Foto Mohammad Natsir. Sumber: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh kunci dalam sejarah Indonesia, dikenal sebagai pejuang gigih yang berperan penting dalam menjaga keutuhan negara. Di tengah kondisi bangsa yang semakin terpecah akibat reformasi, nama Natsir kembali diperbincangkan karena jasanya dalam mengatasi ancaman perpecahan negara selama masa kemerdekaan. Tak hanya sekali, Natsir berulang kali menyelamatkan Republik Indonesia dari berbagai potensi disintegrasi.
Pada tahun 1949, Natsir memainkan peran penting dalam meredakan ketegangan antara Syafruddin Prawiranegara dan Sudirman yang kecewa dengan hasil perundingan Rum-Royen. Berkat Natsir, mereka kembali ke Yogyakarta dan mengembalikan pemerintahan kepada Sukarno dan Hatta. Setahun kemudian, Natsir juga berhasil melunakkan hati Daud Beureuh, tokoh Aceh yang menolak penggabungan Aceh dengan Sumatera Utara. Keduanya terhubung melalui kepercayaan mendalam Daud Beureuh terhadap kesalehan pribadi Natsir.
Namun, kontribusi Natsir tidak hanya berhenti pada urusan politik. Dia juga seorang tokoh pendidikan, pembela rakyat kecil, serta negarawan yang sangat berpengaruh. Ketika aktivitas politiknya mulai dihalangi oleh penguasa, Natsir beralih ke ranah dakwah. Melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang didirikannya, Natsir terus berjuang membangun masyarakat hingga akhir hayatnya, baik di kota-kota besar maupun di pelosok terpencil.
Masa Kecil dan Pendidikan Moh Natsir
Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908. Orang tuanya berasal dari Maninjau, dengan sang ayah, Idris Sutan Saripado, menjabat sebagai pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara dan di kemudian hari diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang.
Pendidikan Natsir dimulai di Sekolah Dasar pemerintah di Maninjau, kemudian berlanjut di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Solok dan Padang. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan di Mulo Padang dan AMS A 2 (jurusan Sastra Barat) di Bandung. Meski memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi di Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, Natsir memilih untuk terjun ke dalam perjuangan Islam.
Pendidikan agama Natsir dimulai sejak kecil di madrasah dan pengajian di surau pada malam hari. Di Bandung, ia mendalami pengetahuan agama di bawah bimbingan ustaz Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam. Natsir juga terpengaruh oleh tokoh-tokoh besar lainnya seperti H. Agus Salim dan HOS Cokroaminoto. Pendidikan agama yang mendalam ini memperkuat keyakinannya untuk memperjuangkan agama Islam di tengah masyarakat.
Foto muda Mohammad Natsir. |
Aktivitas Politik dan Dakwah
Karier organisasi Natsir dimulai saat ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) di Padang. Di Bandung, ia menjadi wakil ketua JIB dan kemudian ketua Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Pada awal 1940-an, ia terlibat dalam Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), cikal bakal partai Islam Masyumi, yang kelak dipimpinnya.
Sebagai politisi, Natsir dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan persatuan Indonesia. Pada tahun 1950, ia memelopori pembentukan kembali negara kesatuan Republik Indonesia melalui Mosi Integral yang diajukannya kepada parlemen. Berkat jasanya ini, Natsir ditunjuk menjadi Perdana Menteri RI pada tahun 1950.
Namun, masa jabatan Natsir sebagai Perdana Menteri tidak mudah. Ia menghadapi berbagai pemberontakan di daerah, termasuk perlawanan dari Kartosuwiryo dan Kahar Muzakkar, serta konflik dengan kelompok komunis di Jawa Tengah. Meskipun demikian, Natsir berhasil membawa Indonesia dari suasana revolusi menuju ketertiban sipil, serta meletakkan dasar-dasar demokrasi dalam pemerintahan.
Masyumi dan Perjuangan Islam
Partai Masyumi, yang dipimpin oleh Natsir, merupakan salah satu kekuatanaran politik Islam di Indonesia. Pada pemilu 1955, Masyumi mendapatkan suara terbanyak kedua setelah PNI, meskipun perolehan kursinya sama. Natsir terus memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam sidang Konstituante antara tahun 1956-1957. Namun, perjuangannya terhenti ketika Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan parlemen dan Konstituante.
Natsir kemudian menjadi salah satu penentang utama kebijakan Sukarno, terutama setelah Sukarno bersekutu dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Natsir, bersama tokoh-tokoh Masyumi lainnya, akhirnya terlibat dalam pemberontakan PRRI pada tahun 1958. Akibatnya, Masyumi dibubarkan dan Natsir ditahan oleh pemerintah Sukarno hingga ia dibebaskan pada masa pemerintahan Suharto.
Dakwah dan Pengaruh Internasional
Setelah tidak lagi terlibat dalam politik formal, Natsir mendedikasikan dirinya untuk berdakwah. Pada tahun 1967, ia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan amal. Melalui DDII, Natsir mendirikan rumah sakit Islam, masjid, dan membantu pendidikan mahasiswa yang ingin mendalami Islam di Timur Tengah. Banyak dari mahasiswa yang dibantunya kemudian menjadi tokoh nasional, termasuk Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan Nurcholis Madjid.
Di kancah internasional, Natsir juga dikenal sebagai tokoh Islam terkemuka. Ia menjadi Wakil Presiden Kongres Islam Sedunia di Karachi pada tahun 1967 dan anggota Rabithah Alam Islami pada tahun 1969. Kegiatan internasionalnya memperkuat hubungan antara Indonesia dan negara-negara Islam lainnya, termasuk membantu memperbaiki hubungan Indonesia-Malaysia pada masa pemerintahan Suharto.
Warisan Natsir
Mohammad Natsir meninggal dunia pada 7 Februari 1993 dan dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Meskipun telah tiada, warisan pemikirannya tetap hidup melalui tulisan-tulisan dan lembaga-lembaga yang didirikannya. Natsir diakui sebagai salah satu negarawan terbesar Indonesia, seorang pejuang yang selalu memadukan iman dan amal dalam setiap langkah hidupnya. [dutaislam.or.id/ab]
Keterangan:
Artikel biografi ini diolah Duta Islam dari beberapa sumber.