Ilustrasi KH. Ahmad Rifai Kalisalak. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Nama KH. Ahmad Rifa'i tak bisa dilepaskan dari jajaran ulama tarekat di Indonesia. Beliau adalah pendiri organisasi masyarakat Rifa'iyyah dan juga seorang ulama yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
KH. Ahmad Rifa'i (1786-1876 M), putra kelahiran Kendal yang bermazhab Syafi'i, merupakan ulama besar yang ahli dalam thariqat. Sebagai pemimpin yang tegas, ulet, dan berani, ia dikenal gigih melawan kolonialisme Belanda. Tak mengherankan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya melalui Keputusan Presiden Nomor: 086/TK/2004.
KH. Rifa'i lahir di Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada 9 Muharram 1200 H atau 1786 Masehi. Sayangnya, ia menjadi yatim sejak usia enam tahun karena ayahnya, KH. Muhammad Marhum Bin Abi Sujak, seorang ulama di Kendal, wafat. Ia kemudian diasuh oleh kakak perempuannya yang bersuamikan KH. As'ari, pendiri pesantren di Kaliwungu.
Dari sang kakak ipar, Kiai Rifa'i belajar agama hingga dewasa. Sejak usia muda, ia sudah memulai dakwah dengan mengadakan tabligh keliling di Kendal. Kiai Rifa'i dikenal dengan dakwahnya yang tegas, sehingga Belanda selalu mengawasi gerak-geriknya, terutama karena tulisannya yang lantang menyerukan kemerdekaan dari penjajah.
Akibat sikapnya yang patriotik, Kiai Rifa'i sering kali ditangkap, dipenjara, bahkan diasingkan. Ia keluar masuk penjara di Kendal dan Semarang, serta pernah diasingkan ke Desa Kalisalak, Batang. Namun, di pengasingannya, ia justru mendirikan pondok pesantren yang menjadi pusat kebangkitan pendidikan agama dan perjuangan kemerdekaan.
Setelah mengalami berbagai penindasan, Kiai Rifa'i memutuskan untuk pergi ke Tanah Suci pada usia 30 tahun guna memperdalam ilmu agamanya. Di Arab Saudi, ia belajar pada para ulama terkemuka seperti Syaikh Ahmad Ustman, Syaikh Is Al-Barawi, dan Syaikh Abdul Aziz Al-Habisyi. Setelah sekitar delapan tahun di sana, dia melanjutkan studinya ke Mesir.
Begitu pulang dari Makkah dan melihat kondisi di tanah air yang tak banyak berubah sejak 1833, kebencian KH. Rifai kepada Belanda dan kaki tangannya semakin tebal. Saat itu dia kembali mengajar di almamater dan pesantren milik kakak iparnya, KH. Hasyim Asyari, di Kaliwungu.
Tak kapok dengan pengalaman penjaranya sebelum berangkat haji, dia tetap menyerukan sikap untuk memusuhi mereka. Akibatnya, dua kali dia dijebloskan ke jeruji besi. Pertama di Kendal, kedua di Semarang. Kelar dengan hukumannya, KH. Rifai memilih pindah ke daerah pedesaan di Kalisalak, Batang, Pekalongan, Jawa Tengah.
Di sana dia membangun pesantrennya sambil tetap menulis. Meski membenci Belanda, gerakan KH. Ahmad Rifai ini tak menimbulkan gerakan perlawanan fisik seperti halnya H. Abdul Karim, Haji Tb. Ismail, dan lainnya dalam perlawanan petani di Banten pada 1888.
Gerakan Rifaiyah ini memusuhi mereka dengan cara menjauhi mereka. Bahkan, meskipun "Perang Sabil", salah satu mantra yang kerap terdengar dalam Perang Jawa, disebutkan dalam kitabnya, Nazam Wiqayah, dia tetap tak menghendaki perlawanan fisik.
Slamete dunya akherat wajib kinira - nglawan raja kafir sekuasane kafikira
tur perang sabil luwih kadene ukara - kacukupan tan kanti akeh bala kuncara
Terjemah:
Keselamatan dunia-akhirat wajib diperhitungkan - melawan raja kafir semampunya perlu dipikirkan
Juga perang sabil lebih dari pada ucapan - cukup tidak menggunakan pasukan yang besar
Karena kecenderungannya untuk menghindari pemerintah Belanda itulah kebanyakan pusat kegiatan Rifaiyah terletak di daerah pedesaan, seperti Kalisalak, Batang, Jawa Tengah. Terletak di pedalaman dan jauh dari pemerintah justru membuat gerakan Rifaiyah lebih kukuh.
