Iklan

Iklan

,

Iklan

Kenduri 7 Hari Orang Meninggal Sudah Ada di Makkah Sejak Dulu

Duta Islam #05
4 Sep 2024, 07:55 WIB Ter-Updated 2024-09-04T00:55:55Z
Download Ngaji Gus Baha

 

tradisi 7 hari meninggal dalil dan hujjahnya ada di dutaislam
Ilustrasi kenduri orang meninggal di Jawa. Foto: istimewa.


Dutaislam.or.id - Kenduri dan pemberian makanan selama 7 hari wafatnya orang meninggal adalah kegiatan yang tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi (salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain). Dalam Kitab Al-Hawi lil-Fatawi, disebutkan bahwa kegiatan ini adalah tradisi yang tidak pernah ditinggalkan oleh kaum muslimin. Beliau berkata:


أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول


Terjemah: "Sesungguhnya sunnah memberikan makanan selama 7 hari telah sampai kepadaku bahwa amalan ini terus dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan generasi yang datang kemudian telah mewarisi amalan ini dari salafush shalih hingga generasi awal Islam."


Ini merupakan persaksian adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini juga dikisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh Al-Fadlil Muhammad Nur Al-Buqis dalam kitabnya yang membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni Kasyful Astar. Beliau menukil perkataan Imam As-Suyuthi sebagai berikut:


أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.


Terjemah: "Sungguh sunnah memberikan makanan selama 7 hari telah sampai informasi kepadaku, dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) terus dilakukan di Makkah dan Madinah dari tahun 1947 M hingga aku kembali ke Indonesia pada tahun 1958 M. Maka faktanya, amalan ini memang tidak pernah ditinggalkan sejak zaman sahabat Nabi hingga sekarang, dan mereka memperoleh cara seperti itu dari salafush shalih hingga masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. Al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata: 'Disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya. Maka, shadaqah itu menjadi bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi malaikat, kebengisannya, dan gertakannya.'"


Istilah dan Tradisi 7 Hari, 40 Hari, dan Lainnya

Istilah 7 hari ini didasarkan pada riwayat shahih dari Thawus, sebagaimana telah dijelaskan dalam judul lain. Beberapa ulama mengatakan bahwa riwayat tersebut juga berasal dari taqrir Rasulullah, sementara yang lain mengatakan hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Rasulullah.


Oleh karena itu, keliru jika dikatakan bahwa tradisi 7 hari semata-mata diambil dari budaya Hindu hanya karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti sama, bahkan dari segi asasnya sudah berbeda. Adapun istilah 14 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari, dan seterusnya, itu diperbolehkan dengan penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari, karena hal itu bisa dilakukan kapan saja. Amaliyah ini boleh dilakukan kapan saja atau dengan penentuan waktu, seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut ilmu tertentu) atau penentuan hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an demi ketertiban.


Demikian juga, mendoakan orang mati dan dzikir-dzikir lainnya tidak masalah dilakukan pada hari-hari tertentu atau ditentukan sesuai keadaan tertentu, apalagi jika dipandang sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya. Oleh karena itu, al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari sebuah hadits al-Bukhari no. 1118 terkait penentuan hari:


وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك


Terjemah:

Dan dalam hadits ini, jalurnya diperselisihkan, menunjukkan kebolehan (jaiz) pengkhususan beberapa hari dengan amal-amal shalih dan berkelanjutan melakukannya.


Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, tetapi juga dalam kegiatan-kegiatan lainnya selama bukan ibadah mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu, dan sebagainya, seperti shalat fardlu.


Meskipun, seandainya penentuan hari tersebut bermula dari warisan ajaran Hindu, hal itu telah menjadi kultur budaya masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan “al-Adat (العادة)”. Ulama seperti Walisongo dan dai-dai Islam lainnya hanya menggiring dan mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut ke budaya yang benar sesuai dengan syariat Islam. 


Sebagai contoh, budaya menyiapkan makanan sesajen untuk roh orang mati, yang awalnya diyakini bahwa roh orang mati memakan sesajen tersebut, diarahkan agar makanan tersebut menjadi bentuk shadaqah atas nama orang mati yang diberikan kepada orang yang masih hidup. Orang mati mendapatkan manfaat dari hal tersebut atas rahmat Allah Swt, dan ini sesuai dengan syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan syariat Islam.


Sebagai perbandingan, terdapat kisah saat Islam mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi dengan darah hewan sembelihan dengan melumuri kepala bayi dengan minyak za’faraan. Kisah ini disebutkan dalam hadits shahih yang tercantum di Sunan Abi Daud [2843] dan As-Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqi [9/509]:


عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا «نَذْبَحُ شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ


Terjemah: "Dari ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata: Aku mendengar Abu Buraidah mengatakan, ketika kami masih di masa Jahiliyyah, apabila seorang bayi lahir di antara kami, kami menyembelih seekor kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing sembelihan. Namun, ketika Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih kambing, memotong rambut bayi, dan melumuri kepalanya dengan minyak za’faraan."


Al-Syawkani dalam Nailul Authar [5/16] dan juga disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud [8/33] mengomentari sebagai berikut:


قوله: (ونلطخه بزعفران) فيه دليل على استحباب تلطيخ رأس الصبي بالزعفران أو غيره من الخلوق كما في حديث عائشة المذكور


Terjemah:

"Frasa '(dan kami melumurinya dengan minyak za’faraan)' menunjukkan dalil tentang disunnahkannya melumuri kepala bayi dengan minyak za’faraan atau yang lainnya sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah yang telah disebutkan."


Lebih lanjut, istilah 40 hari sebenarnya dikenal dalam sebuah riwayat ‘Ubaid bin ‘Umair. Ini disebutkan dalam Hasyiyah al-Suyuthi ‘alaa Sunan al-Nasaa’i [4/104] oleh Imam al-Suyuthi (w. 911 H):


وروى بن جريج في مصنفه عن الحرث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا


Terjemah:

"Ibnu Juraij meriwayatkan dalam Mushannafnya dari al-Harits bin Abul Harits, dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata: 'Dua orang mengalami fitnah qubur, yaitu orang mukmin dan orang munafiq. Orang mukmin mengalami fitnah qubur selama 7 hari, sedangkan orang munafiq selama 40 hari.'"


Imam Al-Suyuthi juga menyebutkan dalam kitab al-Daibah ‘alaa Shahih Muslim atau dikenal dengan Syarh al-Suyuthi ‘alaa Muslim [2/491]:


روى أَحْمد بن حَنْبَل فِي الزّهْد وَأَبُو نعيم فِي الْحِلْية عَن طَاوس أَن الْمَوْتَى يفتنون فِي قُبُورهم سبعا فَكَانُوا يستحبون أَن يطعموا عَنْهُم تِلْكَ الْأَيَّام إِسْنَاده صَحِيح وَله حكم الرّفْع وَذكر بن جريج فِي مُصَنفه عَن عبيد بن عُمَيْر أَن الْمُؤمن يفتن سبعا وَالْمُنَافِق أَرْبَعِينَ صباحا وَسَنَده صَحِيح أَيْضا وَذكر بن رَجَب فِي الْقُبُور عَن مُجَاهِد أَن الْأَرْوَاح على الْقُبُور سَبْعَة أَيَّام من يَوْم الدّفن لَا تُفَارِقهُ


Terjemah:

"... sanadnya shahih juga, dan Ibnu Rajab menyebutkan tentang qubur dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada di atas qubur selama 7 hari sejak dimakamkan serta tidak meninggalkannya". [dutaislam.or.id/ab/ed]

Iklan

close
Iklan Flashdisk Gus Baha