KH. Hasan Gipo. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Ketika membicarakan sejarah Nahdlatul Ulama (NU), nama-nama seperti Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri sering kali menjadi tokoh yang pertama terlintas di benak.
Ketiga figur tersebut memang memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU. Namun, terdapat juga tokoh-tokoh lain yang memberikan kontribusi besar, meskipun sering kali kurang mendapat sorotan. Salah satu dari mereka adalah KH Hasan Gipo, yang merupakan ketua umum pertama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan KH Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Latar Belakang
KH Hasan Gipo lahir pada tahun 1869 di Kampung Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Lingkungan tempat kelahirannya, tepatnya di Jalan Kalimas Udik, dekat dengan pusat perdagangan Pabean dan Jembatan Merah. Keluarganya berasal dari marga Gipo, yang merupakan singkatan dari Sagipodin, adaptasi lokal dari bahasa Arab Tsaqifuddin, yang berarti "pelindung agama."
Nenek moyang KH Hasan Gipo, Abdul Latief Sagipoddin, adalah seorang saudagar Arab yang kaya dan dikenal karena kegiatan bisnis serta dakwah Islamnya. Abdul Latief bahkan memiliki hubungan kekerabatan dengan Sunan Ampel, salah satu Wali Songo, yang memperkuat posisinya sebagai sosok terhormat di kalangan masyarakat.
Sebagai putra seorang saudagar, KH Hasan Gipo mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Selain belajar di sejumlah pesantren sekitar Surabaya, ia juga mengikuti pendidikan formal di sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Meskipun memperoleh pendidikan barat, jiwanya tetap lebih dekat dengan nilai-nilai pesantren.
Di sisi lain, KH Hasan Gipo juga mewarisi bakat berdagang dari keluarganya, yang terbukti ketika ia mulai membantu mengelola bisnis keluarganya di Pabean. Di usia dewasa, ia dikenal sebagai seorang praktisi bisnis yang handal serta seorang yang aktif mendukung dakwah Islam.
Keterlibatan dengan Para Ulama'
KH Hasan Gipo sangat dekat dengan kalangan ulama dan aktif dalam berbagai pertemuan yang membahas dakwah serta politik pergerakan. Salah satu tokoh yang dekat dengannya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang ulama yang juga memiliki latar belakang bisnis.
Pertemuan keduanya sering kali melibatkan diskusi dengan para aktivis pergerakan, seperti HOS Tjokroaminoto dan Dr Soetomo. KH Hasan Gipo juga berkesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh muda, seperti Sukarno, Kartosuwirjo, dan Muso.
Melalui keterlibatan aktif dalam pergerakan nasional, KH Hasan Gipo menjadi bagian dari gelombang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1916, ia ikut mendirikan Nahdlatul Wathan, meskipun tidak terlibat dalam kepengurusannya.
Ia juga berperan dalam organisasi lintas elemen umat seperti Taswirul Afkar atau Nahdlatul Fikri, yang berdiri pada tahun 1918, dan Nahdlatul Tujjar, organisasi yang mendukung kebangkitan kaum saudagar. Keterlibatan aktif dalam organisasi ini mempertemukannya dengan KH Hasyim Asy'ari, ulama besar yang kelak menjadi Rais Akbar NU.
Peran dalam NU
Setelah NU terbentuk, para pendiri segera melakukan konsolidasi untuk mengatur struktur organisasi. Dalam sebuah rapat di Bubutan, Surabaya, KH Abdul Wahab Hasbullah mengusulkan nama KH Hasan Gipo untuk menjadi pemimpin NU. Usulan ini didukung oleh KH Hasyim Asy'ari, yang melihat potensi besar dalam diri KH Hasan Gipo, terutama karena penguasaan ilmu agama dan ilmu umum yang seimbang.
Penunjukan KH Hasan Gipo sebagai ketua tanfidziyah (pelaksana) NU memiliki makna tersendiri. Pada masa itu, ia adalah satu-satunya orang di NU yang mahir membaca dan menulis dengan huruf Latin, sebuah kemampuan yang jarang dimiliki oleh kalangan ulama pada zamannya.
Selama dua tahun memimpin, KH Hasan Gipo tidak hanya berhasil menjaga stabilitas organisasi, tetapi juga mendorong perkembangan NU ke berbagai daerah. Pada Muktamar NU ketiga di Semarang, posisinya digantikan oleh KH Noor dari Sawah Pulo, Surabaya.
Dukungan Finansial ke NU
Meski sibuk memimpin NU, KH Hasan Gipo tidak meninggalkan bisnisnya. Sebaliknya, usahanya berkembang pesat, tidak hanya dalam perdagangan bahan pangan tetapi juga di sektor properti. Dengan keuntungan yang diperoleh dari bisnisnya, ia memberikan kontribusi finansial yang besar kepada NU.
Sumbangannya mencakup pendanaan untuk kegiatan muktamar serta perluasan organisasi ke berbagai daerah. Berkat dukungan dari KH Hasan Gipo, NU berhasil tumbuh pesat, menyebar dari Surabaya ke hampir seluruh kota besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, hingga ke Jawa Barat, Kalimantan, dan Singapura.
Selain mendukung penguatan NU, KH Hasan Gipo juga aktif dalam melawan paham komunisme yang mulai menyebar di Indonesia. Salah satu tokoh komunis yang menonjol pada masa itu adalah Muso, yang sering mengumbar propaganda ateisme dan materialisme.
KH Hasan Gipo dikenal sebagai "singa podium" karena kemampuan orasinya yang memukau. Dalam berbagai kesempatan, ia berhadapan langsung dengan Muso dan para pendukung komunisnya. Dengan kecerdasan argumentasinya, KH Hasan Gipo mampu membungkam mereka, terutama dalam debat tentang eksistensi Tuhan dan Hari Akhir.
Akhir Hayat
KH Hasan Gipo meninggal dunia pada tahun 1934, meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi NU dan umat Islam Indonesia. Dedikasinya terhadap dakwah dan perjuangan kemerdekaan, baik melalui aktivitas organisasi maupun dukungan finansial, menjadikannya salah satu pilar penting dalam sejarah NU. Jenazahnya dimakamkan di kompleks permakaman Sunan Ampel, Surabaya, sebuah lokasi yang mencerminkan kehormatan yang ia peroleh sepanjang hidupnya.
KH Hasan Gipo bukan hanya seorang pengusaha sukses, tetapi juga seorang tokoh penting dalam pergerakan nasional dan perkembangan NU. Perjuangannya dalam melawan penjajahan dan paham-paham yang bertentangan dengan ajaran Islam memberikan dampak besar bagi umat Muslim Indonesia hingga kini. [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Artikel biografi ini dioleh redaksi Duta Islam dari Republika.