Iklan

Iklan

,

Iklan

Berkunjung ke Masjid di Cina yang Terjaga Hingga Sekarang

Duta Islam #02
17 Sep 2024, 20:24 WIB Ter-Updated 2024-09-17T13:24:03Z
Download Ngaji Gus Baha
berkunjung ke masjid di cina yang terjaga hingga sekarang
Ilustrasi masjid di Cina. Foto: istimewa.


Oleh Satro Al-Ngatawi


Dutaislam.or.id - Pada hari kelima Festival Nanchong, 5 Juni 2017 lalu, kontingen Indonesia berkesempatan melakukan perjalanan ke kota tua Langzhong. Kota ini terletak di bagian timur laut Sichuan dan berada di tengah lintasan Sungai Jialing.


Langzhong dikenal sebagai salah satu dari empat kota tua di Tiongkok, bersama dengan Kota Tua Pingyao, Lijiang, dan Huizhou. Kota ini memiliki sejarah lebih dari 2.300 tahun dan merupakan tempat pertama kali ditetapkannya Tahun Baru Imlek. 


Sebagai bukti sejarah, di sini terdapat menara observatorium bintang yang dibangun untuk mengenang ahli penanggalan Tiongkok, Luo Xia Hong, yang hidup pada masa Dinasti Han (202 SM-9 M). Hong merupakan seorang ahli astronomi yang berperan besar dalam pengembangan ilmu astronomi dan penanggalan Tiongkok.


Langzhong juga merupakan ibu kota dari imperium kuno Ba (476-221 SM). Pada masa kerajaan Huiwen dari Dinasti Qin (221-207 SM), di sini dibangun sistem administrasi dan tata negara. Sejak saat itu, kota ini menjadi acuan dalam penerapan sistem tata negara dan administrasi.


Kota ini juga memiliki keragaman budaya yang luar biasa. Di sini berkembang filsafat Feng Shui, sejarah Tiga Kerajaan Besar Tiongkok, permulaan Festival Musim Semi, cikal bakal terbentuknya imperium kuno, serta tumbuhnya berbagai macam agama dan kepercayaan.


Suasana kota sangat nyaman dan tenteram. Di sini terdapat Kuil Zhang Fei, yang juga dikenal sebagai Kuil Huan Hou. Kuil ini memiliki sejarah lebih dari 1.700 tahun dan menjadi saksi sejarah Tiga Kerajaan Besar. Oleh Zhang Fei, kuil ini pernah dijadikan benteng untuk menjaga Langzhong selama tujuh tahun. Banyak korban yang berjatuhan saat pembangunan kota tersebut, dan setelah Zhang Fei meninggal, kuil ini dijadikan monumen untuk mengenang perjuangannya.


Di Langzhong juga terdapat Kuil Kong Hu Cu (Wenmiao), sebuah kuil bersejarah dan menjadi situs budaya. Kuil ini telah ada sejak Dinasti Qin dan merupakan tempat penyemayaman Guru Agung Kong Hu Cu. Di tempat ini, setiap tahun diselenggarakan upacara besar untuk mengenang pemikir dan pendidik besar tersebut.


Penulis berjalan kaki menyusuri lorong-lorong kota yang bersih dan asri. Hingga di suatu titik, penulis melihat sebuah bangunan tua yang indah dan rapi, yaitu Paviliun Tengwang, sebuah kompleks yang dibangun atas permintaan Pangeran Tengwang, putra ke-22 Kaisar Gaozu Li Yuan dari Dinasti Tang. Bangunan ini merupakan tempat berkumpul para cendekiawan, ilmuwan, dan penulis untuk berdiskusi mengenai berbagai karya akademik, musik, dan seni.


Dari tepian Sungai Jialing terlihat bukit yang terletak di seberang kota tua, di puncak bukit tersebut terdapat sebuah pagoda yang dikenal sebagai Pagoda 13 Menara Putih. Pagoda ini dibangun pada masa akhir Dinasti Ming (1271-1368 M). Jika naik ke atas bukit dan berdiri di halaman pagoda, keindahan panorama kota tua Langzhong dapat terlihat secara menyeluruh.


Suasana kota ini benar-benar nyaman. Kami bebas berjalan tanpa diganggu oleh pedagang asongan atau ditawari berbagai macam suvenir. Di sepanjang jalan memang banyak kios pedagang, tetapi tidak ada yang berisik menawarkan dagangannya. Semua dagangan dipajang begitu saja, dan jika ada yang tertarik untuk membeli, barulah penjual melayani. Dengan demikian, para turis bisa menikmati suasana dengan nyaman tanpa gangguan.


Di sebuah gang yang letaknya sedikit di luar kompleks kota tua, penulis melihat sebuah bangunan tua yang besar dan antik dengan halaman yang luas. Di tepi halaman tersebut berdiri beberapa bangunan dengan banyak kamar. Di pintu gerbang, ada sekelompok orang yang mengenakan kopiah putih sedang berbincang-bincang. Penulis mendekati mereka dan masuk ke area bangunan. Ternyata, bangunan itu adalah masjid.