"Akibatnya, ia memiliki keleluasaan untuk mengobarkan sikap anti-pemerintah, bahkan mampu membentuk kekuatan rakyat kecil, yakni santri Kalisalak dengan cirinya melakukan isolasi dengan kebudayaan kota yang berbau pemerintah".
Di Kalisalak ini dia menekuni pengajiannya dan menulis ajaran-ajarannya. Dalam kitab-kitabnya, ia semakin tajam menyerang pemerintah. Dalam Abyan Hawaij, ia menulis:
Ratu Islam maring raja kafir anutan-Bupati Demang Ngawula asih-asihan
Maring raja kafir anut parintahan-
Terjemah:
Ratu Islam menganut raja kafir- Bupati, Demang sama-sama mengabdi
Kepada raja kafir seraya mengikuti perintahnya-
Selain menulis kitab, Ahmad Rifai juga menulis surat teguran keras kepada bupati dan pemimpin agama. Dia mulai kebanjiran santri yang datang dari berbagai daerah. Dengan menyebutkan secara subur kata-kata kafir, fasik, zalim dalam kitab-kitabnya yang ditujukan kepada Pemerintah Belanda dan para pembantunya, KH. Rifai membuat pemerintah Belanda gerah.
Pada umumnya masyarakat di sana kaum petani yang pengetahuan agamanya perlu disempurnakan. Selain itu para murid yang pernah mendapat latihan mental waktu di Kendal adalah dari Krisidenan Pekalongan, disamping Karisidenan lain, seperti Maufuro Batang, Abu Ilham Batang, Abdul Azis Wonosobo, Abdul Hamid Wonosobo, Abdul Qohar Kendal, Muhammad Thuba Kendal, Imamtani Kutowinangun, Muh Idris Indramayu, Muharrar Purworejo, Mukhsin Kendal, Mas Suemodiwiryo Salatiga, Abdullah (Dolak) Magelang, Abu Hasan Wonosobo, Abu Salim Pekalongan, Abdul Hadie Wonosobo, Tawwan Tegal, Asnawi Pekalongan, Abdul Saman Kendal, Abu Mansyur Wonosobo, Abdul Ghani Wonosobo, Muhammad Hasan Wonosobo, Muhammad Tayyib Wonosobo, Ahmad Hasan Pekalongan, Nawawi Batang , Abu Nawawi Purwodadi.
Mereka itulah kader-kader mubaligh tangguh yang berjasa mengembangkan pemikiran Haji Ahmad Rifai ke daerah-daerah Jawa Tengah danJawa Barat.
Tidak lama kemudian Ahmad Rifai menikahi janda Demang Kalisalak Alm Martowidjojo namanya Sujainah lalu ia hidup bersama istrinya di Kalisalak. Di Kalisalak pada mulanya Kiai Haji Ahmad Rifai menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak.
Namun lembaga itu kemudian berkembang menjadi majelis pendidikan yang mencakup pula orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Satu hal yang menyebabkan pengajian haji Ahmad Rifai cepat terkenal adalah metode terjemahannya, baik Al-Quran, Al-Hadits maupun kitab-kitab karangan ulama Arab dan Aceh lebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebelum diajarkan kepada para murid, bahkan kelihatan sebagai kewajiban yang ditempuh secara sadar,seperti yang tersirat di dalam satu bait kitab Ri'ayatal Himmah karya Haji Ahmad Rifai, sebagai berikut:
Wajib saben alim adil nuliyan narajumah kitab Arab rinetenan supoyo wong jawi akeh ngerti pitutur saking Qur'an lan kitab - kitab Arab jujur kaduwe wong awam enggal ngerti milahur ningali kitab Tarjamah jawi pitutur
Terjemah:
Diwajibkan bagi setiap alim adil (ulama akhirat) untuk menejemahkan kitab Arab, agar orang jawa lebih mengerti ajaran dari Al Qurandan kitab-kitab Arab (Hadits dan Ulama) dengan benar sehingga orang awam mengerti dan segera melaksanakannya melihat (membaca dan mempelajari) kitab Tarjumah jawa sebagai ajaran.
Karena metodenya yang tepat manfaat maka tak mustahil pengajian Ahmad Rifai cepat berkembang. Para muridnya datang dari daerah yang dekat saja seperti Kendal, Batang dan Pekalongan tetapi juga berasal dari Kedu, Wonosobo, Magelang , Banyumas, Kerawang, Indramayu dan lainnya.
