Iklan

Iklan

,

Iklan

Perbedaan Antara NU dan Muhammadiyah dalam Kultur Demokrasi Keduanya

Duta Islam #05
6 Sep 2024, 14:56 WIB Ter-Updated 2024-09-06T07:56:18Z
Download Ngaji Gus Baha
perbedaan antara nu dan muhammadiyah
Logo NU dan Muhammadiyah. Foto: istimewa.


Dutaislam.or.id - Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dikenal sebagai dua organisasi Islam terbesar yang berperan signifikan dalam kehidupan sosial dan keagamaan. Meski sama-sama bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam struktur organisasi, pendekatan pendirian lembaga, dan gaya kepemimpinan. 


NU dikenal lebih egaliter dan demokratis, sedangkan Muhammadiyah cenderung memiliki pendekatan yang lebih terpusat dan top-down. Esai ini akan mengulas beberapa perbedaan utama antara kedua ormas ini, serta dampaknya pada dinamika keagamaan di Indonesia.


1. Struktur Kepemimpinan dan Basis Sosial

Salah satu perbedaan mendasar antara NU dan Muhammadiyah terletak pada struktur kepemimpinan dan basis sosial keduanya. NU memiliki struktur yang lebih egaliter dan demokratis, terutama karena organisasi ini berbasis di pesantren-pesantren tradisional. NU didirikan oleh para kiai, dan pesantren-pesantren tersebut secara kolektif menjadi pilar utama organisasi. Meskipun didirikan oleh para kiai, semangat dalam NU bersifat kolegial dan demokratis, di mana setiap kiai dan anggotanya berkhidmat bersama-sama untuk mendukung organisasi tanpa adanya dominasi satu pihak.


NU juga menganut prinsip egalitarianisme, di mana setiap anggotanya, baik yang berasal dari kalangan pesantren atau masyarakat umum, memiliki hak suara yang sama dalam pengambilan keputusan. Hal ini terlihat jelas dalam mekanisme Musyawarah Nasional dan Muktamar, di mana semua tingkatan pengurus bisa memberikan masukan untuk kebijakan organisasi. Inilah yang membuat NU tetap kokoh sebagai organisasi berbasis massa yang inklusif dan demokratis.


Berbeda dengan NU, Muhammadiyah lebih mengandalkan lembaga pendidikan dan masjid sebagai pusat kekuatan organisasinya. Lembaga-lembaga ini didirikan oleh organisasi secara terpusat, dan hubungan antara pengurus pusat dan daerah bersifat top-down. Ini sering kali menyebabkan kesan bahwa Muhammadiyah memiliki struktur yang lebih otoriter dibandingkan NU. Keputusan-keputusan strategis diambil oleh pimpinan pusat, sementara anggota di daerah menjalankan kebijakan yang sudah ditetapkan tanpa banyak ruang untuk perubahan lokal. Struktur ini menciptakan efisiensi, tetapi terkadang kurang fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan konteks lokal.


2. Pendekatan Pendirian Unit Organisasi

Perbedaan lainnya yang cukup mencolok adalah syarat dan prosedur dalam mendirikan unit organisasi di tingkat lokal. Dalam NU, pendirian unit terkecil yang disebut "ranting" tidak bisa sembarangan dilakukan. Syarat untuk mendirikan ranting NU adalah jumlah penduduk di wilayah tersebut harus mayoritas atau memiliki persentase yang signifikan dari warga yang berafiliasi dengan NU. Setelah itu, pengajuan dilakukan ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan proses administratif harus dipenuhi sebelum ranting resmi didirikan. Proses ini memastikan bahwa NU hanya mendirikan ranting di tempat-tempat di mana ada dukungan yang cukup kuat dari masyarakat setempat, sehingga ranting tersebut bisa berfungsi dengan efektif.


Sebaliknya, Muhammadiyah memiliki pendekatan yang lebih longgar dan fleksibel dalam pendirian unit organisasi. Bahkan jika di suatu kampung hanya terdapat satu atau dua orang anggota Muhammadiyah, mereka sudah bisa mendirikan masjid dan cabang organisasi. Pendekatan ini memungkinkan Muhammadiyah untuk menyebar lebih cepat dan fleksibel di berbagai daerah. Namun, cara ini kadang-kadang dinilai terlalu pragmatis, mirip dengan konsep "franchise" di mana cabang bisa dibuka di mana saja meskipun basis dukungan komunitas masih sangat kecil. Ini berbeda dengan pendekatan NU yang lebih hati-hati dan berbasis pada dukungan komunitas yang sudah mapan.


3. Dinamika Sosial dan Dampaknya

Kedua pendekatan ini membawa dampak yang berbeda pada dinamika sosial dan perkembangan organisasi di masyarakat. NU, dengan sistem yang lebih demokratis dan berbasis komunitas, cenderung lebih diterima di daerah-daerah pedesaan dan komunitas tradisional. Pendekatan berbasis pesantren dan komunitas membuat NU kuat dalam menjaga tradisi keagamaan lokal dan memiliki keterikatan yang kuat dengan masyarakat setempat.


Sementara itu, Muhammadiyah, dengan pendekatan yang lebih terpusat dan efisien, lebih mudah menyebar di wilayah perkotaan dan daerah yang lebih modern. Muhammadiyah dikenal dengan kontribusinya dalam pendidikan modern dan pelayanan kesehatan melalui jaringan sekolah dan rumah sakit yang mereka kelola. Pendekatan top-down memungkinkan Muhammadiyah untuk berkembang pesat secara institusi, meskipun terkadang ada kritik bahwa mereka kurang memperhatikan kearifan lokal dan kebutuhan komunitas kecil.


Pada intinya, perbedaan ini mencerminkan dinamika keagamaan yang unik di Indonesia, di mana kedua organisasi ini saling melengkapi dalam memberikan kontribusi pada masyarakat. Sementara NU lebih kuat dalam menjaga tradisi dan keterikatan dengan komunitas lokal, Muhammadiyah unggul dalam pengembangan pendidikan dan layanan sosial yang modern. Kedua organisasi ini, meskipun berbeda, tetap memainkan peran penting dalam memperkuat kehidupan beragama di Indonesia. [dutaislam.or.id/ai]

Iklan