Di dalam, ada seorang pemuda berusia sekitar 30-an tahun yang juga mengenakan kopiah putih. Penulis mengucapkan salam, dan pemuda tersebut langsung menjawab dengan senyuman cerah. Kami berkenalan, dan ternyata dia adalah imam masjid tersebut. Wajahnya semakin ceria ketika mengetahui bahwa kami berasal dari Indonesia. 


Kami berbicara dalam bahasa Arab karena dia tidak bisa berbahasa Inggris. Sayangnya, bahasa Arabnya pun terbatas, sehingga penulis tidak bisa menggali informasi lebih dalam mengenai sejarah masjid tersebut. Sementara itu, penerjemah kami sedang berkeliling bersama rombongan yang dipimpin oleh Pak Samodra, Presiden UNIMA Indonesia. Penulis sengaja memisahkan diri dari rombongan agar lebih leluasa menjelajah.


Meskipun dengan kosakata terbatas dan sedikit terbata-bata, penulis berhasil mendapatkan informasi bahwa di dalam kompleks kota tua ini terdapat sekitar 500 umat Muslim. Tidak ada madrasah di sana karena pemerintah melarang pendirian lembaga pendidikan agama. Pengajaran agama Islam hanya dilakukan di masjid.


Penulis benar-benar kagum dengan komitmen keislaman mereka. Dalam situasi yang minim fasilitas dan di tengah arus materialisme yang kuat, mereka masih bisa mempertahankan keimanan.


Penulis merasa beruntung karena dalam perjalanan menjelajahi lorong-lorong kota tua ini ditemani oleh Mas Sapta, salah satu pegawai BCA, yang menjadi sponsor UNIMA Indonesia dalam mengikuti event ini. Kebetulan, Mas Sapta memiliki hobi fotografi, sehingga perjalanan kami di kota tua ini bisa diabadikan melalui foto-foto yang menarik. Meskipun ia mengaku masih sebagai fotografer amatir, hasil jepretan Mas Sapta tidak kalah dengan para profesional.


Penulis merasa bahwa kedatangan UNIMA Indonesia ke Tiongkok kali ini bukan sekadar untuk mengikuti Festival International Puppet Art Week, tetapi juga merupakan perjalanan budaya (rihlah tsaqafah/cultural journey) yang penuh makna dan memiliki arti penting bagi kehidupan berbangsa. Karena ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari perjalanan ini. 


Terus terang, penulis sangat kagum pada pemerintah dan masyarakat Tiongkok. Mereka tidak hanya menjaga tradisi dan budaya leluhur, tetapi juga merawat berbagai peninggalan sejarah, seperti yang terlihat di kota tua Langzhong ini. Dengan merawat bukti sejarah, masyarakat Tiongkok bisa mengenali jati dirinya, memahami kebesaran para leluhurnya, dan menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan anak muda yang bangga menjadi bagian dari bangsa Tiongkok.


Rasa bangga dan percaya diri ini terlihat dari penggunaan huruf dan bahasa Tiongkok. Meskipun kota tua Langzhong merupakan kompleks wisata internasional, hampir tidak ada yang bisa berbahasa Inggris dan semua informasi ditulis dalam aksara Tiongkok. Seolah-olah mereka ingin menegaskan, "Inilah kami, bangsa Tiongkok. Anda berada di wilayah kami, maka Anda harus mengikuti budaya kami." Ini adalah bentuk kepercayaan diri dan kebanggaan mereka terhadap tradisi dan budaya, yang terbentuk karena pemahaman mereka terhadap sejarah diri mereka sendiri.


Apa yang terjadi di Tiongkok menunjukkan bahwa globalisasi tidak serta-merta menghapuskan atau menggerus lokalitas. Jika masyarakat memiliki daya tahan yang kuat dalam memelihara tradisi dan budaya, serta memiliki kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang sejarah mereka, maka globalisasi justru menjadi sarana untuk mengaktualisasikan tradisi dan budaya tersebut dalam konteks global. Singkatnya, globalisasi adalah kesempatan untuk mengglobalkan lokalitas, seperti yang dilakukan oleh Tiongkok.


Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk melakukan hal yang serupa, karena Indonesia memiliki berbagai budaya lokal yang eksotis, unik, dan menarik bagi masyarakat global, baik yang berupa nilai-nilai, kearifan lokal, maupun beragam karya seni budaya. Untuk bisa mengglobalkan lokalitas tradisi dan budaya Nusantara, diperlukan rasa percaya diri bangsa Indonesia, dan hal ini hanya bisa terwujud jika bangsa Indonesia memahami dan mengenali sejarahnya sendiri.


Agar Indonesia tidak tersesat dalam menghadapi arus globalisasi dan agar bangsa Indonesia memiliki kepercayaan diri dan kebanggaan, satu-satunya jalan adalah dengan menggali dan memperkenalkan budaya serta tradisi sendiri, dan memahami sejarahnya sendiri.


Ini berarti, setiap upaya penghancuran tradisi dan budaya lokal serta penghapusan jejak sejarah harus dicegah dan dilawan, karena hal itu berarti penghancuran spirit dan martabat suatu bangsa. [dutaislam.or.id/ab]

Iklan