KH. Mubassyir Mundzir, Kediri. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Beberapa pesantren terkenal di Kediri antara lain Pesantren Hidayatul Mubtadi'ien, yang lebih dikenal sebagai Pesantren Lirboyo, Pesantren Al-Falah Ploso, Pesantren Al-Ihsan Jampes, dan lainnya. Masing-masing pesantren ini memiliki kekhususan dalam bidang tertentu, meskipun semuanya bermuara pada pendalaman ilmu-ilmu agama Islam.
Di sebelah barat alun-alun Kota Kediri, setelah menyeberangi Sungai Brantas, terdapat kawasan yang dikenal dengan nuansa Islami yang kental, yaitu Bandarkidul. Di wilayah ini terdapat sedikitnya lima pesantren yang berafiliasi dengan RMI (Rabithatul Ma’ahid Al-Islamiyyah), sebuah asosiasi pesantren di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu dari pesantren tersebut adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Ma’unah Sari.
Sesuai dengan namanya, pesantren ini merupakan lembaga pendidikan yang menawarkan program hafalan Al-Qur’an (bil-Ghaib), serta program pengajian Al-Qur’an Bin-Nadhar (tidak menghafal). Pesantren ini diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang merupakan penghafal Al-Qur’an dengan jiwa dan akhlak Qurani, atau dengan kata lain, insan hafidh Al-Qur’an, lafdhan wa ma’nan wa ‘amalan.
Sanad atau silsilah pengajaran Al-Qur’an di pesantren ini bersambung hingga ke Nabi Muhammad SAW. Menurut berbagai sumber, pesantren ini didirikan pada tahun 1967 oleh KH. M. Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik yang terkenal pada masanya. Pada awalnya, pesantren ini fokus pada bidang tasawuf, terutama dalam menjaga keistiqomahan sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Pada masa itu, pesantren ini hanya menerima santri putra.
Baru pada tahun 1973, setelah KH. M. Mubassyir Mundzir menikah, pesantren ini mulai menerima santri putri dan membuka program hafalan Al-Qur’an bil-Ghaib. Hal ini karena istri beliau, Nyai Hj. Zuhriyyah, adalah seorang hafidhah (penghafal Al-Qur’an). Selain itu, beliau juga merupakan putri dari KH. Munawwir Krapyak, Yogyakarta, seorang ulama terkenal yang juga merupakan perintis pesantren tahfidh Al-Qur’an di Indonesia dan ahli Qira’ah Sab’ah.
Baca: Biografi KH. Hamim Jazuli (Gus Miek), Kediri
Seiring berjalannya waktu, Pesantren Ma’unah Sari terus berkembang, baik dari segi jumlah santri, program pengajian, maupun lingkungan pendidikan yang semakin representatif. Namun, program hafalan Al-Qur’an bil-Ghaib masih terbatas untuk santri putri di bawah asuhan Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir. Pada tahun 1989, pendiri pesantren, KH. M. Mubassyir Mundzir, wafat.
Dengan iringan tangis pilu para santri dan masyarakat yang merasa kehilangan, beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma’unah Sari. Sebelum wafat, karena beliau tidak dikaruniai putra, beliau telah memberikan wasiat mengenai penerus kepemimpinan pesantren. Sesuai dengan wasiatnya, yang disaksikan oleh ulama-ulama sepuh, tongkat estafet kepemimpinan pesantren diserahkan kepada K. R. Abdul Hamid Abdul Qadir, yang saat itu dikenal sebagai Gus Hamid. Beliau adalah putra dari KHR. Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, dan kakak dari Nyai Hj. Zuhriyyah. Dengan demikian, K. R. Abdul Hamid adalah keponakan Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir.
Dengan terpilihnya K. R. Abdul Hamid sebagai pengasuh, tercapailah cita-cita pendiri pesantren yang menginginkan pesantren ini tumbuh dan berkembang sebagai tempat bagi para santri yang ingin menghafal Al-Qur’an. K. R. Abdul Hamid, yang juga seorang hafidh Al-Qur’an dan ahli Qira’ah Sab’ah, melanjutkan kepemimpinan pesantren bersama Nyai Hj. Zuhriyyah. Di bawah asuhan mereka, Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Ma’unah Sari semakin berkembang pesat. Santri yang belajar di pesantren ini berasal dari berbagai lapisan masyarakat dan penjuru Nusantara, termasuk Papua, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan terutama dari Pulau Jawa.
Mulai saat itu, pesantren ini juga membuka program hafalan Al-Qur’an bil-Ghaib untuk santri putra. Di antara para santri, banyak yang merupakan alumni pesantren-pesantren kenamaan, seperti Pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri, Pesantren Tegalrejo di Magelang, dan Pesantren Langitan di Tuban. Dengan berkumpulnya para alumni pesantren tersebut, sering terjadi diskusi ala Bahtsul Masa’il sebagai salah satu wujud pengembangan ilmu-ilmu yang mereka peroleh di pesantren sebelumnya.
Namun, bagi santri yang belum pernah belajar di pesantren, mereka tidak perlu berkecil hati karena mereka bisa mendapatkan arahan dan bimbingan dari para alumni melalui Madrasah Al-Mundziriyyah di pesantren ini, yang mengajarkan pelajaran dasar yang sangat penting sebagai bekal di masa depan. Jika mereka masih merasa kurang puas, mereka bisa mengaji di pesantren-pesantren sekitar, termasuk di Pesantren Lirboyo.
Selain itu, di antara para santri juga terdapat lulusan perguruan tinggi, sehingga mereka bisa menularkan ilmu dan pengalaman positif kepada rekan-rekan sesama santri. Hal ini dirasa penting terutama dalam mengatur manajemen organisasi pesantren agar lebih solid dan efisien. [dutaislam.or.id/ab]