Iklan

Iklan

,

Iklan

Bibliosida Tradisi Intelektual Kampus Tentang Kontroversi Nasab

Duta Islam #05
6 Sep 2024, 13:42 WIB Ter-Updated 2024-09-06T06:42:02Z
Download Ngaji Gus Baha

 

pemberangusan diskusi ilmiah kampus uin walisongo
Ilustrasi bibliosida intelektual kampus. Foto: istimewa.

Dutaislam.or.id - Diskusi ilmiah merupakan bagian penting dalam dunia akademik. Melalui dialog dan debat, berbagai sudut pandang dapat disampaikan dan diuji dengan data serta fakta. Baca: Alasan UIN Walisongo Batalkan Dikusi Sejarah Ba'alwi


Oleh karena itu, jika ada yang hendak menyampaikan argumen ilmiah, diskusi semacam itu seharusnya diperbolehkan dan difasilitasi, bukan dihalangi. Apalagi, dalam konteks akademik, keterbukaan terhadap berbagai pemikiran merupakan kunci untuk menjaga dinamika intelektual.


Jika kita menengok karya-karya seperti buku terjemahan karya Huub de Jonge atau Van den Berg, meskipun topiknya menyoal eksistensi komunitas Arab Hadrami di Indonesia, tidak pernah ada pelarangan terhadap diskusi atau kajian terkait buku-buku ini. 


Karya mereka telah lama diterbitkan dan dibedah oleh banyak peneliti. Namun, yang menarik adalah bagaimana karya ini tetap menjadi bahan diskusi terbuka di berbagai kalangan. Buku-buku ini, meskipun ditulis oleh peneliti asing seperti orang Belanda, tetap mendapatkan tempat di ranah intelektual Indonesia tanpa harus menghadapi sensor atau pembatasan.


Apa yang membuat diskusi terkait buku ini tetap diterima secara terbuka? Mungkin salah satu alasannya adalah karena buku-buku tersebut, meskipun membahas komunitas Arab Hadrami, tidak menyentuh aspek-aspek sensitif seperti pembatalan nasab atau pertanyaan seputar asal-usul keturunan secara langsung. Buku ini berfokus pada aspek sejarah, sosial, dan budaya dari masyarakat Hadrami di Indonesia, tanpa memicu kontroversi yang lebih dalam terkait identitas personal.


Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Kiai Imad tampaknya menimbulkan reaksi yang berbeda. Penelitiannya menyoroti aspek nasab atau keturunan, yang merupakan isu sangat sensitif bagi banyak kalangan. Ini memicu perdebatan yang lebih luas dibandingkan dengan kajian Huub de Jonge atau Van den Berg. 


Namun, seharusnya perbedaan topik ini tidak menjadi alasan untuk melarang diskusi terbuka. Dalam dunia akademik, semua penelitian dan argumen, apalagi yang disampaikan dengan metode ilmiah, berhak untuk dibahas dan diuji kebenarannya.


Baca: Ditekan Polri, Diskusi Sejarah Ba'alwi dengan Kiai Imaduddin di UIN Walisongo Batal


Sebagaimana karya-karya Huub de Jonge dan Van den Berg yang terbuka untuk dibedah oleh para peneliti, penelitian Kiai Imad juga layak mendapatkan perlakuan serupa. Larangan terhadap kajian ini justru berisiko menghambat tradisi intelektual yang seharusnya dijaga.


Salah satu manfaat terbesar dari diadakannya seminar atau konferensi ilmiah adalah adanya kesempatan untuk melakukan tabayun, atau klarifikasi. Dalam konteks penelitian Kiai Imad, apakah metode genetika yang ia gunakan relevan atau tidak, biarlah para pakar genetika yang memberikan tanggapan. Diskusi semacam ini tidak hanya mempertahankan semangat intelektual, tetapi juga memastikan bahwa kritik dan analisis dilakukan berdasarkan argumen ilmiah yang valid.


Tradisi intelektual yang sehat akan memfasilitasi berbagai sudut pandang untuk bersaing di ranah akademik, dan dari sana, kebenaran akan terungkap melalui proses yang transparan dan terbuka. Dengan memberikan ruang bagi klarifikasi dan diskusi ilmiah, kita juga mencegah misinformasi atau kesalahpahaman yang dapat berkembang di masyarakat.


Bibliosida Pemberangusan Intelektual

Jika diskusi-diskusi akademik seperti ini mulai dilarang, kita menghadapi risiko yang jauh lebih besar. Larangan terhadap pembahasan buku atau penelitian akademik, dalam bentuk apa pun, bisa disamakan dengan tindakan bibliosida—pemusnahan referensi atau literatur. Ini adalah bentuk pengekangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan penekanan terhadap kebebasan intelektual. Kita belajar dari sejarah, di mana pembredelan buku atau pemusnahan referensi intelektual, seperti yang terjadi di Perpustakaan Baghdad pada masa lalu, mengakibatkan hilangnya begitu banyak pengetahuan dan peradaban.


Memusnahkan atau melarang buku, artikel, atau penelitian sama halnya dengan membungkam kemajuan pemikiran. Sebagaimana Baghdad kehilangan kekayaan intelektualnya, begitu juga kita akan kehilangan jika tradisi diskusi akademik mulai dikekang. Alih-alih membatasi, seharusnya kita merangkul perbedaan pendapat dan membuka ruang diskusi yang sehat.


Dalam dunia intelektual, kebebasan untuk berdiskusi dan menyampaikan argumen berdasarkan data dan fakta adalah hal yang esensial. Baik itu karya Huub de Jonge, Van den Berg, maupun penelitian Kiai Imad, semuanya memiliki tempat untuk didiskusikan secara terbuka. Larangan terhadap diskusi ilmiah hanya akan mematikan tradisi intelektual dan membawa kita kembali ke masa di mana pemusnahan referensi menjadi ancaman nyata bagi peradaban.


Diskusi ilmiah tidak seharusnya dihadapkan pada pembatasan, melainkan harus difasilitasi dan didukung agar berbagai sudut pandang dapat diuji dan diverifikasi. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa kebenaran ilmiah dan intelektual tetap terjaga, serta warisan pengetahuan terus berkembang untuk generasi mendatang. [dutaislam.or.id/ai/ab]

Iklan