Menyoal integritas nasab dari RA. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Nasab merupakan aspek penting dalam tradisi Islam, terutama ketika seseorang mengklaim keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW bersabda, "Nasabku berbeda dengan nasab kalian. Barang siapa berdusta atas namaku (membawa-bawa, mengklaim), maka tempatnya di neraka." Beliau juga memperingatkan tentang fitnah ahlas dan sarro', di mana sekelompok orang akan mengaku keturunan beliau padahal tidak demikian.
Imam Malik pernah menegaskan, jika ada orang yang mengaku sebagai dzuriyah (keturunan) Nabi, maka harus ada pembuktian yang jelas. Jika gagal, orang tersebut harus diberi sanksi yang berat. Gus Baha' juga menegaskan bahwa jika seseorang menisbatkan diri pada Rasulullah, maka klaim tersebut harus dibuktikan dengan jelas dan tidak dapat dibiarkan tanpa verifikasi.
Jalan yang dihadapi oleh Rabithah Alawiyah (RA) dalam membuktikan nasabnya adalah jalan yang sempit dan panjang. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana membatalkan klaim nasab yang telah bertahan lama meskipun bertentangan dengan akal sehat dan logika. Prinsip yang dipegang oleh para ulama adalah bahwa jika nasab tersebut mashur (terkenal), maka pasti tercatat, dan jika istifadhoh (terus berkesinambungan), pasti ada bukti berkelanjutan. Namun, ketiadaan catatan selama 450 tahun justru menunjukkan ketidaksyuhroan dan ketidakistifadhohan dari keluarga Ba'lawi.
Baca: Ciri Keturunan Nabi: Tidak Membuat Fitnah dan Gaduh
Permasalahan ini bermula pada abad ke-8 H, ketika leluhur Ba'lawi, Ali Assakron dan Jamalul Lail, diduga mengambil jalan pintas dengan menyisipkan nama Ubaidillah saat mentahqiq kitab mu'tabar. Sayangnya, upaya ini terungkap dan tidak pernah berhasil dibuktikan. Bagaimana mungkin tiba-tiba mengklaim bernasab pada Nabi setelah 400 tahun tanpa ada catatan atau cerita yang mendukung? Ini adalah klaim yang sangat patut dipertanyakan dan membutuhkan bukti yang kuat.
Tantangan bagi RA semakin berat karena untuk mendapatkan pengakuan atau isbat nasab, mereka tidak hanya harus berhadapan dengan Kiai Imad, Kiai Ihya', Sayyid Qory, dan pihak Keraton, tetapi juga harus menghadapi Naqobah di seluruh dunia. Naqobah adalah perkumpulan keluarga Nabi yang sejak generasi awal telah memiliki tradisi mencatat nasab dengan ketat. Dalam tradisi Islam, bahkan ucapan Nabi dijaga kemurniannya dengan sangat ketat, apalagi masalah nasab.
Lebih lanjut, tantangan bagi Ba'lawi semakin berat karena jalan terakhir untuk mendapatkan pengakuan dari para naqib adalah melalui tes DNA. Namun, hingga saat ini, belum ada keluarga habib di dunia yang berhasil lolos tes DNA. Padahal, mereka dikenal sangat menjaga kemurnian nasab, namun hasil tes DNA di Yaman, Irak, dan Indonesia menunjukkan kegagalan. Bahkan empat marga utama dan unggul dari Ba'lawi juga mengalami kegagalan dalam tes ini.
Penting bagi semua pihak, baik muhibbin, Muslimin, maupun masyarakat awam, untuk memahami bahwa persoalan nasab tidak selalu berbanding lurus dengan persoalan keulamaan. Namun, jika seseorang mengaku sebagai ulama, maka integritas, kejujuran, ketulusan, dan ketaatan harus menjadi konsekuensi yang dipegang teguh.
Baca: 20 Esai Tentang "Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo" | KH. Ali Badri Masyhuri
Kita seharusnya tidak menjadi "babi buta" yang dengan mudah menisbatkan sesuatu kepada Nabi tanpa bukti yang jelas. Kepercayaan dan simpati bukanlah alat untuk menetapkan nasab. Sebaliknya, tindakan tersebut justru melanggar peringatan Nabi tentang fitnah sarro' dan ahlas, serta larangan untuk menisbatkan sesuatu kepada beliau tanpa ilmu.
Oleh karena itu, wajib bagi para habaib untuk membuktikan nasab mereka dengan adil dan taat pada hasil pembuktian tersebut. Pasca pembuktian, semua pihak wajib menerima apapun hasil akhirnya, sebagaimana kaum muslimin melihat rukyatul hilal yang diwakili oleh ahli yang siap disumpah.
Selamat menempuh jalan pembuktian bagi RA. Memang demikianlah syariat Islam diajarkan. Caci maki dan rekayasa akan sia-sia, seperti buih ombak yang riuh dan massal namun segera hilang diterpa angin. Sementara itu, mutiara tetap tenang dalam kedalamannya. [dutaislam.or.id/ab]