Dan intensitas pengajaran tauhid, fiqh dan tasawuf rasional yang dijalankan oleh Haji Ahmad Rifai yang menyebabkan perbedaan antara tradisi yang telah mapan dengan pemikiran barunya.
Mendirikan Pesantren dan Menulis Kitab
KH. Ahamd Rifai mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren di Kalisalak Batang. Sistem pengajaran yang menggunakan terjemahan bahasa jawa untuk memahami ajaran-ajaran islam , mendorong bertambahnya murid pesantren yang berdatangan dari berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Sementara waktu itu kebiasaan di pondok pesantren masih berlaku pengajian kitab-kitab berbahasa Arab saja, dan masih asing terhadap kitab kitab terjemahan. Menurut DR. Karel A. Steenbrink (Sarjana Belanda) bahwa di dalam sejarah dakwah, Ahmad Rifai bisa dianggap hampir satu-satunya tokoh yang bisa memberikan uraian tentang agama Islam tanpa memakai idiom-idiom Arab dan mampu mengarang buku dalam bahasa yang menarik karena memakai bentuk syair.
Sebagai ulama, kiai banyak berdakwah serta menulis dan menerjemahkan buku. Di antara karyanya, yakni kitab terjemahan kitab berbahasa Arab dari ulama terdahulu yang jumlahnya mencapai 62 judul.
Ia menerjemahkannya bebas ke dalam bahasa Jawa, sehingga dapat dimengerti masyarakat pedesaan. Karya-karya terjemah yang disebut Tarjumah inilah yang paling terkenal dari hasil karyanya. Pasalnya, kitab-kitab itu sangat membantu masyarakat desa dalam memahami agama.
Sartono Kartidirjo dalam bukunya Protest Movements in Rural Java seperti dikutip oleh Ahmad Syadzirin Amin (1996), menyebutkan kitab-kitab karya KH. Ahmad Rifa'i yang masih disimpan di Universitas Leiden Belanda, antara lain:
- No. 1139 Riayatal Himmah, tahun 1849 M
- No 6944, Riayatul Himmah, tahun 1849 M
- No. 5866, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
- No. 11002, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
- No. 11003, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
- No. 8566, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
- No. 6617, Nadzam Kaifiyah, tahun 1845 M
- No. 7520, Tanbih Bahasa Jawa
- No. 11004, Tanbib Bahasa Jawa
- No. 7521, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
- No. 8570, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
- No. 8590, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
- No. 7522, Takhyirah Mukhtasar, tahun 1848 M
- No. 11004, Takhyirah Mukhtasar 1848 M
- No. 11004, Takhyirah Mukhtasar, tahun 1848 M
- No. 7523, Abyanal Hawaij, tahun 1849 M
- No. 7524, Nadzam Irfaq, tahun 1845 M
- No. 8489, Munawirul Himmah, tahun 1856 M
- No. 5865, Athlab, tahun 1842 M
- No. 8566, Nadzam Tazkiyah, tahun 1852 M
- No. 8567, Tasyrihatal Muhtaj, tahun 1849 M
- No. 8568, Syarihul Iman, tahun 1839 M
- No. 8569, Tasfiyah, tahun1849 M
- No. 11001, Bayan, tahun1839 M
- No. 11001, Imdad, tahun 1845 M
- No. 11004, Thariqat, tahun 1840 M
- No. 8571, Tahshinah (memperbagus bacaan), tahun 1850 M
- No. 11004, Tanbihun Bahasa Melayu, tahun 1860 M
- No. 11001, Prose Epistle (?), tahun 1938 M
- No. 11004, Lembar, 300 hal
- Tanpa nomer, Shihhatun Nikah
- Tanpa Nomer, Tajwid (ringkasan Tahsinah)
- Tanpa Nomer, Nadzam Wiqayah.
Di akhir hayatnya, kiai pun meninggal di pengasingan di Tanah Tondano, Minahasa, Manado, Sulawesi Utara. Bahkan, tanggal kematiannya pun tak ada yang tahu pasti. Ada yang bilang, Kiai wafat pada Kamis 25 Rabiul Akhir 1286 H di usia 86 tahun. Sumber lain menyebut kiai wafat pada 1292 H di usia 92 tahun. Jenazah kiai dimakamkan di kompleks makam pahlawan di Tondano. [dutaislam.or.id/ab]