahnya.
Di usia 19 tahun, Mbah Ma’mun menimba ilmu di Gentur, Sukabumi, dengan berguru kepada Hadratus Syaikh Abdus Syukur. Namun, tragedi terjadi ketika Syaikh Abdussyukur gugur ditembak Belanda, sehingga Mbah Ma’mun terpaksa meninggalkan pesantren Gentur. Beliau kemudian melanjutkan pendidikannya di Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, di bawah bimbingan Hadratus Syaikh Kiai Sanusi dan Hadratus Syaikh Kiai Amin. Meski dinilai sudah cukup matang untuk mengajar, Mbah Ma’mun memilih melanjutkan belajar.
Perjalanan ilmiah Mbah Ma’mun berlanjut ke Arjawinangun, Cirebon, di mana beliau berguru kepada Hadratus Syaikh Syatori. Pada suatu kesempatan, ketika Kiai Syatori mengalami kesulitan dalam kajian Alfiyyah, Mbah Ma’mun berhasil memberikan jawaban yang tepat, yang menurutnya adalah berkat petunjuk dari Allah SWT. Setelah peristiwa itu, Mbah Ma’mun ditugaskan untuk mengajar Alfiyyah dan melanjutkan pengajian kitab Uqudul Juman.
Kehidupan Pribadi dan Mendirikan Pesantren
Pada usia 25 tahun, Mbah Ma’mun melanjutkan pengajiannya di bawah bimbingan Kiai Amin bin Idris di Pekalongan. Ketika Kiai Amin sakit, Mbah Ma’mun dipercaya untuk meneruskan pengajian. Setelah Kiai Amin wafat, Mbah Ma’mun melanjutkan pendidikannya di Lasem, Jawa Timur, di bawah bimbingan Kiai Ma’sum. Pada tahun 1938, beliau menikah dengan Nyai Mu’tiah, putri seorang kiai terkemuka.
Dua tahun setelah pernikahannya, pada tahun 1940, bersama mertuanya KH. Manshur, Mbah Ma’mun mendirikan Pondok Pesantren Assalafiyyah di sebelah utara Masjid Al-Istiqomah, Luwungragi. Namun, pada tahun 1942, akibat Agresi Militer Belanda II, Mbah Ma’mun terpaksa meninggalkan pesantrennya dan mengungsi ke Cirebon. Pada tahun 1947, beliau mendirikan pesantren di desa Peterongan, Cirebon, yang kemudian dikenal sebagai Pesantren Peterongan.
Pada tahun 1968, Mbah Ma’mun kembali ke Luwungragi untuk melanjutkan perjuangannya yang sempat tertunda. Seiring berjalannya waktu, jumlah santri mulai bertambah, yang menjadi cikal bakal berdirinya Keluarga Besar Assalafiyyah Brebes. Meski sempat mengalami gangguan dari sekelompok perusuh, pesantren ini terus berkembang.
Wafatnya Mbah Ma’mun
Pada 26 Oktober 1986, Mbah Ma’mun wafat, meninggalkan kesedihan mendalam bagi keluarga besar Assalafiyyah dan para santrinya. Beliau dikenal sebagai ulama besar yang membawa cahaya ilmu dan pencerahan bagi banyak orang. Hanya doa yang dapat mengiringi kepergian beliau, dengan harapan semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah beliau lakukan. Amin. [dutaislam.or.id/ab]